Jun 23, 2020

Laut Bercerita: Tentang Hidup yang Abadi

I wrote the title as if the book talked about some kind of witch that obsessed over eternal youth and beauty, lol.

Despite some details that not so-syar'i (jk :D), this novel told us deeper about how we can live forever as Rasulullah taught us Moslems. Raga mungkin habis terurai, tetapi semangat, idealisme, dan kenangan manis itulah yang membuat kita abadi.

NOTE: Di novel ini terdapat lumayan banyak adegan dan penggambaran yg agak bikin dada nyes~ terutama di bagian penyiksaan, jadi untuk kalian yang punya anxiety, you might need to wait until you're ready, atau skip aja sekalian. Buku lain banyak. Kestabilan mental kalian lebih utama ya tems.

Cover


Novel yang ditulis oleh Leila S. Chudori ini (english title: The Sea Speaks His Name) bercerita tentang penangkapan aktivis mahasiswa pre-Reformasi 1998. Diantara cerita-cerita dari bilik kurungan dan kamar interogasi (penyiksaan), Leila menyisipkan flashback potongan kegiatan-kegiatan aktivisme yang berujung pada berakhirnya sosok salah satu tokoh utama, Biru Laut, di dasar Laut Jawa. Sempat di-mention juga, tragedi Sabtu Kelabu yang (setelah saya googling ditengah-tengah baca, pardon my poor historical reference) merupakan salah satu bab perjuangan kakak-kakak aktivis untuk mendobrak tiranisme rezim Orde Baru.

Paruh kedua dari buku mengambil sudut pandang keluarga korban dan penyintas, yang akhirnya "terpaksa" untuk melanjutkan hidup meski dengan beban yang ga akan bisa dipahami orang-orang yang ga mengalami sendiri. Orang-orang yang berhasil dibebaskan, mereka keluar dengan trauma berat, depresi, dan membawa survivor's guilt kenapa mereka harus dibebaskan sementara rekan-rekannya ga selamat. Sementara keluarga korban, beberapa akhirnya hidup dalam struggle hebat untuk menerima bahwa orang terdekat mereka tidak akan kembali ke rumah. Kenyataan bahwa anak, kekasih, saudara mereka pergi dengan cara yang kejam dan tidak wajar bikin mereka shock, jelas. Some of them cope in denial for years, bahwa anak mereka kelak kembali, bahwa anak mereka mungkin hanya menunggu waktu untuk dipulangkan seperti rekan-rekan aktivis lain yang dibebaskan.

Di sini saya belajar lagi, bahwa trauma seseorang tidak bisa semudah itu disingkirkan hanya dengan himbauan untuk berpikir logis. You definitely could not ask someone who faced terror for months to just quit being miserable and live happily. Sebagai orang yang "sehat", kita udah sepatutnya jadi orang yang banyak-banyak sabar. Dengerin mereka, dukung mereka. Kasihlah mereka waktu untuk pulih. Terimalah kalau mereka memang bukan orang yang dulu kita kenal lagi.

Back to the book, storytelling-nya Leila di sini cukup enak buat dibaca. Meskipun banyak maju-mundur di alur ceritanya (khususnya di paruh pertama), tetapi tidak membingungkan. Walaupun banyak lompatan, tapi alur cerita di bagian ini masih tetap jelas karena di setiap bab dan pergantian periode diberi keterangan tahun.

Well, the fact that buku ini ditulis dalam bahasa Indonesia helps a lot haha. Walaupun topiknya seberat ini, tapi saya berhasil selesain bukunya dalam enam jam, itu pun udah kepotong solat, mandi nyapu ngepel dan bikin makan malam hehe. Memang ya bahasa Ibu itu terbaik, mau cerita dibikin sekacau apapun tetep aja lancar nangkepnya.

Untuk sudut pandang kedua (yang diwakili oleh sudut pandang adik perempuan Laut, Asmara), penulisannya agak lebih straightforward. Bagian ini lebih banyak mengisahkan tentang bagaimana orang-orang yang ditinggalkan (dan bertahan) melanjutkan hidup, bagaimana mereka tetep memperjuangkan nasib teman-teman mereka yang masih belum jelas hidup matinya. While struggling with their own problems, mereka terus menyempatkan diri menggali informasi serta mendesak penguasa untuk segera menuntaskan kekerasan HAM terhadap orang-orang terdekat mereka yang dilenyapkan (hence, aksi Kamisan). Bagi mereka, any revelation is not always comforting, but at least they aren't longer facing with blindness.

