Disclaimer: Postingan ini mengacu pada recap hasil pemaparan dan diskusi kulwap (seminar whatsapp) yang diselenggarakan oleh Queenride community. Saya hanya mencatat hal-hal apa saja yang dibahas di dalam group tertutup, yang keanggotaannya khusus berisikan peserta yang telah mendaftar dan diverifikasi. Tulisan ini tidak pernah melalui proses review oleh pihak narasumber Queenride community, jadi jika ada perbedaan atau kesalahan pemahaman, itu sepenuhnya kesalahan saya, mengingat saya sama sekali belum memiliki pengalaman dalam mendidik anak.
Semoga Allah melimpahkan kebaikan bagi penyelenggara dan pihak-pihak yang telah membagi ilmu dan pengalamannya.
Untuk informasi, jadwal, dan pendaftaran kulwap dan aktivitas lainnya bisa cek akun media sosial Queenrides:
Ali bin Abi Thalib adalah khalifah keempat Khulafaur Rasyidin yang memimpin kerajaan Islam tahun 655-660 M. Beliau adalah keponakan sekaligus menantu Rasulullah SAW, dan semasa kecil sempat dirawat dan dididik langsung oleh beliau. Ali kecil adalah anak yang cerdas dan memiliki wawasan yang luas - yang bersumber langsung dari Al Quran, sehingga kita bisa juga meniru cara-cara hidup beliau, khususnya dalam mengasuh dan membesarkan anak.
Sebelum melompat masuk ke pembahasan materi, perlu digarisbawahi bahwa mendidik anak adalah seni. Setiap anak dilahirkan spesial, sehingga ilmu parenting pun tidak bisa diketok dan disama ratakan untuk anak satu dan anak lainnya, bagi kembar identik sekalipun. Pun, dengan jaman yang semakin cepat berubah, maka relevansi teknik mendidik anak pun akan cepat sekali obsolete. Karena tidak ada rumus pasti dalam mendidik anak, maka panduan dan tips parenting yang ada di materi ini sebaiknya hanya menjadi referensi, guideline dan contoh bagi orang tua dalam membesarkan anaknya, sedangkan eksekusinya sepenuhnya akan bergantung kepada visi dan kemampuan masing-masing orang tua.
Pendidikan anak a la Sayyidina Ali terbagi menjadi tiga tahap utama berdasarkan usia anak, dimana masing-masing tahapan adalah sepanjang 7 tahun. Secara umum, tahapan tersebut diilustrasikan pada tabel di bawah ini:
General Parenting Advices (all ages)
1. Prepare yourself thoroughly. Sebelum anak lahir, sebaiknya kedua orang tua harus firm terlebih dahulu perihal tujuan pendidikan anak. Orang tua harus sepakat mau anak menjadi seperti apa, lalu bagaimana caranya agar anak bisa menjadi apa yang dicita-citakan/ ditargetkan orang tua.
Lalu, sebelum mengajarkan disiplin kepada anak, pastikan kedua orang tua sama-sama sudah mengikuti jadwal yang sudah disepakati. Ingat, otak anak usia dini menyerap seperti spons basah, mereka merekam hal sekecil apapun yang terjadi di sekitar mereka. Jika anak sejak kecil melihat orang tuanya beraktivitas tanpa jadwal yang jelas, bagaimana anak mau diatur untuk makan sesuai jadwal?
Perubahan sikap dan kedisiplinan orang tua bisa dimulai dengan perubahan-perubahan kecil yang dilakukan terus menerus. Untuk memotivasi kedua orang tua, bisa dimulai dengan meniatkan bismillah untuk mensyukuri titipan Allah berupa anak dalam kandungan, serta sebagai ikhtiar awal untuk menjadi orang tua yang baik.
Berikut sedikit checklist diskusi untuk memulai persiapan:
2. The earlier, the merrier. Pendidikan anak bisa dimulai sedini mungkin, bahkan ketika anak masih di dalam kandungan. Disiplin waktu (bahkan dalam hitungan jam) akan lebih mudah diserap oleh anak ketika mereka diperkenalkan sejak kecil, ketika otak mereka sedang optimal-optimalnya.
