Oct 29, 2019

Nadiyah cs X AskDika in Awkarin Drama

Minggu ini di twitter lagi rame banget perkara awkarin. Saya ga ngikutin awal muasalnya gimana (karena kebetulan saya lagi detoks drama twt juga), tapi saya sempet nangkep beberapa sesama selebtwit nyinyir soal ide awkarin yang mau bikin "komunitas aktivis tapi tidak ikut berpolitik", lalu ada creator yang jebe dan ngeup lagi blunder dia yang dulu sempet nyolong gambar di pinterest buat konten instagramnya.

Awkarin akhirnya ngancem yg ngeup untuk membawa perkara ke ranah hukum, dan dhuarr semua orang mendadak ikut sumbang suara. So far mereka kebanyakan ada di sisi si creator yg nge-up itu. Anyway, kabarnya saat ini si creator itu lagi hiatus dulu dari pertwitteran (mau ujian ceunah). Dan semua tweet di akunnya termasuk yang keblow-up itu, udah dihapus.







Program detoks saya auto berantakan karena temen-temen2 saya yg biasanya muncul buat spazzing oppa/gege, tau2 jebe bahas beliau.

Tapi di antara hingar bingar tweet yang memojokkan awkarin, ada satu tweet bangsat yang somehow relatable sama mindset saya.



Mungkin karena saya sendiri orangnya nyinyiran dan pesimistik ya. Tapi saya rasa tweet tersebut ga salah. Emang faktanya begitu kok. Mau berjuang ya emang ga bisa asal grasa-grusu.

Memang merusak mood, tapi fact says what it has to say kan. Ugly truth is better than sweet lie, bagi saya.

Namun, tentu saja perjuangan Mba Nadiyah tetep valid ya.

Memperjuangkan kebenaran/idealisme emang ga selamanya bisa ditempuh pake cara cantik dan santun. Ada kalanya memang harus ditempuh pake cara yang galak, biar leih nyentil.

Kalo gitu, kapan batasannya harus pake cara cantik dan kapan boleh pake yang cara jelek?

Kalo menurut saya sih, kenapa ga jalan bareng aja? Tim galak dan emosional silakan pake cara galak. Kubu yang mau jalan cantik, silakan pake cara cantik. Selama tujuannya sama, ya why not kan?

Tapi ntar kontradiktif dong.

Ya emang kenapa kalo kontradiktif? Untuk kasus ini, Nadiyah tetep bisa jalan walaupun Dika nyinyir kan?

Saya termasuk orang yang merasa bahwa adanya orang yang going against everyone itu tetap diperlukan.

Dika nyinyir, karena mau ngingetin bahwa untuk menghadapi orang kaya dan berkuasa itu harus siap sumber daya. Ga bisa modal nekad doang. Yes it does make impact tapi ya jangan marah kalo kalian team ideal akhirnya malah kena masalah. Orang hukum di Indonesia ini faktanya memang masih tumpul ke atas kok.

Beberapa fans Karin yang mungkin masih ngebelain, ya tetep bisa diambil hikmahnya juga. Mereka itu bukan tolol, tapi lagi ngebantu ngingetin kita, bahwa sejahat-jahatnya Karin, dia tetap adalah orang yang bantu nyiapin 3000 nasi boks buat mahasiswa yang demo tolak UU KPK dan UU-UU bermasalah lainnya bulan September lalu. Walaupun Karin orangnya berbahaya, tapi tindakan dia yang terpuji tetap harus diapresiasi. Salah ya salah, tapi yang baik pun harus tetap diingat.

Dan buat kalian yang mau memperjuangkan Nadiyah dan hak-hak pekerja seni, LANJUTKAN! Jangan biarkan apapun menghalangi niat baik kalian. Idealisme memang sudah seharusnya dikejar, bukan?

Bayangin aja kalo semua orang maunya realistis, maunya pasrah sama status quo. Ya semua orang bakalan bertindak semaunya. Chaos entar, ga akan ada order.

