Sep 7, 2020

My thought about manga

Ngaku. Progres baca buku saya mandeg dua minggu ini karena saya lagi kedistract sama comfort book saya jaman SMP/SMA dulu. Saya kebetulan memang ada beberapa task sih yang idealnya diprioritaskan tapi well, my prolonged vacuum had been destroying my professionalism so here I am...procrastinating everything.

Minggu ini saya lagi balik ke manga. Komik Jepang. Buku yang ga peduli apapun genrenya, apapun hikmahnya, pasti saya bakal disinisin sama Kanjeng Papi kalo ketauan beli buku tersebut. Untungnya jaman dulu tahun 2000an sih masih enak ya, persewaan komik menjamur dimana-mana, jadi anak-anak dengan uang jajan minim dan diharamkan beli komik kaya saya bisa lari ke tempat kaya gitu. Sewa sehari sekitar Rp500-1500 per komik dengan jaminan dari Kartu Pelajar sampai KTP. Sekarang sih bisa numpang baca di Gramed, tapi kan ga bisa dibawa pulang dibaca sambil rebahan :c

Reading manga is just...refreshing. Visualisasi adegan yang disajikan komik itu sangat memudahkan saya untuk menyelami keseruan plot, perjuangan karakter, dan bagaimana mereka struggle. Jujur, sebagai orang yang suka baca dari kecil, saya ini sebenarnya lemah dalam memvisualisasikan adegan. Saya suka adegan berantem di novel, saya ngantuk kalo novel ga ada adegan berantemnya, tapi ironisnya saya malah sering nge-skip detail adegan tersebut. Too much detail in words, jadi saya lebih suka sekedar quick skim that very part (just enough to understand how intense the action is) then jump to the ending of that particular fight. Kalo bingung, baru baca ulang lagi. Dengan manga, obviously, adegan berantemnya bisa dengan gampang saya pahami.

Saya aware, penikmat buku masih banyak yang menganggap pembaca komik adalah kaum cupu yang intelektualitasnya kurang. Untuk case saya, ini kebetulan benar sih, baru aja kan saya ketik panjang lebar bagaimana kemampuan visualisasi saya memang kurang (I'm shit at details, I can't believe I survived as a data officer and legal assistant with my goldfish memory), which means I do have some points missing from my IQ department. Jadi I take no offense whatsoever from that statement. Tapi baca manga memang menyenangkan, gimana dong? Saya suka baca manga kan ga menegasikan serunya baca /real book/  anyway, kan?

By the way, terkait manga ini, banyak banget menfess insecure yang dipost ke twitter literarybase. 

 

Menurut kalian, manga/komik itu sastra gak? Wdyt about orang yang suka baca komik?


First question: I don't know, and I don't care. I have zero business whether I'm reading real literary or not. Maybe you should ask Madam Quora instead?

Second question: Menurut gua, mereka uangnya banyak. Manga is freaking expensive, my love. Dan manga tuh ga yang selesai 2-3 buku. It's such a huge investment to follow even one medium-length manga. Untuk manga seperti Detective School Q aja misalnya, yg cuma 22 volume, itu membutuhkan uang sebanyak 22 x 17.500 (rharga komik di rata-data dari jaman 7.500 dulu sampe sekarang) = 385.000. Itu udah hampir setara satu set novel series sekaliber Percy Jackson.

Still second question: And yes, they are reader too. Manga itu kan dibaca ya bukan dimakan. Dan kenyataannya manga itu dimuat dalam sebuah buku (baik majalah mingguan ataupun tankoubon). Secara teknis, ya orang yang cuma baca komik itu ya termasuk bookish juga.


Cuma karena pembaca komik banyak dapet bantuan visualisasi berupa gambar, bukan berarti mereka semua lebih bodoh dari penggemar buku yang isinya tulisan semua. Let's say saya bodoh, tapi bukan berarti penggemar manga yang lain sebodoh saya, kan?

Selain itu, nyadar ga sih angka literasi kita rendah banget? Reading index kita per 2012 itu di angka 0.001, like among 1000 Indonesian citizens, cuma satu orang yang bener-bener membaca. Mungkin karena memang orang Indonesia kebanyakan nonton tv kali ya. Anyway, yakin nih, kita mau mendiskriminasi pembaca manga, ketika manga itu sendiri sebenarnya punya potensi besar buat meng-convert orang-orang yang menghabiskan hidupnya nonton TV untuk beralih baca buku? Hijrah sedikit-sedikit lumayan lah.

Lagian membaca itu kan hobi ya. Tujuannya buat senang-senang, mengatasi rasa jenuh, syukur-syukur dapet ilmu. Ga ada kewajiban seseorang baca suatu buku, kecuali buku SOP yang memang berhubungan dengan keamanan, nyawa orang, ataupun uang milyaran. Atau textbook yang memang harus dibaca dan ditelaah bener-bener kalau mau lulus kuliah. Apalagi harus baca buku tertentu. Like, kalo ga pengen, kalo ga tertarik, apa iya harus dipaksa, padahal ga baca juga orang ga mati, gitu kan?

Manga juga sebenarnya pelajarannya banyak kan. Detective Conan ngajarin strategi, fisika dan teknik sulap (yang disalahgunakan buat ngambil nyawa orang, lol). Haikyuu, Prince of Tennis, Slam Dunk, Hikaru no Go ngajarin teknik dan analisa pertandingan. Full Metal Alchemist lebih mantep lagi, bikin kita mikir tentang moral dengan cara yang bikin deg-degan. Manga cewek2an, walaupun kadang isinya menye dan cinta-cintaan doang, seringkali justru mengajarkan bahwa hidup harus kuat, tegar, dan punya prinsip. Kan kita sebaiknya jangan sampai merendahkan informasi dan pelajaran yang kita dapat dari seseorang, meskipun bentuknya kekanak-kanakan, bukan?

Oh, in case anyone wondering, saya lagi marathon baca Haikyuu, manga tentang olahraga bola voli yang ternyata hypenya gede banget di twitter. Anyone else simping over the Grand King Tooru Oikawa here?  

PS: Kenapa semua orang harus ngasih tokoh ganteng ke nama Tooru? First I know Amuro Tooru, lalu ini ada Tooru ganteng lagi.

Unimportant trivia:

Dee's Top 3 manga all time (a.k.a the only manga series I actually follow religiously):




1. Detective Conan
My king, my first love Shinichi Kudou, and loads of other hot boys. I'm proud of the fact that I'm still surviving this long-dragged series even after 20 years. Not even any of my Kpop loves can beat my dedication on him. Where's my veteran card, Gosho-sensei?

2. Haikyuu
Newcomer that tresspassing the order and defeating my older favourites. Apalagi kebetulan dulu saya main voli juga pas SMA (angkatan saya tim cupu, nothing to be proud of), jadi saya baca ini ya sambil mengenang masa-masa dulu diijinin sarapan dan apel telat karena harus latihan voli tiap pagi. Hell, I just found out that a volleyball match could be that intriguing, ga sekedar passing-spike-block aja.

3. Vampire Knight
The only shoujo manga I actually like and follow, bercerita tentang sekolah berasrama yang co-existing dengan vampir. Manga ini plot development dan endingnya agak-agak bangsat, jujur aja. Like I was Team Zero tapi saya nangis pas tahu Kaname -----piiiip-----

No comments:

Post a Comment