Kisah seorang murid perempuan Malaysia yang berencana nonton film Paul Newman bersama sahabatnya, namun berakhir dengan terjebak berhari-hari di rumah kenalannya yang seorang warga keturunan China. Seharusnya hal tersebut bukan masalah, karena baik keturunan China, Melayu, maupun India, semuanya sama-sama warga Malaysia, menjunjung adat dan langit yang sama. Namun, rusuh pasca pemilihan umum dan sarana komunikasi yang putus total memaksanya untuk terpisah dari Mamanya, tanpa ia tahu apakah Mama masih bernapas di luar sana.
Dan ya, bisikan dan seruan dalam kepalanya tentu saja membuat situasi yang sudah kusut, makin menjadi kalut. Terima kasih, "Jin".
Cover Buku |
Saya tahu karya ini dari seorang netizen di twitter literary base. Saya tidak banyak berekspektasi, waktu itu cuma mau cari buku selingan non-serial setelah maraton delapan buku Artemis Fowl dan reader slump dari The Raven Cycle yang ga kelar-kelar.
Saya belum pernah baca "Laut Bercerita"-nya Leila S. Chudori. Dan penasaran sangat. Belum kesampaian dapetin bukunya (legal maupun ilegal). Tapi sepertinya buku The Weight of Our Sky ini agak mengobati rasa penasaran saya tentang gimana sih, rasanya baca novel dengan setting cerita kerusuhan politik. Bagaimana melihat huru-hara dari sudut pandang orang-orang yang terdampak langsung, bagaimana orang-orang masih banyak yang mau nolong sesama walaupun mereka sendiri korban.
Saya juga dapat bonus besar (it's an understatement, ini sebenernya malah pelajaran terbesar) soal mental illness. Tokoh utama buku ini adalah seorang pejuang OCD. Ia begitu terobsesi dan bergantung pada pola-pola hitungan per-tiga-an dan sisi sebelah kanan. Bagi orang luar, orang seperti ini tentu ga masuk akal dan aneh kan, dan bakal gampang aja untuk menyarankan "Well you can just STOP counting if that gives you discomfort. What so difficult?".
Well, mereka sadar kok mereka freak.
Mereka ngerti, kalau number does not really matter.
Tapi di saat yang bersamaan, mereka ga bisa semudah itu berhenti.
OCD ini bukan sekadar ketakutan biasa yang bisa kalian stop kalau ancamannya sudah berlalu, seperti misalnya kalian takut sama cicak atau takut lewat kuburan di malam jumat. Atau sekedar clean freak yang ga bisa lihat debu di meja. Ancaman mereka itu ada di dalam kepala mereka, dan bisikan-bisikan itu muncul setiap saat. They obsess with whatever they're holding on with, because they're coping with that fear. Capek loh. Dan himbauan untuk berhenti dari orang lain, ga bisa mereka lakukan semudah itu.
Makanya, mental illness patients itu selalu bilang bahwa di kepala mereka ada monster. Karena memang iya.
Anyway. Balik lagi ke review buku. TWOOS ini bercerita tentang Melati Ahmad, seorang panderita OCD yang menjadi saksi mata kerusuhan politik rasial di Malaysia, tahun 1969 antara warga ras Melayu dan warga keturunan China. Melalui buku ini, Hanna Alkaf menceritakan bagaimana Melati melihat langsung kerusuhan dan serangan-serangan dari dua kubu yang berseteru, bagaimana mengerikannya situasi di luar dan betapa tegangnya situasi di dalam rumah, yang tidak beda jauh mencekamnya.
Konflik cerita dikemas secara cantik, dimana Melati yang keturunan Melayu ended up ditolong oleh Aunt Bee yang keturunan Cina. Ia dijaga baik-baik di dalam rumah, sementara rekan satu ras mereka saling bunuh. Hanna juga mengemas konflik yang dihadapi penderita OCD dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan dan stigma (tekanan) orang luar, yang terganggu dengan obsesinya mengetuk dan menghitung. Pun, konflik internal dalam diri Melati, dimana ia merasa bahwa kematian sahabatnya, bahwa beban yang ditanggung Auntie Bee, semua salahnya.
Karena buku ini bercerita tentang kejadian nyata, tentu Melati ga punya peran signifikan dalam menghentikan kerusuhan seperti layaknya main characters di Detective Conan atau Avenger series. Alur cerita dibuat mulus dengan intensitas konflik yang seimbang, sampai ga kerasa tahu-tahu udah sampai halaman 162 aja.
Adapun ending kerusuhan dibiarkan apa adanya, karena memang tidak di-highlight juga kan siapa yang akhirnya mengakhiri tragedi tersebut in real life. Namun, Melati sendiri diceritakan berhasil melawan "Jin" di kepalanya dalam satu tindakan yang cukup nekat. Ga diceritakan apakah ia benar-benar sembuh (karena tahun 1969 awareness mengenai mental illness belum sebaik sekarang), tapi saya lihat lompatan yang dilakukan tokoh Melati cukup besar, untuk kondisinya saat itu. Cakep untuk jadi penutup cerita.
Well, ga ada keharusan kalo ending cerita harus sejelas kamera Huawei P40 kan?
Anyway, saya jadi makin tergoda buat beli Laut Bercerita di Google Playbook nih :")
--
get your ebook here:
No comments:
Post a Comment