Mesin tanpa rem bakalan celaka, tapi mesin tanpa pedal gas ya ga akan maju. Dan tanpa menjadi maju, apa gunanya mesin diciptakan?

(sedap banget analogi gua wakakak)

Oct 27, 2019

Shitpost Tentang Ketenagakerjaan

Kayanya hampir tiap minggu adaa aja twit "please do your magic" yang ga punya duit, butuh kerjaan dll. Tiap hari, ada aja twit protes ke pemerintah yang ga bisa ngasih cukup tenaga kerja, semua orang terpaksa kerja jadi driver ojol, dan narasi-narasi semacamnya.

Mari kesampingkan dulu afiliasi (atau tidaknya) politik si poster, yang jelas kita liat pake mata sendiri, pengangguran itu nyata. Tetangga beda dua rumah dari saya aja ada yang nganggur. Gatau lah beliau dapet makan sehari-hari dari mana. Ga nikah sih, untungnya.

Saya banyak baca tweet yang bilang bahwa kebanyakan tenaga kerja sekarang diserap oleh sektor informal. Dengan tidak membedakan kemuliaan dan kebaikan hati bapak-bapak mitra gojek dan grab yang sudah berpanas-panasan membantu kami kaum menengah milenial ngehe, tapi saya setuju bahwa penyerapan tenaga kerja produktif sebagai driver ojol itu ga bisa diklaim oleh Pemerintah sebagai prestasi mereka.







Kalau lulusan sarjana pada lebih milih kerja sebagai pembantu online dibandingkan dengan kerja di sektor formal, kan berarti ada yang salah.

Antara satu, kerjaan sektor formal sucks. Either financially, or systematically.

Financially, karena bayarannya payah. You're expected to work for >8 hours per day only to get UMR. Nah, boro-boro nyicil rumah, buat makan aja kudu dibela2in bawa nasi sendiri biar ga jajan di kantin. Hidup ngekos dan ngontrak all the way!

Systematically, karena sistem nya sucks. Nyarinya susah, HRD nya ngehe minta fresh graduate tapi harus punya pengalaman lima taon. Udah masuk pun, lo ketemu bos yang ga ngasih lo pembelajaran. You do all their works and them be taking credit for all of your sweat and blood. You are expected to come in earlier yet they still ask you to stay longer after work. And what is an overtime pay? Meh, I'd better be baking maself under the sun. At least I'm free.

Atau dua, supply sama demand nya ga nyambung

Kalau aja saya ga join jadi kacung admin project di kantor, mungkin saya ga akan tau kalo sekarang tempat kerja saya lagi struggle cari orang.

Yes, we are struggling to get people to work with us. And we still need to get 170+ people to join our team by end of this year only to get 70% of the ideal manpower. Itu buat area Jabodetabek doang loh

Kalo saya jadi hiring team, saya udah ngajuin surat resign tuh wkwk.

Ini baru tempat kerja saya, belum di tempat lain. Saya denger curhatan dari team hiring (ke project leadernya of course, saya ga cukup penting untuk dicurhatin Nyonyah Hiring) bahwa untuk dapetin sales itu susahnya setengah mati. Sales yang bagus itu either mahal, atau dikekepin sama tempat kerja asalnya.

Saya kira dua poin di atas sama validnya sih. Sebagai pencari kerja, kita tentu harus cari tempat senyaman mungkin buat bekerja. Tapi sebagai hiring team, kita juga jangan asal masukin orang dong.

Sama-sama ngehe, tapi manusiawi emang. No one wants sucks job, but also no one wants sucks employee.

Tapi ada satu hal menarik yang saya amati

Children nowadays are avoiding responsibility as a revenue generator like a plague. Pekerjaan jadi sales itu seakan hina banget, target is taken as a horror and hence everyone is battling to stay away from them.