Novel ini bener-bener membuka mata saya mengenai apa-apa yang kakak-kakak perjuangkan, untuk hal yang mereka anggap benar. Sekalipun harus melawan penguasa, sekalipun harus menggadaikan masa muda dan nyawa mereka. Penguasa ga selalu ada di pihak yang benar hanya karena mereka memegang kendali hukum dan peraturan. Hal yang terlihat pakem, akan ada waktunya untuk beralih menuju kebenaran yang baru. Mungkin kita ga akan langsung lihat hasil dari apa yang kita upayakan, tapi setidaknya kita udah bekerja.

Semangat mereka mungkin tidak untuk saya ikuti segera (saya belum se-berani itu), tetapi kekuatan mereka untuk berpegang teguh pada hal yang mereka anggap benar, bener-bener jadi pelajaran. Kalau memang itu hal yang benar, why not? Just do it!

Anyway, saya suka banget potongan puisi tokoh "Sang Penyair" yang ada di buku ini:

Matilah engkau mati
Semoga engkau lahir berkali-kali

--
Get your ebook here:

The Weight of Our Sky: Sejarah Negara dari Kacamata "Budak Jin"

Kisah seorang murid perempuan Malaysia yang berencana nonton film Paul Newman bersama sahabatnya, namun berakhir dengan terjebak berhari-hari di rumah kenalannya yang seorang warga keturunan China. Seharusnya hal tersebut bukan masalah, karena baik keturunan China, Melayu, maupun India, semuanya sama-sama warga Malaysia, menjunjung adat dan langit yang sama. Namun, rusuh pasca pemilihan umum dan sarana komunikasi yang putus total memaksanya untuk terpisah dari Mamanya, tanpa ia tahu apakah Mama masih bernapas di luar sana.

Dan ya, bisikan dan seruan dalam kepalanya tentu saja membuat situasi yang sudah kusut, makin menjadi kalut. Terima kasih, "Jin".

Cover Buku

Saya tahu karya ini dari seorang netizen di twitter literary base. Saya tidak banyak berekspektasi, waktu itu cuma mau cari buku selingan non-serial setelah maraton delapan buku Artemis Fowl dan reader slump dari The Raven Cycle yang ga kelar-kelar.

Saya belum pernah baca "Laut Bercerita"-nya Leila S. Chudori. Dan penasaran sangat. Belum kesampaian dapetin bukunya (legal maupun ilegal). Tapi sepertinya buku The Weight of Our Sky ini agak mengobati rasa penasaran saya tentang gimana sih, rasanya baca novel dengan setting cerita kerusuhan politik. Bagaimana melihat huru-hara dari sudut pandang orang-orang yang terdampak langsung, bagaimana orang-orang masih banyak yang mau nolong sesama walaupun mereka sendiri korban.

Saya juga dapat bonus besar (it's an understatement, ini sebenernya malah pelajaran terbesar) soal mental illness. Tokoh utama buku ini adalah seorang pejuang OCD. Ia begitu terobsesi dan bergantung pada pola-pola hitungan per-tiga-an dan sisi sebelah kanan. Bagi orang luar, orang seperti ini tentu ga masuk akal dan aneh kan, dan bakal gampang aja untuk menyarankan "Well you can just STOP counting if that gives you discomfort. What so difficult?".

Well, mereka sadar kok mereka freak.

Mereka ngerti, kalau number does not really matter.

Tapi di saat yang bersamaan, mereka ga bisa semudah itu berhenti.

OCD ini bukan sekadar ketakutan biasa yang bisa kalian stop kalau ancamannya sudah berlalu, seperti misalnya kalian takut sama cicak atau takut lewat kuburan di malam jumat. Atau sekedar clean freak yang ga bisa lihat debu di meja. Ancaman mereka itu ada di dalam kepala mereka, dan bisikan-bisikan itu muncul setiap saat. They obsess with whatever they're holding on with, because they're coping with that fear. Capek loh. Dan himbauan untuk berhenti dari orang lain, ga bisa mereka lakukan semudah itu.

