Some random people on booktwt referred me this book, highlighting about South East Asian and Chinese-Indonesian representation.
Iseng cek goodreads, it got a bad rating. 3.33 out of 5.
Di awal-awal saya masih berprasangka baik dan tetep cari bukunya. Saya pikir, mungkin mereka ga dapet konteks budayanya. Kalau bicara Chinese-Indonesian past, pasti otak saya nangkepnya ke tragedi 1997-an, sehingga orang-orang bule mungkin ga dapet betapa mengerikannya kondisi saat itu. Bagi orang keturunan Tionghoa di Indonesia, khususnya.
I read my first page and I kinda understand why people rate it low.
Dua paragraf pertama sebenarnya menarik. Narrator sekaligus tokoh utama, Gwendolyn, menceritakan bahwa saudara perempuan (kembar?)nya, Estella baru saja membunuh 300 orang sekaligus, termasuk dirinya sebagai satu-satunya korban selamat. Dengan starting point seperti ini, saya langsung asumsikan bahwa buku ini adalah buku crime, thriller, atau setidaknya ada bagian serunya lah. Membunuh 300 orang sekaligus bukan perkara sepele, bukan? Bahkan William James Moriarty aja akhirnya suicidal sendiri. (This Moriarty, not this Moriarty)
Tapi ternyata memang butuh ketangguhan hati dan kesabaran ekstra untuk membaca lembar demi lembar buku ini. Apalagi untuk orang yang biasa dengan plot yang tek-tek-tek dan jelas arahnya. Kisah kehidupan Gwendolyn dan Estella sebagai salah satu keturunan klan taipan Indonesia keturunan Chinese, Sulinado, ternyata dituliskan secara detail. Agak terlalu detail, sehingga saya lumayan bingung apa hubungannya penjabaran Opa mereka yang menikah lagi, lalu pernikahan Estella dengan pewaris klan taipan Angsono yang kurang harmonis, dengan alasan kenapa Estella membantai seluruh orang-orang yang hadir di pesta. Lalu, kenapa Tante Sandra terus-terusan disebut dan dicari-cari sampai ke Amerika? Serta yang paling mendasar: apa hubungan semua penjabaran tersebut dan ilustrasi kupu-kupu yang sering muncul, dengan judul novel ini sendiri, The Majesties?
Latar dan detail cerita sebenarnya cukup akurat, sehingga menunjukkan bahwa penulis, Tiffany Tsao benar-benar memahami kehidupan konglomerat Chinese-Indonesian. Cara tokoh cerita memanggil keluarga -- "Om, Tante, Oma, Opa" membuat cerita sangat terasa lokal, bagi saya yang memang seumur hidup cuma mentok di Indonesia (not sure apakah detail ini matters buat pembaca internasional -- mengingat buku ini dipasarkan untuk mereka).
Plot-plot kecil yang muncul sebenarnya cukup dramatis, apalagi jika pembaca memang pernah mengalami hal-hal tersebut sendiri (berumah tangga dengan keluarga patriarkis toxic, sementara keluarga sendiri malah tutup mata). Bahkan, secara keseluruhan pun sebenarnya ceritanya menarik kok. Kesimpulan akhir yang dituliskan oleh Tiffany Tsao cukup mengejutkan, apalagi ketika sampai di bab dimana Tante Sandra membuka rahasianya.
Namun, permasalahan mendasar yang membuat saya harus setengah mati menyelesaikan buku ini adalah karena storytelling-nya sangat lemah. Pembaca benar-benar harus "disuapin" untuk bisa mencerna implikasi plot-plot yang terjadi terhadap para tokohnya -- "Oh, jadi Estella merasa begitu. Oh, jadi dampak kejadian ini ke Gwendolyn tuh kaya gitu". Padahal, bukankah story telling yang bagus adalah yang membuat pembaca bisa menyimpulkan, bahkan berempati sendiri terhadap tokoh-tokoh di buku yang mereka baca? Readers are best motivated when they come to the decision or realization themselves, afterall.
Refer to this: 7 Essential Tips For Writers Who Hope To Engage Millions Of Readers
Setelah saya baca ulang lagi paragraf pertama buku ini, sebenarnya memang buku ini cuma berkisah tentang bagaimana Gwendolyn mencoba memahami tindakan saudarinya, sih. Jadi, ga bisa disalahkan juga kalau plot yang muncul bakalan terasa seperti the whole clusterfuck of random dramas. Cuma kalau format ceritanya agak dipercantik lagi, pasti pengalaman membacanya akan berbeda.
Kalaupun mengubah story telling ga memungkinkan, sedikit tweak di bagian editing seperti pemberian diberi time stamp di awal bab, atau setidaknya judul bab yang menghighlight poin yang diceritakan di part tersebut, pasti akan sangat membantu.
Misalnya dibuat seperti ini, biar jelas part cerita tersebut lagi pas kapan |
Atau outright di-highlight seperti ini di judul bab, biar pembaca bisa nangkep bagian ini lagi bahas apa |
Oiya, untuk pendapat yang membandingkan buku ini dengan trilogi Crazy Rich Asians, saya bisa bilang bahwa perbandingan tersebut tidak fair -- cenderung misleading bahkan. Benang merah yang membuat kedua cerita ini mirip cuma tokoh-tokohnya yang sama-sama orang kaya keturunan China, tetapi selebihnya tidak bisa dibandingkan sama sekali. Kita ga bisa menyandingkan dan memilih mana yang terbaik antara Sherlock Holmes dengan Harry Potter, hanya karena kedua main characternya sama-sama orang London, kan?
Rating: 3.00 / 5.00
----
Get your own ebook here:
- Google Playbook
No comments:
Post a Comment