Padahal kalo kalian jadi revenue generator, kalian bisa gampang loh nulis achievement kalian di CV. "Saya berhasil mengumpulkan revenue perusahaan sebesar 2 miliar." kan mantep tuh.

Like, semua orang pengennya kerja ngadem di back office. Yang gausah ketemu orang.
Berasa kaya manusia saiton di cubicle sebelah yang suka bawel manggil-manggilin juga bukan hooman.

Apa karena sekarang lagi trend nya "edgy", "anxiety", dan "introvercy" ya?

Oct 14, 2019

Rest in Peace...

Judul postingan kali ini agak spooky. Ungkapan "rest in peace" biasa dipake sebagai ungkapan berduka cita atas meninggalnya seseorang.

Apapun agamanya, apapun jenis kelaminnya, apapun statusnya, semua sama. Rest in Peace.

Beristirahatlah dalam damai (kedamaian).

Tadinya saya cuma ikut-ikutan aja pakai ungkapan itu. Terutama jika sang almarhum non muslim ya, karena ga terlalu nyambung kalo pake ungkapan dukacita ala islam "innalillahi wa innailaihi rajiun" kan. Dan innalillahi itu pun kalo diterjemahkan ke bahasa inggris/Indonesia pun jatohnya agak cuek kaya yang "yaudah sih cuy mati ya mati aja". Walaupun tentu ga sekasar dan segaksensitif itu. Semoga.

Tapi sekarang baru kepikiran lagi, kenapa "Rest in Peace"?

Kenapa orang yang hidupnya sudah berakhir, udah beristirahat selamanya, harus masih didoakan juga "dengan damai"?

Toh, maaf, hantu itu secara teknis ga ilmiah kan. Agak-agak ga nyambung ya kalo kita bawa mitos bahwa orang yang meninggal dengan membawa tanggungan itu, akan balik lagi. Apalagi kalo konteksnya adalah orang-orang yang ga percaya adanya kehidupan setelah mati. Wallahualam sih ya.

Kalo menurutku ya, konteks "in peace" itu bukan untuk mendoakan setelah kematiannya.

Tapi, mendoakan ketika kematiannya.

Semoga kematiannya indah, semoga kematiannya tenang, semoga kematiannya mulia.

Ya jatohnya bukan doa sih, tapi harapan. Eh, tapi harapan itu kan doa ya, dan doa itu harapan?

Kita tahu kan, walaupun nyawa manusia itu ada akhirnya, tapi kenangan akan mereka akan abadi. Termasuk kenangan akan akhir hidup mereka.

Dengan kematian sebagai garis "finish", tentu semua orang pengen dong akhir hidup mereka bermartabat? Udah finish nih, masa mau jelek? Walaupun dunia mungkin memang jahat, tapi jika udah menyangkut diri sendiri, saya kira semua orang akan ingin yang terbaik.

Dan dengan diucapkan oleh orang lain itu, bukan oleh si almarhum sendiri, tentu itu harapan baik dong, buat yang meninggal maupun buat yang mengucapkan. I mean, wishing someone good deed is never wrong. 

Anyway, Rest in Peace, Sulli sayang. Dunia memang jahat sama kamu selama 25 tahun, tapi kami harap, ajalmu menyenangkan. Setidaknya, kami di dunia akan mengingat kamu sebagai sosok yang ceria, cantik luar dalam, dan membawa kebahagiaan jutaan orang.

Love, a no name EXO-L


Oct 12, 2019

"Understanding"

Stanning an idol singer is such a waste of time and money. You spend bucks for watching two-three hours concert, another for album and stuffs, and it hasn't even include the amount of time you use for staring and crying at dude who doesn't even know you exist.

Well, ga salah sih.

Tapi balik lagi tergantung apa yang kalian lihat dan serap kan. Kalian nonton kajian hadist 6 jam tiap hari pun, tetep aja outcomenya tergantung apakah kalian mengambil intisari hadist nya, atau malah jadi menyerap sifat bigot ustadnya yang parno sama perempuan berbikini. MISALNYA OKAY MISALNYA.

