Saya memilih baca buku tulisan Mark Manson ini karena dua hal: karena saya cocok sama ide-ide dari buku pertama, dan karena saya kejebak judul.
Everything is F*cked - A Book About Hope.
Dengan kondisi hidup saya yang lagi ga jelas arahnya begini, segala situasi memang terasa fucked. Like, you don't have energy to even hope, because you know you will just fucked up, no matter what effort you are putting in. Sebuah buku tentang pengharapan mungkin aja jadi jawaban buat meringankan masalah hidup saya.
Kinda spoiler: I was wrong.
Sembilan puluh sekian halaman buku ini berisikan tentang betapa fucked up nya manusia by nature, serta bagaimana "hope", "pengharapan", justru telah terbukti berkali-kali menjadi sumber kacaunya manusia. Tindakan manusia, menurut buku ini, lebih banyak didorong oleh the irrational part of "Feeling Brain", sehingga manusia lebih sering mengabaikan hal-hal yang mereka tahu. Kita tuh tahu apa yang benar, dan apa yang salah, dan mana yang baik dan mana yang jelek. The problem is we just don't feel like doing those. Soalnya: those things most probably painful and create discomfort.
Kita tahu bahwa menurut teori relativitas, segala hal di alam semesta ini relatif, tergantung dari mana kita memandangnya. Dari sudut pandang psikologi, hal ini hampir benar...karena ada satu hal yang konstan. That is pain. Rasa sakit. Ketidaknyamanan.
Rasa sakit itu ada mutlak, konstan, ada dimana-mana. Ga peduli seberapa keras kita berusaha untuk menghindar ataupun mengalihkan perhatian dari rasa sakit, dia akan tetap muncul kaya kecoa di sela-sela sofa. You might think you're persistent, but you definitely can't beat The Pain.
Yang berarti, kita ga punya pilihan lain selain well, terima aja itu rasa sakit. Embrace them, biarkan tubuh dan pikiran kalian kena hantam berkali-kali. No point avoiding them, no point trying to shrunken our life according to what we can handle at one time. Kita ga akan lebih bahagia dengan menghindari rasa sakit, jadi kenapa ga hadapi aja?
~*dramatic background music*~
Saya orang yang punya love hate relationship dengan detail. Saya bosan kalau buku ga ada detail yang menarik, tetapi juga ga tahan sama detail yang bertubi-tubi. Buku ini termasuk kategori yang kedua, dimana trivia nya banyak banget. Information overload yang saya alami selama membolak-balik halaman buku mirip dengan yang saya alami ketika baca Sapiens karya Yuval Noah Harari. Setiap kalimat berisi hal (enlightenment) baru, sehingga saya ga bisa berhenti nambahin bookmark di setiap halamannya. Seru! Ilmu semua ini!
Walaupun paragraf-paragrafnya overwhelming "ilmu semua", insight dari buku ini sebenernya simpel:
Dunia memang gila, dan akan semakin gila, jadi gausah repot-repot berharap keadaan akan berubah menjadi lebih baik (baik versi kita). Akan lebih mudah bagi semua orang kalau kita just do what is good. Lalu do what is better, dan seterusnya.
Buku ini mengingatkan saya pada insight di buku pertama beliau (The Subtle Art of Not Giving a F*ck). Kalau fokus di buku pertama adalah bagaimana kita sebaiknya fokus (give the f**k) pada hal yang bisa kita kontrol, fokus di buku ini adalah bahwa kita sebaiknya fokus pada melakukan hal-hal yang bener aja. Tanpa ekspektasi, tanpa berharap apa-apa. Soalnya ekspektasi ini bikin hidup kita makin miserable anyway.
Buku ini sangat saya rekomendasikan untuk kalian yang punya banyak waktu untuk meresapi dan memfilter sedikit demi sedikit insight di dalamnya. Gausah buru-buru pengen selesai, karena beberapa insight lumayan sensitif dan rawan memancing emosi. Terutama ketika author membahas mengenai 'religion'. Kalau kalian merasa tersindir, a gentle reminder here: author stated clearly kalau dia memang skeptis pada agama.
Anyway, if you want a quick read on this book (ceritanya ga sabar pengen ambil intinya aja), saya sarankan kalian langsung lompat ke Bagian 2 nya aja. Bagian 1 memang seru untuk dibaca, tetapi jujur ga banyak yang saya ambil dari bagian itu, selain here and there nice-to-know trivias.
Quick review:
----
Get your ebook here:
No comments:
Post a Comment