Dec 30, 2019

Ceritanya komen soal (debat) radikalisme

Hari ini saya nemuin diskusi menarik lagi di twitter. Kali ini antara Alissa Wahid vs Bhagavad Sambadha perkara akar perkara masalah yang sedang marak di Indonesia.

Debat berawal dari komentar seorang Peneliti LIPI Bu Siti Zuhro (complete article here) yang mengklaim bahwa:

1. Masalah Indonesia sebenarnya bukan radikalisme, tapi ketimpangan sosial karena stagnasi (wait and see) perekonomian global. 

Penjelasannya, karena investor di seluruh dunia lagi menunggu hasil akhir ketegangan/ perang dagang antara US dan Tiongkok, investor jadi ragu untuk naruh duit mereka di sektor riil, dan lebih memilih naroh di instrumen keuangan aja yang jelas risikonya dan gampang dicairkan. Karena gaada duit investasi masuk, otomatis pabrik-pabrik di sini pada kembang kempis buat muterin usaha, sehingga mereka ga lagi butuh karyawan. Sehingga, pengangguran banyak, yang kaya tetep kaya (karena toh masih punya investasi dimana-mana anyway), tapi yang miskin makin miskin.

2. Politisasi radikalisme dan politik identitas harus dihilangkan agar arah permasalahan sebenarnya (si ketimpangan sosial itu tuh) tidak kabur (tidak jadi terdistorsi sebagai masalah kepercayaan agama).

The fun starts here







Kalo saya lihat ya, sebenernya pendapat dua sisi sama-sama valid kok. Cuma kenapa bisa "clash" (I'm overstating here, sebenernya diskusinya adem kok), karena masing-masing punya background yang berbeda.

Mas Bhagavad sebagai orang yang ga terlalu concern-concern amat sama agama, tentu dia akan melihat masalah dari hal yang dia paham. Dan ketimpangan sosial ini ya masuk di logika dia, seperti dia udah jabarkan di threadnya sebelum di quote sama Mba Alissa di tweet kedua di atas. Peduli setan deh, mau lu moderat apa radikal, kalo negara adil, kalo ketimpangan ga ada, semua orang bakalan fine-fine aja kok.

Which is...make sense. While it's true that money can't guarantee happiness, but without money, the guarantee is even more far-fetched. Having enough money of course, would assure you from being victim of capitalism. Sesimpel punya duit buat beli tiket KRL dan hidup tenang selama satu minggu ke depan karena stok beras aman -- you won't have basic happiness kalo lo ga punya uang. Dan faktanya, di Indonesia masih banyak yang kaya begitu. Well, terlepas dari apakah mereka memang cuma malas atau memang terkekang oleh keterbatasan struktural (apalah itu namanya) ya. Karena bahasan malas atau tidak ini, saya yakin bukan lingkup yang dibahas oleh Mas Bhagavad.

Sedangkan Mbak Alissa sebagai aktivis agama moderat (or liberal, terserah lah apa namanya) tentu akan lebih tajam matanya untuk melihat masalah dengan sudut pandang dan pendekatan 'agama'. Concern dia akan lebih banyak di apakah agama dijalankan dengan benar dalam kehidupan bernegara. Apakah dasar negara terganggu atau tidak. Karena dia juga dibesarkan di tengah lingkungan NU moderat sekaligus anaknya negarawan Gus Dur kan.

Premis bukti dia juga valid, bahwa jika masalahnya memang ketimpangan ekonomi, maka orang-orang miskin yang merupakan rakyat NU logikanya akan banyak teradikalisasi. Nyatanya tidak (terlepas dari apakah klaim ini bener atau engga yah, saya ga punya data tapi for the sake of staying in the topic mari asumsikan klaim ini benar).

Lalu sekarang pertanyaannya, apakah radikalisme benar disebabkan oleh ketimpangan?

Karena berdasarkan pandangan saya (tentu saja saya ga punya data, jadi take this with a grain of salt), orang-orang yang miskin lebih punya banyak faktor pendorong untuk menjadi radikal.

Kita kan tahu yah, orang-orang yang menyebarkan paham khilafah-adalah-kunci, yang radikal, yang ngebom-ngebom itu, yang thagut-thagut itu, punya senjata yang mujarab buat menarik massa: "kesejahteraan akhirat lebih baik daripada kesejahteraan dunia" dan "berjuang di jalan Allah lebih mulia daripada dunia seisinya".

Kalau kita lihat premise itu dari mata orang yang sudah desperate sama kondisi finansialnya, tentu janji "kesejahteraan akhirat" ini bakalan lebih menggoda.

Sehingga dengan ini, maka premis bahwa ketimpangan sosial ekonomi menjadi akar penyebab radikalisme, bisa cocok. Karena kalo masyarakat sejahtera, mereka bisa jadi less-desperate untuk mendapatkan "kesejahteraan akhirat" ini.

Tentu aja, bukan berarti yang sudah mapan tidak bakal kena pengaruh seperti ini. Mereka masih mungkin kena pengaruh. Pasti ada aja jalan, dan kita ga pernah tahu kadar greed manusia seperti apa. Yang udah mapan di dunia, pengen cara gampang buat kaya di akhirat, juga pasti banyak kan.

Untuk membuktikan argumen ini, seharusnya kita jembrengin aja sih datanya gimana. Berapa orang radikal yang background nya dari orang ga punya, berapa banyak yang dari orang mampu. Tapi tentu saja kita sebelumnya harus bener-bener define apa yang disebut dengan radikal. Hayo ribet wkwk

Anyway, bahas dari sisi tweet Mba Alissa deh. Radikalisme ya Radikalisme aja, jangan dilimpahkan kesalahannya ke ekonomi dan lain-lain.

Ada tweet menarik dari salah satu follower Mba Alissa, bahwa gerakan eksklusifitas agama (radikal) ini sebenarnya lebih menyebar di kalangan ekonomi menengah. Again, saya ga punya data untuk mengkonfirmasi ini, tapi mari asumsikan bahwa kita bisa menerima premis ini as is.

(sebenernya saya pengen counter dulu, lebih banyak di ekonomi menengah ini karena emang populasi mid income ini paling banyak atau memang penyebarannya lebih efektif di level ini wkwk tapi daripada ribet ya sudahlah)

Klaim bahwa banyak warga NU yang aman dari eksklusifitas agama (radikalisme) walaupun mereka tergolong miskin, menjadi alasan kenapa radikalisme tidak ada sangkut pautnya dengan kemiskinan?

Hmm, kalo saya kok berpendapat beda ya

Mbak Alissa specifically mention, "NU yang di desa yang rata-rata miskin gak terpapar radikalisme tuh". Lho Mbak, mereka miskin iya, tapi desperate gak? Kalo mereka miskin tapi nrimo, miskin tapi hepi lahir batin, ya secara teknis mereka bakalan punya lebih sedikit faktor pendorong untuk mencari kebahagiaan lain toh? Wong mereka udah rapopo uripku koyo ngene tak lakoni ae?

Tapi dengan asumsi bahwa argumen-argumen Mbak Alissa dan team itu bisa kita terima as is, dan kenyataannya kita juga emang tidak punya dasar apapun untuk menyangkal:

Eksklusifisme agama mostly di kalangan menengah - yang berarti mereka punya lebih sedikit desperation untuk meraih kesejahteraan

Masih ada orang miskin yang aman dari radikalisme - yang berarti walaupun mereka desperate akan harta duniawi, mereka ga terkonversi (anggap saja indeed pemegang ideologi radikalisme sudah mencoba "berdakwah" ke mereka tapi gagal)

Maka teori ini justru lebih bisa mengcover segala anomali yang muncul dari generalisasi teori Mas Bhagavad di atas sih:
"radikalisme itu berakar dari ideologi yang bertujuan untuk mengimplementasikan formalisasi islam sebagai syarat islam yang kaffah",

Lha wong aku cumak pengen islamku total kok.

Bisa jadi orang-orang ini bahkan gak peduli sama kesejahteraan akhirati, karena fokusnya pokoknya cuma pengen berislam doang.

I mean, Mbak Alissa kan aktivis, bisa jadi dia punya lebih banyak data kongkrit sehingga bisa menyangkal hubungan langsung antara kesenjangan ekonomi dan radikalisme kan. Let's keep our option open, shall we? :)

Tapi untuk membawa ini ke level yang bener-bener kongkrit, ke dalam peraturan eksekutif (Perpres, Permen, UU dll), kita pertama-tama harus sepakat dulu sih sama definisi "radikalisme" ini

Soalnya aku lihat, Mas Bhagavad sama sekali ga bahas eksklusifitas agama. Dia cuma fokus ke radikalisme. Tapi Mbak Alissa langsung mengcounter, dan beliau langsung mengasumsikan radikalisme sebagai eksklusifitas agama.



Padahal, eksklusifitas agama bisa jadi berbeda dengan radikalisme yang dibahas. Bisa aja kan.

Hehe

No comments:

Post a Comment