Jul 3, 2020

Rahasia Meede: Misteri Harta Karun VOC

Minggu ini kebetulan saya lagi maraton baca novel lokal. Setelah melahap Laut Bercerita dan Pulang, saya geregetan juga ingin re-read novel sejarah yang udah lama banget saya punya: Rahasia Meede. Awalnya tertarik karena kebetulan yang nulis senior (jauh) SMA, tapi ternyata buku ini worth every single stars it gets in goodreads.



Rahasia Meede mengisahkan tentang Batu Noah Gultom, wartawan harian surat kabar yang ditugaskan menyelidiki dugaan pembunuhan berantai di tempat-tempat berawalan huruf B, dan berhubungan erat dengan masa hidup Bung Hatta. Juga tentang Cathleen Zwinckel, mahasiswi pascasarjana Universitas Leiden yang sedang mencari bahan tesisnya mengenai ekonomi jaman kolonial Hindia Belanda (VOC). Somehow, kedua orang tersebut akhirnya terlibat dalam tindak kejahatan pentolan Anarki Nusantara, dan terjalin dalam pencarian ke alam masa lalu mengenai harta karun VOC.

I know my resume does not make any sense, tapi ya memang itu jalan ceritanya. Any more details will spoil the whole book uniqueness. Bagaimana E.S. Ito membolak-balikkan plot, bagaimana main character dan antagonis bercampur baur dalam keabu-abuan. It perfectly describes bagaimana setiap manusia ga selalu hitam atau putih. Ga jelas lagi mana yang benar mana yang salah. Memang kebenaran itu dasarnya apa? Hukum? Seragam tanda instansi? Keberpihakan pada kekuasaan?

"Sekadar naluri binatang memang tidak bisa melihat perbedaannya. Tetapi, nalar manusia jelas melihatnya berbeda. Aku melakukannya atas nama hukum positif, konstitusi. Kau melakukannya untuk hasrat rendah, naluri buas kebinatangan."

"Konstitusi? Bukankah itu tidak lebih dari kepercayaan pada kepalsuan? Pada awalnya, ia dibuat sebagai mandat rakyat untuk kebebasan. Tetapi kenyataannya sekarang, konstitusi tidak lebih dari penjara ketidakadilan. Di balik jerujinya, kita hanya bisa menatap politik tanpa etika, kekayaan tanpa kerja keras, sains tanpa humanitas, peribadatan tanpa pengorbanan, perniagaan tanpa moralitas, pengetahuan tanpa karakter, kesenangan tanpa nurani..."

Yang menurut saya paling menarik sebenarnya adalah banyaknya sindiran terhadap "pribumi", masyarakat Indonesia yang inkompeten, serba tanggung, malas, dan maunya instan. Atau sekadar putus asa dan tidak punya masa depan. Walaupun bukan dimaksudkan untuk melucu, tapi sentimen londo-pribumi yang dilontarkan buku ini lumayan mengundang tawa miris, at least buat saya sendiri. Memang cenderung bias ras, tapi bukan berarti salah sama sekali sih.

Saya sendiri agak bingung mengkategorikan novel ini ketika merekomendasikannya ke twitter literarybase. Dibilang novel action, sebenarnya tidak terlalu banyak adegan berantem di sini. Dibilang novel sejarah, sebenarnya plot cerita tidak melulu flashback ke kejadian masa lalu, walaupun memang detail kejadian yang dimasukkan ke alur dan dialog sangat rinci , dan kelihatan banget diriset dengan benar-benar dalam sehingga ironisnya, melawan semua sentimen yang di"tuduh"kan di dalam cerita tentang tabiat orang Indonesia. Well, outlier dalam kehidupan itu memang selalu ada, sih.

Yang jelas, novel ini sangat menyenangkan buat dibaca. Ceritanya menegangkan dari awal sampai akhir, dengan alur yang cepat dan ga bertele-tele. Bahasa penulisan formal, tetapi tetap penuh sarkasme dan punchline. Awalnya memang agak membingungkan karena ada banyak cerita yang dituliskan secara sporadis, tetapi di tengah buku akhirnya kelihatan benang merah dari semua potongan cerita. Lalu, detail fakta baik lokasi maupun sejarah, serta tanggal-tanggal yang agak mengintimidasi kalau saya jadi authornya, tetapi justru menunjukkan kecerdasan si tokoh (dan penulisnya, tentu saja). Terakhir, plot twist yang agak bangsat di akhir cerita juga melengkapi buku yang akhirnya saya nyatakan, perfect all-rounder.

You definitely won't want to miss this book out.

Personally, penggambaran minor SMA saya di dua adegan dalam cerita juga membangkitkan nostalgia satu dasawarsa lalu, sehingga jadi poin plus. Damn, I'm old.


No comments:

Post a Comment