Despite some details that not so-syar'i (jk :D), this novel told us deeper about how we can live forever as Rasulullah taught us Moslems. Raga mungkin habis terurai, tetapi semangat, idealisme, dan kenangan manis itulah yang membuat kita abadi.
NOTE: Di novel ini terdapat lumayan banyak adegan dan penggambaran yg agak bikin dada nyes~ terutama di bagian penyiksaan, jadi untuk kalian yang punya anxiety, you might need to wait until you're ready, atau skip aja sekalian. Buku lain banyak. Kestabilan mental kalian lebih utama ya tems.
Novel yang ditulis oleh Leila S. Chudori ini (english title: The Sea Speaks His Name) bercerita tentang penangkapan aktivis mahasiswa pre-Reformasi 1998. Diantara cerita-cerita dari bilik kurungan dan kamar interogasi (penyiksaan), Leila menyisipkan flashback potongan kegiatan-kegiatan aktivisme yang berujung pada berakhirnya sosok salah satu tokoh utama, Biru Laut, di dasar Laut Jawa. Sempat di-mention juga, tragedi Sabtu Kelabu yang (setelah saya googling ditengah-tengah baca, pardon my poor historical reference) merupakan salah satu bab perjuangan kakak-kakak aktivis untuk mendobrak tiranisme rezim Orde Baru.
Paruh kedua dari buku mengambil sudut pandang keluarga korban dan penyintas, yang akhirnya "terpaksa" untuk melanjutkan hidup meski dengan beban yang ga akan bisa dipahami orang-orang yang ga mengalami sendiri. Orang-orang yang berhasil dibebaskan, mereka keluar dengan trauma berat, depresi, dan membawa survivor's guilt kenapa mereka harus dibebaskan sementara rekan-rekannya ga selamat. Sementara keluarga korban, beberapa akhirnya hidup dalam struggle hebat untuk menerima bahwa orang terdekat mereka tidak akan kembali ke rumah. Kenyataan bahwa anak, kekasih, saudara mereka pergi dengan cara yang kejam dan tidak wajar bikin mereka shock, jelas. Some of them cope in denial for years, bahwa anak mereka kelak kembali, bahwa anak mereka mungkin hanya menunggu waktu untuk dipulangkan seperti rekan-rekan aktivis lain yang dibebaskan.
Di sini saya belajar lagi, bahwa trauma seseorang tidak bisa semudah itu disingkirkan hanya dengan himbauan untuk berpikir logis. You definitely could not ask someone who faced terror for months to just quit being miserable and live happily. Sebagai orang yang "sehat", kita udah sepatutnya jadi orang yang banyak-banyak sabar. Dengerin mereka, dukung mereka. Kasihlah mereka waktu untuk pulih. Terimalah kalau mereka memang bukan orang yang dulu kita kenal lagi.
Back to the book, storytelling-nya Leila di sini cukup enak buat dibaca. Meskipun banyak maju-mundur di alur ceritanya (khususnya di paruh pertama), tetapi tidak membingungkan. Walaupun banyak lompatan, tapi alur cerita di bagian ini masih tetap jelas karena di setiap bab dan pergantian periode diberi keterangan tahun.
Well, the fact that buku ini ditulis dalam bahasa Indonesia helps a lot haha. Walaupun topiknya seberat ini, tapi saya berhasil selesain bukunya dalam enam jam, itu pun udah kepotong solat, mandi nyapu ngepel dan bikin makan malam hehe. Memang ya bahasa Ibu itu terbaik, mau cerita dibikin sekacau apapun tetep aja lancar nangkepnya.
Untuk sudut pandang kedua (yang diwakili oleh sudut pandang adik perempuan Laut, Asmara), penulisannya agak lebih straightforward. Bagian ini lebih banyak mengisahkan tentang bagaimana orang-orang yang ditinggalkan (dan bertahan) melanjutkan hidup, bagaimana mereka tetep memperjuangkan nasib teman-teman mereka yang masih belum jelas hidup matinya. While struggling with their own problems, mereka terus menyempatkan diri menggali informasi serta mendesak penguasa untuk segera menuntaskan kekerasan HAM terhadap orang-orang terdekat mereka yang dilenyapkan (hence, aksi Kamisan). Bagi mereka, any revelation is not always comforting, but at least they aren't longer facing with blindness.
Novel ini bener-bener membuka mata saya mengenai apa-apa yang kakak-kakak perjuangkan, untuk hal yang mereka anggap benar. Sekalipun harus melawan penguasa, sekalipun harus menggadaikan masa muda dan nyawa mereka. Penguasa ga selalu ada di pihak yang benar hanya karena mereka memegang kendali hukum dan peraturan. Hal yang terlihat pakem, akan ada waktunya untuk beralih menuju kebenaran yang baru. Mungkin kita ga akan langsung lihat hasil dari apa yang kita upayakan, tapi setidaknya kita udah bekerja.
Semangat mereka mungkin tidak untuk saya ikuti segera (saya belum se-berani itu), tetapi kekuatan mereka untuk berpegang teguh pada hal yang mereka anggap benar, bener-bener jadi pelajaran. Kalau memang itu hal yang benar, why not? Just do it!
Anyway, saya suka banget potongan puisi tokoh "Sang Penyair" yang ada di buku ini:
Matilah engkau mati
Semoga engkau lahir berkali-kali
Semoga engkau lahir berkali-kali
--
Get your ebook here: