Oct 1, 2020

The Jacatra Secret: Dan Brown Series KW-3

Saya baca semua buku Dan Brown. Saya senang mengetahui ada penulis lokal yang bisa menyamai intensitas karya beliau (E.S. Ito: Review 1 | Review 2). Dan begitu seseorang di komunitas litbase mention ke saya tentang buku ini, tanpa pikir panjang saya langsung check out buku ini dari marketplace.


The Jacatra Secret adalah novel karangan Rizki Ridyasmara yang bercerita tentang pembunuhan seorang laki-laki berusia 66 tahun yang terjadi di depan Museum Fatahillah. Di saat-saat terakhir hidupnya, ia menuliskan dying message dengan tinta darah, sebuah anagram yang ditujukan kepada orang yang ia percaya.

AS AT DUTCH


Sementara itu, John Whitemaker Grant, seorang warga Amerika Serikat pakar bahasa simbol yang sedang diundang dalam acara pertemuan penikmat teori konspirasi di Jakarta, dikabari bahwa salah seorang tokoh penting telah dibunuh di depan Museum Fatahilah. Ia segera datang ke TKP dengan niat membantu penyelidikan, namun kemudian menemukan bahwa korban telah menuliskan sebuah pesan yang seharusnya tidak diketahui Polisi.

Plot bergulir dimana Grant dan Angelina akhirnya memutuskan untuk memecahkan kasus ini sendiri, tanpa bantuan polisi Jakarta (yang menurut mereka malas). Grant sebagai ahli simbologi akhirnya bercerita panjang lebar mengenai bagaimana kota Jakarta memiliki banyak sekali bangunan dengan unsur simbol Freemason. Ia juga menceritakan sejarah-sejarah terkait, yang menunjukkan bahwa Grant memang the very person you'd ask about Jakartan symbology.

Tidak perlu waktu lama buat saya untuk menyimpulkan bahwa buku ini adalah rip-off dari serial Dan Brown. Dari penokohan sampai detail pembunuhan pertama, semua mirip sekali dengan The Da Vinci Code. Bagaimana penulis membagi chapter dalam bukunya menjadi beberapa kejadian yang nantinya saling terhubung, juga mirip (walaupun kalau ini sih, banyak banget buku yang menggunakan pendekatan sama). Bahkan bagaimana Professor Sudrajat dibunuh untuk memperoleh informasi mengenai suatu benda pun, sangat mirip dengan bagaimana curator Jacques Sauniere ditembak mati oleh Silas. 

Pesan kematian berupa anagram yang ditinggalkan? Oh, sama persis. Cuma beda huruf-hurufnya.

Selama membolak-balikkan halaman, saya dibanjiri dengan informasi sejarah gedung-gedung di Jakarta, termasuk konspirasi di baliknya (yang berhubungan dengan Freemason). Dari sejarah VOC, sejarah freemason, sampai bagaimana mafia Berkeley berkonspirasi merusak Indonesia, semua tumpah ruah dikeluarkan di sini. Secara pribadi, informasi yang dituliskan di buku ini sebenarnya tidak banyak yang baru. Soalnya saya sudah pernah membaca novel lain tentang topik-topik tersebut. Freemasonry saya dapatkan dari The Lost Symbol. Sejarah bangunan di Jakarta (Monas) saya dapatkan dari Rahasia Meede. Sedikit topik dewa-dewi? Rick Riordan series juga saya sudah khatam.

This book could've turned great, walaupun informasinya ga baru lagi (terutama kalau kalian belum baca Dan Brown atau Rick Riordan). Masalahnya, penulis memasukkan kejadian sejarah ke novel ini tidak sebagai pendukung atau latar belakang cerita, tetapi sebagai clusterfucks of historical (conspiratory) events. Di beberapa bagian, saya hampir merasa tidak sedang membaca novel misteri, tetapi sedang membaca buku teks sejarah. Interaksi antar tokoh sangat minim, bahkan purpose dari sejarah yang dituliskan terhadap actual plot juga sering kali tidak jelas -- karena part "sejarah"nya terlalu panjang. Saya sampai lupa bahwa Professor Grant sekarang sedang memecahkan kasus, bukan sedang mengajar di kelas.