Makanya, mental illness patients itu selalu bilang bahwa di kepala mereka ada monster. Karena memang iya.

Anyway. Balik lagi ke review buku. TWOOS ini bercerita tentang Melati Ahmad, seorang panderita OCD yang menjadi saksi mata kerusuhan politik rasial di Malaysia, tahun 1969 antara warga ras Melayu dan warga keturunan China. Melalui buku ini, Hanna Alkaf menceritakan bagaimana Melati melihat langsung kerusuhan dan serangan-serangan dari dua kubu yang berseteru, bagaimana mengerikannya situasi di luar dan betapa tegangnya situasi di dalam rumah, yang tidak beda jauh mencekamnya.

Konflik cerita dikemas secara cantik, dimana Melati yang keturunan Melayu ended up ditolong oleh Aunt Bee yang keturunan Cina. Ia dijaga baik-baik di dalam rumah, sementara rekan satu ras mereka saling bunuh. Hanna juga mengemas konflik yang dihadapi penderita OCD dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan dan stigma (tekanan) orang luar, yang terganggu dengan obsesinya mengetuk dan menghitung. Pun, konflik internal dalam diri Melati, dimana ia merasa bahwa kematian sahabatnya, bahwa beban yang ditanggung Auntie Bee, semua salahnya.

Karena buku ini bercerita tentang kejadian nyata, tentu Melati ga punya peran signifikan dalam menghentikan kerusuhan seperti layaknya main characters di Detective Conan atau Avenger series. Alur cerita dibuat mulus dengan intensitas konflik yang seimbang, sampai ga kerasa tahu-tahu udah sampai halaman 162 aja.

Adapun ending kerusuhan dibiarkan apa adanya, karena memang tidak di-highlight juga kan siapa yang akhirnya mengakhiri tragedi tersebut in real life. Namun, Melati sendiri diceritakan berhasil melawan "Jin" di kepalanya dalam satu tindakan yang cukup nekat. Ga diceritakan apakah ia benar-benar sembuh (karena tahun 1969 awareness mengenai mental illness belum sebaik sekarang), tapi saya lihat lompatan yang dilakukan tokoh Melati cukup besar, untuk kondisinya saat itu. Cakep untuk jadi penutup cerita.

Well, ga ada keharusan kalo ending cerita harus sejelas kamera Huawei P40 kan?

Anyway, saya jadi makin tergoda buat beli Laut Bercerita di Google Playbook nih :")

--
get your ebook here:

Jun 22, 2020

Semacam Rencana Tengah Tahun

22 Juni 2020

Selamat ulang tahun Jakarta

Eh, saya ga peduli juga sih. Saya warga Jawa Barat, pun lagi ga kerja di Jekardah juga gabisa ya kalian maksa gua berterima kasih sama kalian pake alasan saya ngotor2in udara Jakarta lmao gua udah ga ke sana empat bulan sejak korona.

Anyway. Udah enam bulan aja di tahun 2020. Udah satu semester berlalu. Kalo anak sekolah udah dapet rapot kenaikan kelas ini, sayang lagi wabah jadi hura-hura perpisahan dan kenaikan kelasnya harus diskip tahun ini. Yak saya mendengar Bapak Ibu di sebelah sana bernapas lega karena tahun ini tidak harus bayar iuran perpisahan.

Tapi karena saya pengangguran, jadi tahun ini agak-agak miris haha. Aktivitas saya selama enam bulan ini bener-bener bisa dihitung pake jari tangan. Ga bagus-bagus amat pula hasilnya.

Kayanya emang saya harus cepet-cepet cari kerja terus cari pacar. Suram gini hidup saya kalo ga ada yang ngedorong. Selama sekolah, guru sama orang tua yang selalu ngerecokin saya buat ngepush diri sendiri. Hamdalah, ini otak belum kenal twitter jadi ga ketularan mental disease trend nya anak-anak edgy yang disuruh cuci piring emaknya aja teriak PARENT ABUSE! -well, intinya, saya tuh ga masalah dipush. Malah kalo gaada yang "nyiksa" saya, saya mungkin ga akan pernah nyicipin bangku kuliah dan kerja enem taon di kantoran.

