Sep 30, 2019

Shoutout to be seen, for the unseen


Overheard from mamak yang lagi nonton cut2an ILC entah kapan di youtube

Orang optimis dan pesimis sama-sama berguna untuk dunia. Orang optimis yang membuat pesawat, orang pesimis yang membuat pelampungnya” (Karni Ilyas, entah tahun berapa)

Saya suka banget sama kalimat ini. Selama 27 tahun, apalagi semenjak saya berhasil memetakan kepribadian saya, saya merasa orang pemalu dan minderan seperti saya tidak akan punya kesempatan untuk kemana-mana.

Dalam karier, di lingkungan, dalam hidup.

Gimana mau sukses, terlihat saja tidak. Kan gitu.

Tapi kemudian saya disadarkan, kalau semua orang di dunia ini tipenya ekstrovert dan bawel, dunia udah kiamat kali. Bayangkan kalau bank isinya sales team semua, gaada team creditnya . Ntar portofolionya 100 triliun, kredit macetnya 150 triliun. Ngasih pinjeman doang tapi di write-off semua. Atau semua maunya jadi artis dan sutradara. Terus yang mau jadi cameraperson dan tim editor siapa?

Cuma memang tidak bisa dipungkiri, untuk mendapatkan akses menjadi bermanfaat pun, si pemalu ini memang harus terlihat.

Walaupun sekali, kita memang harus terlihat.

Cuma sesekali doang kok. Setelah itu, kita bebas untuk menjadi pemalu dan penyendiri lagi.

Menurutku ya, kita ga perlu memaksa diri kita untuk fit dengan hal-hal yang sama sekali berbeda dengan diri kita DI SETIAP WAKTU.

Capek.

We deserve break.

Yes, being young means we are in a period when we have chance to tire ourselves out. But it doesn’t mean we have to be burned out from pushing ourselves all time.


Buat diriku yang sebentar lagi resign tetapi takut reach out ke HR di linkedin,

Buat diriku yang sudah waktunya nikah tetapi takut membuka diri,

Kamu cuma perlu melakukannya sekali kok. Make yourself seen JUST FOR ONE TIME.

Kamu bisa.

Sep 29, 2019

[SISIT] Media dudes, watch your wordings







Sebelum saya memulai bacotan saya, ijinkan saya untuk mengucapkan bela sungkawa kepada para korban kejahatan sosial di Wamena. Mudah-mudahan arwah korban husnul khotimah, keluarga korban tetap kuat, dan yang lebih penting lagi, masalah segera selesai.

Masalah bangsa ini rasanya kaya kerjaan ga sih. Ga beres2. Masalah Papua yang pertama belum juga beres, sampe balik ke Papua lagi kan masalahnya

Anyway, sebenernya saya bukan mau bahas tentang Papua. Tapi lebih ke twitnya Mbah Tedj itu yang soal redaksional berita.

I know, I sounded hella meticulous. Cuma redaksional doang elah, ga menyembunyikan fakta bahwa yang dilakukan orang-orang itu adalah suatu kebiadaban.

Tapi beneran deh, buat orang-orang media, orang-orang komunikasi, every single choice of word matters. Soalnya pilihan redaksional yang tepat akan mempengaruhi respon orang yang membaca tulisan kalian.

For the case above, saya setuju penggunaan label “suku” pada korban dan pelaku itu kurang bijak.

Soalnya begini. Indonesia ini ya (mungkin berlaku juga buat seluruh dunia idk), rasa primordialisme dan loyalitas atas sukunya tinggi sekali. Orang Jawa kalau ketemu orang Jawa lain di tempat selain Jateng/Jatim/Yogya, pasti suenenge ora umum. Suku-suku lain juga sama.

Dan sepengamatanku, efek ini tidak terlalu terlihat jika yang dipakai adalah sudut pandang daerah atau provinsi.

Misalnya nih ya, kalau si A pake “hook” pembuka perkenalan sebagai orang dari provinsi Jawa Tengah, kepada si B yang adalah suku Jawa, si B pasti akan seneng2 juga sih ketemu orang sedaerah. Tapi pasti asosiasinya bukan karena “aku entuk konco podho2 SOKO Jowo”, tapi karena “aku entuk konco WONG Jowo”.

Dapet ga intinya?

Ya walaupun kalaupun si A ternyata orang Batak yang cuma numpang hidup di Pekalongan, bukan berarti si B bakalan kecewa juga sih. Orang Jawa tidak sesempit itu (aamiin).

Kalo logika itu kita terapkan di kasus dimana orang Papua membunuh orang nonPapua, rasa primordialisme ini akan escalated berkali-kali lipat. Soalnya manusia akan lebih alert dan parno kalo merasa terancam kan.

Even if they literally sit hundred kilometres from where the assassination takes place, if the victims is “one of them”, they will feel threatened as well.

Tadi gua udah hipotesis bahwa labeling suku efeknya lebih kuat daripada labeling domisili. Balik lagi ke masalah berita yang mencantumkan “X membunuh SUKU Minang”, “korban adalah SUKU Minang”. Labeling suku ini bakal men-trigger alert di DNA-nya suku-suku Minang yang lain, yang akhirnya memberikan respon backlash yang hebat dari mereka.

Dan ga cuma sampe situ. Karena yang disenggol udah level suku nih, suku Minang pasti bakalan cari tahu dong, siapa sih yang berani macem-macem sama (bagian dari) mereka?

Oh, anjir. Orang Papua. Berani macem-macem nih orang Papua sama orang Minang.

Inget, loyalitas atas dasar suku/kelompok lebih kuat daripada domisili/area.

Jika mereka bilang Orang Papua, yang di otak mereka pertama kali bakalan “orang yang tinggal di Papua” atau “orang Suku Papua?” Pasti yang kedua kan.

Akhirnya apa? Ya bukan ga mungkin mereka jadi sentimen dan paranoid sama tetangga mereka yang Orang Papua. Tetangga yang biasanya ramah senyum dan suka bagi-bagi kue, mendadak jadi menakutkan. Padahal mungkin tetangga mereka itu bahkan selama tujuh turunan belum pernah menyentuh tanah Papua dan belum pernah sama sekali ketemu  sama si korban.

Hate by association itu nyata. Memang tidak logis, tapi DNA kita ga logis Pak

Coba kalo headlinenya kita ganti “X membunuh orang yang berasal dari Sumatera Barat”, “korban adalah orang yang berasal dari Jawa Timur”.

Kalaupun ada yang merasa terancam, ya paling orang-orang yang tinggal di Sumatera Barat atau Jawa Timur aja. Orang Minang yang lagi leyeh2 jualan tunjang di Ciamis atau Palangkaraya ya woles. Bahkan kalaupun tiba2 ada orang Papua masuk warungnya.

Sekali lagi, penggantian redaksional ini tidak akan men-sugarcoat kebiadaban yang sudah terjadi. Rasa sakit dan takut keluarga korban akan tetap sama. Ditulis seperti apapun, pelaku kejahatan tetap harus dihukum berat sesuai dengan peraturan.

Tetapi setidaknya, bisa lah kita, kalian, orang media tidak menyebarkan rasa takut ke tempat-tempat yang gaada sangkut pautnya. No one asking you to sugarcoat anything. But putting a nicer and wiser words in your passage matters a lot.

…..kecuali ya. Kecuali. Jika amarah dan rasa takut sebanyak mungkin pembaca itu lah yang memang menjadi TUJUAN dari ditulisnya si artikel.

J