"Tapi kan ilmunya bener"

Ya ilmunya emang ga salah. Tapi kalo kita balikin lagi, kenapa ilmu yang sama baiknya, yang diserap dari pria bermakeup tebal dan berdansa, dianggap hina?

Okay let's quit rambling and jump to the topic


Pagi ini gua dapet pelajaran cakep banget dari seorang kafir katolik Korea, namanya Chen aka Kim Jongdae.



Kita sering complain soal betapa nasty-nya dunia ini. Soal wakil rakyat yang doyan korupsi, soal pemerintahan yang payah, sampai perkara mbak-mbak di kereta yang nyerobot antrian.

Kita merasa hak kita diinjak, gitu kan.

"Enak aja, itu kursi meja rapat kalian bayar dari pajak gua, kalian pake buat tidur doang?"

"Jadi kaya gini nih Presiden yang kita pilih? Hutan dibakar dia diem aja?"

"Mbak2 sialan, gua udah ngantri duluan juga. Punya tatakrama ga sih?"

Tapi pernah kepikiran ga sih, bahwa mereka mungkin ga punya pilihan lain saat itu?

Presiden diem, mungkin karena dia lagi nunggu hasil laporan dulu dari tim lapangan, buat mastiin keadaan aman dulu karena dia ga mungkin mengorbankan tim SAR atau tentara kalo memang kondisi ga aman.

Mbak-mbak mungkin nyerobot karena dia udah ditunggu anaknya yang mendadak muntah-muntah dan panas tinggi di rumah.

(I'm still struggling to find justification to senate's incompetence tapi poinnya nyampe lah ya)

Kondisi tiap orang berbeda. Bahkan untuk kebodohan-kebodohan yang bener-bener kelihatan tolol, kalo kita coba telisik ke belakang, bisa aja ada kisah tragis di belakangnya. Yang kemudian membuat kita berpikir, "oh iya ya, kalau kita di posisi dia, mungkin kita akan bersikap sama".

Kita sering lihat twit bodoh di twitter dimana kita sampe gemes pengen nyamperin si original poster dan ngejogrok-jogrokin kepalanya, tapi pernah ga mau menggali struggle dia sebenarnya?

Atau komen ganas di instagram atlet bulutangkis yang baru kalah. Bisa aja loh, si commenter adalah pacarnya si atlet badminton, dia tau betul bagaimana atlet tersebut males-malesan latihan, dan dia juga tau bagaimana keluarganya si atlet di rumah sedang ngarep2 uang hadiah turnamen karena mereka butuh buat bayar gadai rumah.




Okay, untuk kepentingan bersama to some extent kita punya opsi untuk mengingatkan dan mengedukasi orang lain. Tapi ngingetin itu beda ya sama ngatur. Kalo ngingetin, posisi kita setara. Tapi kalo udah ngatur, kita ngerasa posisi kita di atas. Trust me, it shows when you're intending to remind someone, compared when you're outright giving them order.

Dan mengingatkan orang itu, selalu dengan baik-baik. Gaada orang diingetin tuh malah balik marah. Kecuali kalau mereka memang punya masalah, dan di situ adalah dimana kita, again, harus mencoba ngerti. You did your part, whether they accept it or not it's out of your business. 

Tidak, saya ga meminta teman-teman buat apatis dan membiarkan orang lain bersikap salah. But stay on your lane. And if you have no options other than crossing them, please PLEASE PLEASE do that nicely.

They might or might not accepting your suggestion, but your nice gesture will stay nonetheless.

Dunia yang indah itu bukan dunia dimana semua orang menganut standar yang sama, tapi dunia dimana semua orang bersikap sama, dimana semua orang akan mencoba memahami orang lain yang punya struggle dan latar belakang yang berbeda

Stay positive

And stream "Shall We?" by my son Chen


and "Jopping" by Super-M.