Jadi postingan ini cuma bakal jadi outline aja, konten-konten apa aja yang bakal saya tulis di sini. Semacam niat ingsun lah. Yep, saya niatkan rajin ngeblog lagi. Dari postingan terakhir sampai hari ini, sebenernya saya ada beberapa kali nulis. Cuma karena saya mager konek ke internet buat ngelink-in sumber tulisan, jadinya tulisan-tulisan itu teronggok begitu saja di draft. Mau di-post, udah basi haha

Rencana konten 2020

1. Review buku

Kegiatan yang lumayan nyita (buang-buang) waktu saya selama enam bulan ini adalah ngeberesin baca novel fiksi. Saya punya banyak banget novel fiksi (bajakan woops) hasil ngopi dari temennya temennya temennya -yah intinya temen, dan niatnya sih dibacain itu semua biar faedah. Dan seiring dengan saya follow autobase pecinta buku (@literarybase), list saya makin panjang aja karena adaa aja buku yang menarik dan belum saya baca.

Per 22 Juni 2020, berikut list buku yang udah saya selesaikan (saya screencap di tabel excel aja karena ini sebenernya detail ga penting cuma somehow satisfying jadi saya bela-belain tulis lol)

This is the result of being organized but lazy at the same time. Jadinya setengah-setengah kan wkwk


Anyway, rencananya sih saya pengen nulis review ala-ala gitu lah. Entah bakalan nggenah apa enggak, karena enam bulan ini saya baca ngebut, semacam dikejar target pencapaian self-bragging right gitu lah bisa baca sekian buku (regardless dari mana saya dapetnya, sadly). I can't even remember the stories, karena saya fokus ke finish nya, bukan enjoy the reading moment nya. Apalagi kalo lagi baca series, rasanya pengen cepet-cepet beres aja. (And you see most of my finished book are SERIES lmao)

Yg standalone aja masih ada sangkut pautnya sama series.

Anyway next,

2. The Usual recent issues commentary

Walaupun jujur, karena saya balik lagi ke bookworm mode, saya jadi ga terlalu banyak scrolling twitter ngikutin update orang-orang. Jujur, selain ncovid yang progress penanganannya masih au ah elap, ga banyak yang bisa dibahas di timeline saya. Satu, karena saya mulai ga berminat ngikutin kpop (Chenpop rules, go Chen or go home) - sedangkan mutual saya mostly lungsuran kpop jadi well, it's kinda boring. Dua, dengan ngeboseninnya timeline asli, saya akhirnya bikin timeline-timeline baru dalam bentuk list, sehingga peminatan saya makin ga fokus dan ga karu-karuan lmao.

namanya agak-agak nganu tapi well, intinya "timeline" saya sebanyak ini memang



3. Translation

Maybe, entah ini boleh apa enggak sih haha. Jujur untuk translation lagu, saya ngerasa belum punya feelnya. Sedangkan untuk translation in progress yang lagi saya bikin (sumpah ini saking gabutnya), ya itu entah boleh dipost di blog ginian ato enggak. Pun hasilnya juga bakal ngebosenin banget sih. Paling saya post satu dua scanlation Detective Conan/Zero's Tea Time/Wild Police Story aja, kalo emang ada text translationnya di luar sana (SAYA BELUM SANGGUP TRANSLATE DARI JEPANG KE INDONESIA LANGSUNG PLS LOL)


4. Ngasah ilmu data science

Please do not trust my subtitle lmao. Intinya kalo saya lagi pengen nulis sesuatu dan pake ilustrasi data yang agak sedikit diatas sekedar tabel excel (misalnya pake interactive plot), ya jelas saya ga akan nulis di sini. Mungkin akan saya post di rpubs. Ga dashboard juga sih, jujur saya lupa caranya pake shinyapps. And I have no idea what did I make for my python project.

Did I just hear EMPAT PULUH JUTA TERBUANG PERCUMA MWAHAHAHAHAHAHA