Jan 14, 2021

Absolute Justice Review: Is Absolute Justice Really What Humanity Needs?

Novel Girls in the Dark yang mindblowing (my review here) cukup menjadi pemicu saya buat baca novel Rikako-sensei yang lain. Pilihan saya jatuh ke Absolute Justice, karena somehow cover belakangnya menarik. "Seharusnya monster itu sudah mati..." mau tidak mau mengingatkan saya pada twist pertama novel Girls in the Dark (sebelum akhirnya dipatahkan lagi oleh twist kedua, tapi kita ga akan bahas itu di sini). 


Punch di awal bab pertama memang lumayan "berisi", terlepas dari detail jalan pikiran tokoh yang bagi saya penting-ga-penting. Kazuki Imamura, seorang penulis lepas suatu hari mendapatkan amplop berisi undangan pernikahan berwarna ungu. Hatinya mencelos, ketika ia menemukan bahwa undangan pernikahan tersebut ternyata berasal dari Noriko Takaki, teman SMAnya yang sudah meninggal. Ia yakin betul, karena ia sendiri lah yang membunuhnya.

Cerita kemudian berlanjut ke flashback masa SMA Kazuki, betapa Noriko adalah siswi SMA yang baik. Sangat baik, sangat jujur, dan sangat menjunjung tinggi kebenaran. Seharusnya ga ada masalah, dong? Bukannya kebenaran, hukum, memang harus ditegakkan?

Tentu saja, selama kita tidak menjadi "pelaku" yang dipermalukan. Seperti guru yang akhirnya dipecat karena membela tiga siswa yang merokok di sekolah, siswi yang surat-menyuratnya dibacakan di depan seisi kelas, atau siswi yang harus membayar ekstra 30 ribu yen karena harus mengganti seragam baru yang jadi kependekan karena perubahan bentuk tubuh yang di luar kendalinya.

Atau penulis yang kariernya sedang dipertaruhkan, karena mengumpulkan data secara "manipulatif".

Sebagian besar bab pertama sebenernya isinya cuma flashback kerese-an Noriko selama hidupnya aja, yang menyebabkan Kazuki akhirnya ga tahan dan ended up membunuh perempuan itu. Seharusnya formula ini tidak terlalu repetitif, seandainya saja alur ini tidak di copy-paste empat kali untuk empat tokoh lainnya. Well, surprise surprise, empat sahabat Kazuki yang lain ternyata sama empet-nya kepada Noriko, dan akhirnya mereka semua bersekongkol membunuhnya.

Yup, saya akhirnya nemu lagi buku yang premisnya menarik, tapi eksekusinya borderline membosankan.

Bahkan resolution di akhir cerita juga tidak membantu mengangkat keseluruhan cerita menjadi menarik. Okay, I'll dump the spoiler here, for I'd care. Ternyata yang mengirimkan undangan tersebut adalah putri dari Noriko. Dan surprise surprise, sebagai anak perempuan yang hidup 24 jam bersamanya, kebenciannya pada Noriko tentu berkali-kali lipat lebih besar dibandingkan kekesalan keempat sahabatnya.

Masalahnya, karakter baru yang memegang peranan penting ini dimunculkan begitu cerita sudah hampir selesai. Dan hal tersebut justru membuat punch klimaks cerita jadi berkali-kali lipat lebih lemah, karena pembaca sama sekali tidak memiliki informasi dan engagement tentang si tokoh baru ini. Bagian resolusi misteri yang seharusnya membuat lega, kesannya malah jadi seperti copy-paste kasus untuk yang kelima kalinya. Kayak yang, "ini apaan sih nambah-nambah cerita yang repetitive dari yang udah di depan-depan"

Saya ngerti, penambahan karakter Ritsuko ini sebenarnya untuk men-setting ending yang "caper-ish", seperti biasa dilakukan pada cerita misteri. Tapi bukannya akan lebih cakep kalau pelakunya diambil dari salah satu keempat sahabat yang berkhianat, atau suaminya? Atau kalau mau tetap pakai tokoh Ritsuko, kenapa ia tidak dimunculkan lebih awal agar setidaknya pembaca aware bahwa Noriko punya anak perempuan yang nantinya akan penting bagi penyelesaian cerita? Biar kesannya ga author script-immunity banget, kindof "gue yang nulis, suka-suka gue mau bikin ending kaya apa".

I mean, even the worst decoy protagonist plot armor kan bisa dibikin cantik? T___T

Well, karena memang kenyataannya begitu, saya juga bisa bilang: "this book ends like shit"

By the way, tapi saya mau point out beberapa pelajaran yang cukup makjleb, yang saya ambil dari novel ini. 

Saya disadarkan, bahwa "kebenaran" ga selalu berbanding lurus, dan berjalan beriringan dengan kebijaksanaan. Manusia bukan robot, bukan cyborg yang bisa disetel kapan ia bertindak 1 dan kapan 0. Nature manusia memang abu-abu, sehingga kita ga akan bisa memaksa orang lain untuk bertindak precisely di sisi hitam atau di sisi putih. Menjunjung kebenaran dan hukum secara kaku, setinggi-tingginya justru malah bisa memicu konflik dan kehancuran, sehingga malah kontradiktif dengan tujuan mengapa peraturan itu sendiri dibuat.

Nah, jadi mana yang kita pilih? Hidup dengan benar, atau hidup dengan harmonis? Atau hidup dengan menyeimbangkan keduanya, kadang bener kadang slengean? :D
 

Rating: 3.75 / 5

No comments:

Post a Comment