3. However, never too late to start over. Walaupun orang tua sempat kehilangan masa-masa penting pendidikan anak di awal-awal perkembangannya, orang tua selalu punya kesempatan untuk memperbaiki cara mendidiknya pada tahap berikutnya. Setiap tahapan memiliki periode yang cukup panjang (7 tahun), jadi sebenarnya belum terlambat jika orang tua baru mulai belajar sekarang.
Apabila orang tua merasa kurang ilmu agamanya, bisa segera dimulai belajarnya, jangan lupa dimulai dengan berdoa dan diniatkan ikhlas untuk menjadi orang tua yang baik! :) Tidak perlu khawatir lupa teorinya, karena yang lebih penting adalah implementasi manner Islaminya sudah jalan.
4. Ajarkan kebiasaan baik sejak dini dari rumah. Kebiasaan baik tidak harus terbatas pada gender. Misalnya untuk bersikap lemah lembut, itu bukan cuma ranah sikap anak perempuan. Anak laki-laki pun harus tahu bagaimana caranya bersikap lembut, sopan kepada orang lain. Anak laki-laki pun boleh diajarkan memasak berdasarkan usianya. Misalnya untuk anak usia 2 tahun, bisa mulai diajarkan hal-hal mendasar sesederhana bentuk pisau dan fungsi wajan. Orang tua tidak perlu takut, anak insya Allah aman selama orang tua tetap aktif mengawasi.
Biar ingat, diulangi lagi deh. Kebiasaan anak akan sangat bergantung pada kebiasaan orang tua. Jadi, pastikan orang tua sudah menaati dan melakukan kebiasaan baik, ya!
Bagi working parents, sebagian besar waktu aktivitas anak harus dilakukan tidak dengan bersama orang tua. Menurut narasumber, orang yang paling ideal untuk dititipkan untuk menjaga anak adalah kakek/neneknya sendiri. Sebab, kita sudah paham bagaimana beliau-beliau mendidik dan membentuk kita sampai dewasa, kalaupun ada kurangnya kan masih bisa dikomunikasikan.
Namun, walaupun kita mungkin sudah cocok dengan sistem pendidikan kakek/nenek, kita tetap harus aktif memastikan dan mengecek agar anak mematuhi jadwal dan kebiasaan baik yang sudah ditetapkan. Jadwal makan, main, dan tidur anak bisa ditempel di tempat yang dilewati semua orang di rumah, agar semua orang bisa membantu mengingatkan. Lalu ibu atau bapak bisa menelepon anak dari tempat kerja (di waktu yang random), ngobrol ringan sambil mengontrol disiplin anak tanpa harus membuat orang tua merasa diawasi.
PS: jangan lupa sering-sering berterima kasih dan kasih hadiah orang tua kita
Jika anak sudah besar, bisa kita minta untuk menulis jadwalnya sendiri. Hal ini selain untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak (karena merasa diberi wewenang), juga untuk menanamkan self-commitment pada diri mereka. Tentu orang tua juga tidak boleh kalah galak dengan anak, jika mereka melanggar jadwal dan kebiasaan yang ia buat sendiri, tentu orang tua harus mengingatkan. Menanamkan disiplin dan kebiasaan anak memang harus dilakukan sejak dini sekali, agar orang tua tidak kesulitan ketika anak mulai besar dan 'bisa membangkang' (more on it di postingan berikutnya ya).
Yup, meminta tolong pembantu untuk mendisiplinkan anak definitely won't work.
Penanaman kebiasaan baik dan disiplin sejak dini ini juga bermanfaat agar kelak ketika anak lepas dari orang tua, anak tidak lepas kontrol.
