Aug 11, 2020

Perempuan Bersampur Merah: Perempuan di Tengah Tragedi

Hal yang saya pelajari dari mengacu ke review orang tentang sebuah buku adalah: do not expect much. Teorinya sih ngerti, cuma prakteknya masih suka kepeleset. Untuk memulai buku baru (judul benar-benar baru dan bukan buku ke sekian dari series) literally kita butuh mindset kertas putih, like, expect nothing dan nikmati aja apa yang penulis kasih ke kita.

Ngaku. Jujur ketika membaca Perempuan Bersampur Merah ini, saya udah expect konflik macem-macem kindof kejadian detail, konspirasi antara kubu "dukun santet" dan kubu lawannya. Kayak yang, bagaimana kok bisa mereka dari tadinya mungkin bertetangga baik-baik aja, sampe jadi saling bunuh. Serta bagaimana peran si penari gandrung (yang bersampur merah - hence the title) di tengah-tengah konflik tersebut. Tapi ternyata ini novel mengambil sudut pandang dari satu sisi, anak dukun santet, yang ga tahu apa-apa. Murni korban.

Dan saya akhirnya...well, baiklah. Let's try finishing this damn book and enjoy how the victim and families live her life before, during, and after the massacre.



Okay, terlepas dari sisi historical-conflict geek saya yang tidak terpuaskan, sebenarnya buku ini sangat bisa dinikmati. Walaupun penyampaiannya maju mundur dan banyak flashback, tapi inti cerita sendiri sebenarnya sangat simpel sehingga gampang banget diikuti. Soalnya selain memang ceritanya cuma berfokus pada satu tokoh utama aja, juga ga banyak komponen-komponen sejarah yang muncul dan hyperventilating. Fakta sejarah yang muncul (pembantaian dukun santet Banyuwangi 1998) diceritakan hanya sekilas, sebagai bagian dari latar belakang dan setting cerita. Kalau dibandingkan dengan novel sejarah yang saya suka seperti Laut Bercerita atau Rahasia Meede misalnya, kan fakta-fakta sejarah benar-benar dijadikan cerita, dan benar-benar memberi nyawa ke keseluruhan cerita.

Perempuan Bersampur Merah bercerita tentang seorang anak perempuan yang Bapaknya menjadi korban penganiayaan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet di Banyuwangi. Novel ini bercerita tentang bagaimana tokoh utama, Sari, menelusuri kebenaran mengenai orang-orang yang pada hari naas tersebut, ikut menyeret Bapaknya menuju maut. Dalam pencarian, Sari ended up bergabung dalam grup tari gandrung, serta menjalin kasih dengan salah satu teman laki-lakinya sejak kecil, Rama. Namun, Rama ternyata harus kuliah ke ibukota, meninggalkan Sari tanpa kepastian di ujung timur Pulau Jawa.

Sebenarnya konflik di buku ini ditulis cukup kompleks. Tidak hanya antara Sari dan 'pelaku', ada juga cinta segitiga Sari-Rama-Ahmad dan permasalahan di sanggar gandrung yang Sari ikuti. Cuma, banyak sekali penokohan-penokohan yang sebenarnya peranannya terhadap keseluruhan plot tuh kecil banget, sehingga kayanya bakalan lebih bagus kalo disatukan dengan karakter lain. Karakter Mbak Nena misalnya, sebenarnya memberi "bumbu" di kehidupan per-sanggar-an (sampur dan pacaran) dan menunjukkan bagaimana kuatnya karakter keluarga Sari untuk menerima perempuan yang berbuat salah. Tapi, kayaknya tokoh Mbak Nena ini bisa disatukan saja dengan tokoh Mak Rebyak si pemilik sanggar. Soalnya, dua tokoh ini unsur-unsurnya banyak yang mirip. Dan dengan pembobotan purpose terhadap plot yang sudah sedikit, masih dibagi dua lagi, jadinya saya hampir lupa kalau dua tokoh ini sebenarnya penting dalam plot.

Lalu mengenai revealing kasus pembantaian Bapaknya Sari. Kalo lihat dari novel misteri dan detektif, atau bahkan novel romance biasa yang saya baca selama ini, biasanya pengungkapan final di klimaks buku akan lebih nendang lagi kalau pembaca sudah kenal dulu dengan oknum-oknum ini. Di buku ini, Intan Andaru sebenarnya sudah di arah yang benar dengan membuat orang terdekat tokoh, yaitu Bapak dari tokoh Rama, sebagai salah seorang yang mendukung pembantaian dukun santet. Tapi, kalau mau lebih nendang lagi efek "kaget dan ooh gitu"nya, harusnya Sari lebih banyak dibuat head to head dengan Bapaknya Rama ini. Jadi pembaca bisa mendalami lebih baik mengenai karakter yang antagonizing ini, sehingga bisa menyimpulkan dengan lebih baik kenapa ia dan orang-orang yang sekubu dengannya begitu menentang praktek "dukun santet". Eksekusi pengungkapan di buku ini sayangnya, dibuat sekadar lewat dan tidak klimaks sama sekali, sehingga saya sempat bingung sebenarnya fokus yang disampaikan di buku ini apa.

Tapi kalau merujuk lagi ke judul buku, "Perempuan Bersampur Merah", sepertinya sudah benar sih bahwa ini memang buku tentang Sari, bukan tentang pembantaian. Pengungkapan kebenaran kasus dibuat seadanya sehingga menyimbolkan bahwa sebagai korban, ia sudah whatever dengan kekacauan proses hukum dan HAM di negara ini. Dan sebagai perempuan, ia juga memilih move away dari Rama.

Mungkin penulis juga ingin membuat setting novel ini sedekat mungkin dengan fakta di lapangan, kali ya...

--
Get your ebook here:
- Google Playbook

No comments:

Post a Comment