The remaining novel parts are also written subparly. Benar-benar ala kadarnya, terkesan seperti sekedar ada untuk penyela antara history-vomit satu menuju lainnya. Sayang banget, plot cerita seberat dan seintens ini harus ditulis dengan gaya penulisan seperti aktris sinetron yang dipaksa menyelipkan kalimat promosi product placement di sela-sela dialog mereka.

Penyampaian sejarah sangat didominasi oleh male lead, sehingga female lead terkesan ga ngerti apa-apa (padahal diceritakan dia sedang mengambil tesis di kepolisian, seharusnya dia bisa berpartisipasi terhadap setidaknya seperlima dari total seluruh paragraf sejarah, kan?). Sekedar referensi, Robert Langdon dan Sophie Neveu di Da Vinci Code, dan dengan Katherine Solomon di The Lost Symbol, masing-masing berbagi input dalam segala informasi "wow" yang muncul di dalam buku.

Selain itu, dari sedikit tokoh yang dimasukkan ke dalam cerita, sebagian besar dari mereka malah kehadirannya tidak terlalu diperlukan. Ada dua tokoh wartawan yang muncul, tetapi kehadiran mereka benar-benar tidak membawa value ke dalam cerita. Okay ada wartawan, so what? Jika kita mengacu pada gaya penulisan Dan Brown, atau E.S. Ito untuk versi lokalnya, mereka pasti akan menambahkan peran kepada wartawan-wartawan kaliber tinggi ini. Misalnya berpartisipasi dalam mempertemukan polisi reserse dengan main character. Or worse, membantu pelaku pembunuhan untuk kabur dari kejaran polisi karena mereka tanpa sadar telah mengganggu proses penyelidikan.

Saya sempat googling review buku ini. Banyak pembaca yang kecewa mengenai tokoh utama yang adalah orang asing. Saya sendiri ga masalah dengan hal tersebut (apa salahnya WNA memahami sejarah bangsa kita, kan? Toh sejarah itu terhubung melintasi wilayah dan periode). Namun, dengan cara penulis mengembangkan plot, saya setuju bahwa akan lebih cocok jika male lead adalah warga lokal. Selain kefasihan berbahasa Indonesia yang agak di luar normal, bagaimana ia luwes sekali menyetir di Jakarta (setir kanan, ngebut di jalan semrawut dan rumit?) rasanya agak tidak match dengan latar belakangnya sebagai pengajar di George Washington University.

Saya aware bahwa untuk menulis karya dengan detail multidisiplin seperti ini membutuhkan banyak sekali penelitian. Saya apresiasi kerja keras penulis, afterall ga ada yang salah dengan meniru storytelling penulis besar. Sebab bagaimanapun, eksekusi tiap penulis juga akan berbeda sehingga in the end, buku tersebut akan tetap spesial. However, sadly it left out the very part where a book able to captivate its reader: the book 'soul'.  Bagaimana plot diaduk-aduk agar sulit ditebak, bagaimana tokoh-tokoh di dalamnya menemui perkembangan yang mengejutkan, maupun ending yang dibuat spesial. Sayang banget saya ga bisa menemukan ketiga hal tersebut di karya ini. Saya sudah baca banyak karya yang endingnya menggantung, tapi tidak dengan plot se"lugu" ini.

Buku ini menjadi cloning dari karya Dan Brown, tetapi sayangnya ia hanya sebatas clone: raga tanpa jiwa. Daripada ditulis dalam bentuk novel, saya sepertinya akan lebih setuju kalau buku ini dibuat sebagai kumpulan teori konspirasi saja.

Final disclaimer: saya sudah membaca banyak buku Dan Brown, so I just cannot help comparing this book against some unrealistic benchmark. Namun, jika kalian sama sekali belum pernah membaca karya beliau, bisa jadi kalian akan menilai buku ini dari sudut pandang yang berbeda. Apalagi kalau kalian sebenarnya suka baca fakta sejarah atau teori konspirasi.

Recommended?

No, kalau kalian mengharapkan akan menemui cerita sekeren The Da VInci Code
Yes, kalau kalian cuma pengen mengincar simbologi bangunan Jakartanya

 

Quick review:

History part          : 4.5 / 5
Novel part            : just bad
Overall rating       : 2.5 / 5

 

------

Get your ebooks here:

- Google Playbook

No comments:

Post a Comment