5. Bangun kedekatan penuh dengan anak. Membangun kedekatan dan komunikasi harus dimulai dari sedini mungkin, bahkan dari kandungan. Walaupun masih jabang bayi, tapi si adek bisa denger omongan orang tuanya loh. Jadi, sering-seringlah ajak anak bicara, terutama kalau ibu hendak melakukan perbuatan baik, misalnya hendak solat atau ke pengajian. Bisa juga didengarkan hal-hal baik lainnya, misalnya dibacakan buku, didengarkan ibunya tadarus, atau sekedar mendengarkan murattal juga boleh. Jika anak sering diajak berkomunikasi, insya Allah nanti kalau besar anak bisa terbuka untuk curhat, cerita sama orang tuanya. Tentu saja, tuntutan komunikasi ini terus berlangsung sampai anak besar.
Cara agar anak bisa dekat dengan orang tua sebenarnya gampang-gampang susah. Kuncinya sebenarnya adalah konsistensi. Anak harus terbiasa berkomunikasi dengan orang tua sejak kecil dan merasa didengarkan.
Meskipun Ibunya sedang masak, kalau batita tahu-tahu mengajak bicara, idealnya ya Ibu matikan kompor, tatap mata anak dan dengarkan ocehannya. Jika anak sudah besar juga sama, ketika anak ngajak ngobrol, orang tua harus fokus dan jangan ditinggal nonton TV atau main hape. Bahkan ketika nanti anak sudah cukup besar untuk dilepas pun, orang tua tetap harus rajin menjaga komunikasi dengan anak. Kalau anak tidak menghubungi, besarkanlah hati orang tua untuk menghubungi lebih dulu. Yang paling penting, do not judge their concern, never dismiss their question, setabu apapun itu.
6. Aktivitas refreshing juga perlu dipikirkan oleh orang tua. Selingan ini diperlukan untuk mencegah anak jenuh dan merasa tanggung jawab harian sebagai beban. Orang tua seharusnya menanamkan bahwa rutinitas bukan sekedar kewajiban, tetapi menumbuhkan kebiasaan baik untuk diri sendiri, sehingga anak bisa menjalankan tanggung jawabnya tanpa merasa tertekan dan penuh kesadaran. Liburan tidak perlu mahal, cukup ajak anak makan di luar sesekali juga bisa.
7. SABAR.
:)
:")))
Orang tua (dan calon orang tua) harus sering-sering minta disabarkan pada yang Maha membolak-balikkan hati. Anak ini titipan, amanah, sudah kodratnya untuk dijaga dengan penuh ketelatenan.
Special topic: Mengenalkan agama kepada anak dengan kritis
(tidak dogmatis, tidak kaku, tidak 'pokoknya', namun tetap strict)
Semakin saya dewasa, semakin banyak saya melihat perilaku orang yang sama sekali tidak mencerminkan attittude umat beragama dan ber-Illah. Uniknya, tidak sedikit dari mereka yang ternyata solat dan mengajinya sangat tekun, bahkan penampilan pun sangat islami. Dari sini, saya sadar betapa pentingnya memahami agama tidak hanya perkara simbolis dan ritual seperti solat dan berpuasa, tetapi juga bagaimana agama kita dapat membentuk kita menjadi pribadi yang menyenangkan dan terhormat.
Masalahnya, bagaimana mengajarkannya ke anak?
Sebelum memulai, orang tua sebaiknya sepakat dulu bagaimana mengajarkan agama kepada anak. Jika kedua orang tua beda madzhab, sebaiknya fix-kan dulu anak akan diajarkan agama mengikuti madzhab siapa. Kalaupun ada yang terlewat belum dibicarakan, sebaiknya orang tua yang 'telat' bicara menahan dulu sanggahannya, agar jangan sampai anak bingung karena orang tuanya berbeda pendapat.
Cara menyampaikan konsep agama kepada anak harus dibuat seringan dan semembahagiakan mungkin. Sebisa mungkin jangan gunakan ancaman dan rasa takut untuk membuat anak patuh mengikuti agama. Bagi teman-teman yang bisa bahasa Jawa dan mahzab mengikuti NU, bisa mendengarkan ceramah-ceramah Gus Baha (yang full ya mendengarkannya, jangan dipotong-potong hehe)
Surga dan Neraka?
