Jul 3, 2020

Pulang: Tentang Sebuah Hasrat Sederhana

Kata "Pulang" bagi sebagian besar orang adalah sesederhana "berangkat", "mandi", "tidur". Sebuah istilah yang sangat biasa, dijalani sehari-hari secara otomatis, sampai ga kepikiran bahwa kesempatan tersebut akan menjadi ganjaran setara surga bagi sebagian orang, yang bukan "orang biasa". Salah satunya, para eksil politik, eks tapol, orang-orang yang berhubungan dengan - atau diduga berhubungan - atau sekedar simpatisan - PKI, partai politik yang sebenernya udah mati tapi somehow horornya masih ada sampai sekarang, di tahun 2020.



Berkisah tentang Dimas Suryo, wartawan surat kabar yang menyetujui untuk ditugaskan di tempat dan waktu yang salah, yang akhirnya membuatnya terjebak sebagai eksil politik di luar negeri selama puluhan tahun. Bacaan setebal 461 halaman ini menceritakan bagaimana orang-orang yang dituduh "kiri" ini harus mengalami berbagai macam keribetan untuk hal-hal yang mereka sama sekali ga ada sangkut pautnya. Yang paling sederhana adalah harus berada dalam pelarian terus-menerus dan menunggu untuk akhirnya ditangkap dan dieksekusi. Beberapa orang terjaring hanya karena mereka sering terlihat mengobrol dengan orang-orang yang dituduh "kiri". Interogasi kasar sampai kekerasan seksual jadi hal biasa bagi mereka. Mati terbunuh dan dibuang ke Bengawan Solo mungkin jadi opsi paling enak bagi mereka. Beberapa lainnya berakhir seperti Dimas, nyangkut di luar negeri tanpa kejelasan, tanpa bisa merasakan hal sesederhana "pulang".

Juga berkisah tentang Lintang Utara, putri eksil politik '65 dan perempuan Prancis yang sedang dikejar deadline tugas akhir kuliahnya. Topik film dokumenternya memaksanya untuk mengunjungi Jakarta pada hari-hari terakhir masa kekuasaan Soeharto, sekaligus membuka kesintingan apa yang orang-orang ini harus alami selama rezim Orde Baru. Bukan hanya menyadari bagaimana "akar"nya yang lain dari sisi Ayah-nya, ia juga mendapatkan, ehem, crush. Lagi rusuh, sempat-sempatnya ya manusia ini.

Potongan-potongan kisah manusia akan membosankan kalau tidak diselipkan bumbu romansa. Kisah cinta antar tokoh ini lah yang membuat puzzle-puzzle sejarah yang ditulis Leila S. Chudori mengalir natural. Banyak kisah cinta segitiga di novel ini, yang membuat saya agak memutar bola mata (come on, she's just a girl!) tapi juga sekaligus belajar (you are the damn outlier maam, most people do not live in celibacies like you).

Bukan tentang cinta, tapi tentang keberanian memilih dan memihak. Nasib yang harus dialami Dimas Suryo, diceritakan, sedikit banyak berhulu dari keengganannya untuk memilih. Both love and ideology. Diceritakan sih, bagian love-nya ini yang dampaknya lebih parah. Understandable sih, I personally do not believe ideologi negara punya dampak sebesar itu untuk mengendalikan orang. Untuk ukuran orang Indonesia, kesadaran untuk mengikuti agama jauh lebih manjur mengatur manner masyarakat daripada semangat mengikuti falsafah negara (to some extent aja sih, buktinya, rakyat Indonesia masih cinta dunia dan takut mati tuh, berarti mereka ga menjalankan syariat Rasul kan? :D). Tapi cinta? Orang kiri maupun orang kanan, orang iri maupun orang yang aman, semua (normalnya) jatuh cinta. Dan patah hati itu efeknya dimana-mana sama.

Semoga ga ada fatalist Pancasila dan Islam yang melihat ini. Bisa di-nganu saya :D


Selain itu, saya juga jadi tahu betapa diskriminatifnya Pemerintah Indonesia ke masyarakatnya selama Orde Baru. Dengan adanya program "Bersih Diri Bersih Lingkungan", semua orang yang dituduh (please focus at this word bcs it's the damn point of the madness) PKI akan dapat tanda "ET" di KTP mereka, yang dampaknya kurang lebih sama seperti orang-orang malang yang kebetulan terlahir dari orangtua yang berkulit hitam di Amerika sana. Ga dapat pekerjaan layak, ga boleh berhubungan dengan orang-orang yang dianggap "bersih", harus terus-terusan bersembunyi dari teror dan ketakutan. Cuma karena mereka DITUDUH mendukung PKI. Gila.

Saya juga belajar, betapa masyarakat Indonesia saat ini masih jauh lebih baik, dalam konteks lebih dibebaskan untuk berpendapat, dibandingkan dengan masa kejayaan Orde Baru dulu. Despite of UU ITE yang implementasinya lebih banyak represif-nya daripada mengayomi-nya, tapi setidaknya sekarang orang lebih bebas untuk diskusi.

Masih, I mean. 

Walaupun mulai banyak diskusi mahasiswa yang diberedel dan ditongkrongin "intel". Oops.

Walaupun mulai banyak orang-orang yang dibawa ke kantor polisi cuma karena mengkritisi "ideologi dan simbol negara".

Oke, so far masih aman. Belum ada tukang bakso yang pakai walkie talkie Kijang satu ganti.
 
Mengenai bukunya sendiri. Saya udah baca karya besar Leila yg lain, "Laut Bercerita" (bacotan saya tentang novel itu di sini). So far, saya lebih excited membaca Laut Bercerita daripada Pulang. Mungkin karena saya ga terlalu banyak terekspos sama sejarah awal-awal Orde Baru (saat sekolah saya lebih suka sejarah manusia gua dan perfosilan daripada sejarah negara, oops), jadi sejarah yang disajikan di buku ini ga terlalu relate sama hal-hal yang saya pengen ketahui. Sama-sama memiliki alur yang lompat-lompat seperti Laut Bercerita, tetapi buku ini agak sedikit butuh mikir karena selain plot yang maju mundur, fokus yang digunakan pun ganti-ganti. Jadinya aspek enjoyable-nya agak berkurang sedikit dibandingkan dengan Laut Bercerita karena harus konsentrasi agak tinggi (EMANG DASAR SAYANYA AJA YANG OTAKNYA UDAH MALAS MIKIR). Tapi masih asik banget, saya baca buku ini dalam satu hari wkwk. Dan, bukunya dalam Bahasa Indonesia.

Keterlaluan kan kalau saya sampai ga bisa paham ceritanya, haha.

Oiya, 'horor' novel ini juga dipertajam dengan ilustrasi hitam putih oleh Daniel "Timbul" Cahaya Krisna. Not really my kind of taste (agak bikin mak dheg ketika membalik halaman novelnya), tapi mungkin memang efek itu yang diinginkan oleh authornya? Dapet banget emang horor dan gilanya, haha.

get your ebook here:

No comments:

Post a Comment