Oct 27, 2019

Shitpost Tentang Ketenagakerjaan

Kayanya hampir tiap minggu adaa aja twit "please do your magic" yang ga punya duit, butuh kerjaan dll. Tiap hari, ada aja twit protes ke pemerintah yang ga bisa ngasih cukup tenaga kerja, semua orang terpaksa kerja jadi driver ojol, dan narasi-narasi semacamnya.

Mari kesampingkan dulu afiliasi (atau tidaknya) politik si poster, yang jelas kita liat pake mata sendiri, pengangguran itu nyata. Tetangga beda dua rumah dari saya aja ada yang nganggur. Gatau lah beliau dapet makan sehari-hari dari mana. Ga nikah sih, untungnya.

Saya banyak baca tweet yang bilang bahwa kebanyakan tenaga kerja sekarang diserap oleh sektor informal. Dengan tidak membedakan kemuliaan dan kebaikan hati bapak-bapak mitra gojek dan grab yang sudah berpanas-panasan membantu kami kaum menengah milenial ngehe, tapi saya setuju bahwa penyerapan tenaga kerja produktif sebagai driver ojol itu ga bisa diklaim oleh Pemerintah sebagai prestasi mereka.







Kalau lulusan sarjana pada lebih milih kerja sebagai pembantu online dibandingkan dengan kerja di sektor formal, kan berarti ada yang salah.

Antara satu, kerjaan sektor formal sucks. Either financially, or systematically.

Financially, karena bayarannya payah. You're expected to work for >8 hours per day only to get UMR. Nah, boro-boro nyicil rumah, buat makan aja kudu dibela2in bawa nasi sendiri biar ga jajan di kantin. Hidup ngekos dan ngontrak all the way!

Systematically, karena sistem nya sucks. Nyarinya susah, HRD nya ngehe minta fresh graduate tapi harus punya pengalaman lima taon. Udah masuk pun, lo ketemu bos yang ga ngasih lo pembelajaran. You do all their works and them be taking credit for all of your sweat and blood. You are expected to come in earlier yet they still ask you to stay longer after work. And what is an overtime pay? Meh, I'd better be baking maself under the sun. At least I'm free.

Atau dua, supply sama demand nya ga nyambung

Kalau aja saya ga join jadi kacung admin project di kantor, mungkin saya ga akan tau kalo sekarang tempat kerja saya lagi struggle cari orang.

Yes, we are struggling to get people to work with us. And we still need to get 170+ people to join our team by end of this year only to get 70% of the ideal manpower. Itu buat area Jabodetabek doang loh

Kalo saya jadi hiring team, saya udah ngajuin surat resign tuh wkwk.

Ini baru tempat kerja saya, belum di tempat lain. Saya denger curhatan dari team hiring (ke project leadernya of course, saya ga cukup penting untuk dicurhatin Nyonyah Hiring) bahwa untuk dapetin sales itu susahnya setengah mati. Sales yang bagus itu either mahal, atau dikekepin sama tempat kerja asalnya.

Saya kira dua poin di atas sama validnya sih. Sebagai pencari kerja, kita tentu harus cari tempat senyaman mungkin buat bekerja. Tapi sebagai hiring team, kita juga jangan asal masukin orang dong.

Sama-sama ngehe, tapi manusiawi emang. No one wants sucks job, but also no one wants sucks employee.

Tapi ada satu hal menarik yang saya amati

Children nowadays are avoiding responsibility as a revenue generator like a plague. Pekerjaan jadi sales itu seakan hina banget, target is taken as a horror and hence everyone is battling to stay away from them.

Padahal kalo kalian jadi revenue generator, kalian bisa gampang loh nulis achievement kalian di CV. "Saya berhasil mengumpulkan revenue perusahaan sebesar 2 miliar." kan mantep tuh.

Like, semua orang pengennya kerja ngadem di back office. Yang gausah ketemu orang.
Berasa kaya manusia saiton di cubicle sebelah yang suka bawel manggil-manggilin juga bukan hooman.

Apa karena sekarang lagi trend nya "edgy", "anxiety", dan "introvercy" ya?

No comments:

Post a Comment