Penjelasan awal mengenai surga dan neraka juga bisa menggunakan sebab akibat. Anak bisa dijelaskan bahwa pada dasarnya, tujuan manusia hidup di dunia adalah untuk melakukan dan menyebarkan kebaikan, dimana yang mendapatkan manfaat dari perbuatan itu ya sebenarnya adalah kita sendiri. Adapun untuk kebaikan yang sifatnya amalan, sebenarnya lebih mudah lagi, jelaskan saja secara logis.
- Makan sehat adalah anjuran Rasulullah SAW. Dampak ke diri kita? Tentu tubuh kita akan sehat, bisa melakukan a, b, c, d,...
- Zakat/berbagi dengan sesama adalah anjuran Rasulullah. Memberi kepada orang lain bisa memberikan good feeling bagi diri kita sendiri
- Menjaga kebersihan juga anjuran Rasulullah, dan dampaknya juga baik untuk diri kita sendiri
Mengajarkan tauhid
Namun, bagian ter-abstrak dari pendidikan agama di rumah mungkin adalah masalah tauhid.
Sebelum menjelaskan tentang tauhid dan perbedaan Islam dengan agama lain, sebaiknya orang tua mempelajari dulu konsep tauhid dengan penjelasan yang berbasis kasih dan tidak menghakimi. Jika orang tua mempelajari tauhid yang berbasis ancaman, lalu mengajarkannya lagi kepada anak, bukan tidak mungkin anak ketika besar dan dilepas justru ia akan berontak dan malah takut beribadah.
- Umur 3: ketika menyuapi anak, Ibu bisa mendongeng mengenai makanan yang dimakan anak, kemudian disambungkan kepada betapa baiknya Allah telah menciptakan nasi yang begitu nikmat
- Umur 6: karena orang tua mulai harus melatih logika anak, orang tua bisa mulai menjelaskan sesuatu yang sifatnya spiritual/religius dengan diimbangi penjelasan rasional. Jangan lupa tanamkan pada anak bahwa agama adalah pedoman untuk mengatur hidup kita menjadi lebih baik, bukan untuk menyulitkan.
Terkait pertanyaan tentang tauhid yang terkadang 'ajaib', orang tua bisa memberikan penjelasan dengan dua jenis jawaban. Misalnya jika anak bertanya apakah orang non muslim yang berkelakuan baik akan masuk surga?
Jawaban pertama: jawaban pasti berdasarkan agama, bahwa orang-orang yang akan masuk surga adalah orang beragama Islam.
Namun jawaban tersebut harus segera diimbangi dengan jawaban dari sudut pandang sosial muamalah sbb:
Jawaban kedua: kita harus tetap bersikap baik kepada orang yang berbeda keyakinan, sebab selama mereka belum mati, mereka selalu punya kesempatan untuk bertaubat dan menjadi lebih baik, dan mungkin masuk Islam.
Intinya, orang tua perlu menekankan bagaimana kita menyikapi segala sesuatu dengan penuh cinta kasih, sehingga anak tidak tumbuh menjadi anak yang kaku dan merasa benar dalam menghadapi orang lain yang berbeda agama.
Jika logika anak sudah mulai terbentuk, orang tua bisa mulai diperkenalkan grey area (area dimana kita ga bisa menilai dengan pasti baik buruknya suatu perbuatan). Bisa jadi suatu hal terlihat hitam di mata manusia, tapi putih di mata Allah. Kita ga boleh menilai diri kita lebih beriman dari orang yang melakukan misalnya lepas jilbab, karena bisa jadi langkah mundur dia adalah merupakan proses mendekatkan diri di mata Allah. Ini harus sering-sering dilakukan agar anak tidak tumbuh menjadi judgmental.
No comments:
Post a Comment