Aug 14, 2020

Di Tanah Lada: A Pungent and Sharp Flavor of Children World

Sebelum ada lagi pembaca yang terjebak judul seperti saya, mau ngingetin aja, novel ini bukan bercerita tentang kepulauan Maluku, tapi Lampung. Entah kenapa ketika saya membuka buku ini, otak saya mengira penghasil lada nasional adalah Maluku, padahal googling saja belum.

Walaupun kisah mengenai pedas dan 'nyegrak'nya hidup tetep disampaikan penulis dengan menyakitkan. Bisa banget gitu, ending cerita dibuat se'nganu' itu.  

 

Sebelum mulai, mau trigger warning dulu nih. Di buku ini terdapat KDRT, abuse, child negligence, dan --huge spoiler-- suicide attempt. If you are sensitive to those, you might want to wait reading this book until you are stable enough. 

Jujur, bagi saya novel ini dimulai dengan agak...uncommon. Belum habis halaman pertama, saya sudah disuguhkan oleh babble bocah umur 6 tahun yang tidak seperti anak kelas 1 SD (TK B?) yang biasa saya temui. Tokoh utama, Ava, adalah anak umur 6 tahun yang dilatih oleh kakeknya untuk berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ia tidak pernah berkata "nggak", dan selalu membawa kamus kemana-mana untuk mencari tahu maksud dari kata-kata yang ia dengar/baca. Seumur itu ia sudah membaca novel misteri karya Agatha Christie yang dibintangi oleh 'Mohammad Poirot'. 

Anyway, cara bercerita main character di dua paragraf pertama buku ini sebenarnya sudah cukup untuk ngasih kode bahwa perkembangan cerita, alur berpikir yang digunakan di buku ini, bakalan tidak biasa juga. Yup, story telling seperti ini dipakai dari awal sampai akhir cerita.

In case you can't stand how Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (I'm copas-ing those name ofc) wrote the story in the beginning, you might want to drop the book early. Ga ada perubahan story telling atau point of view kok, di buku ini. 

Tapi bukan Dee namanya kalau ngedrop buku fiksi cuma karena ga suka. Her stingy ass would not tolerate any of her resources going fruitless.

Ava dibesarkan dalam keluarga abusive dan jauh dari ideal. Di umurnya, ia sudah mengkotak-kotakkan predikat "Papa" = "jahat, monster", dan "Mama =  baik". Anggapan ini semakin diperkuat ketika ia bertemu dengan P yang juga memiliki Ayah yang abusive. Di buku ini diceritakan bagaimana Ava dihadapkan pada kekerasan fisik dari dua orang figur ayah, serta sosok Mama yang terlalu tidak berdaya untuk melawan atau kabur. Pertemuannya dengan P mengubah situasi menjadi semakin kacau, dimana Ava mulai memiliki attachment dan rasa ingin melindungi satu-satunya orang yang ia bisa bahagiakan. 

Spoiler, of course. You might want to skip this whole paragraph. Saya ga ngerti alur pikir manusia sama sekali, tapi saya bisa membaca why, tokoh dalam buku beberapa kali mengambil jalan yang sama sekali illogical. Misalnya ketika Ava memutuskan untuk menemani P kabur ke rumah Nenek Irma sampai menukar-kurang handphone yang dibelikan Mamanya yang nota bene adalah satu dari sedikit orang yang ia sayangi dan percayai. Atau bagaimana P justru memutuskan untuk terjun ke laut, tepat setelah Ava memberinya satu hal yang sangat bermakna: nama baru. Setelah menghadapi rasa takut dan bingung yang bertubi-tubi, jika ada satu saja trigger yang menjanjikan seseorang untuk lepas dari penderitaan, bisa jadi mereka akan ambil jalan itu. Instead of choosing other more sensible option yang bisa orang normal ambil. Ga orang dewasa, ga anak kecil, siapa saja mungkin.

Saya belajar, orang-orang dengan latar belakang constant abuse bisa menumbuhkan cara berpikir dan coping mechanism yang tidak normal juga. Mereka bisa mengira-ngira, orang-orang yang terlibat dalam abuse mungkin sayang mereka. Tetapi, ketika dihadapkan dengan jalan pintas untuk lari dari semuanya ketidaknyamanan dan rasa sakit, bagi mereka, itu adalah pilihan yang sangat masuk akal. Pas aja, gitu.

Saya juga belajar, dalam menghadapi seseorang korban kekerasan, jalan keluar/solusi yang kita kira baik, belum tentu dipersepsikan mulia juga bagi mereka. Di buku ini, korban sudah terlanjur antipati sehingga jika sudah terlambat, ya sudah bye. Apalagi kalau korban sudah menerima perlakuan jahat sejak kecil, dampaknya malah tertanam makin dalam, kan.

Tricky juga nih kan, untuk menghadapi anak korban kekerasan. Psikologi manusia memang rumit. Untung saya ga ambil jurusan itu pas kuliah dulu, hehe.

--
Get your own ebook here:
Google playbook

No comments:

Post a Comment