Dec 30, 2019

Ceritanya komen soal (debat) radikalisme

Hari ini saya nemuin diskusi menarik lagi di twitter. Kali ini antara Alissa Wahid vs Bhagavad Sambadha perkara akar perkara masalah yang sedang marak di Indonesia.

Debat berawal dari komentar seorang Peneliti LIPI Bu Siti Zuhro (complete article here) yang mengklaim bahwa:

1. Masalah Indonesia sebenarnya bukan radikalisme, tapi ketimpangan sosial karena stagnasi (wait and see) perekonomian global. 

Penjelasannya, karena investor di seluruh dunia lagi menunggu hasil akhir ketegangan/ perang dagang antara US dan Tiongkok, investor jadi ragu untuk naruh duit mereka di sektor riil, dan lebih memilih naroh di instrumen keuangan aja yang jelas risikonya dan gampang dicairkan. Karena gaada duit investasi masuk, otomatis pabrik-pabrik di sini pada kembang kempis buat muterin usaha, sehingga mereka ga lagi butuh karyawan. Sehingga, pengangguran banyak, yang kaya tetep kaya (karena toh masih punya investasi dimana-mana anyway), tapi yang miskin makin miskin.

2. Politisasi radikalisme dan politik identitas harus dihilangkan agar arah permasalahan sebenarnya (si ketimpangan sosial itu tuh) tidak kabur (tidak jadi terdistorsi sebagai masalah kepercayaan agama).

The fun starts here







Kalo saya lihat ya, sebenernya pendapat dua sisi sama-sama valid kok. Cuma kenapa bisa "clash" (I'm overstating here, sebenernya diskusinya adem kok), karena masing-masing punya background yang berbeda.

Mas Bhagavad sebagai orang yang ga terlalu concern-concern amat sama agama, tentu dia akan melihat masalah dari hal yang dia paham. Dan ketimpangan sosial ini ya masuk di logika dia, seperti dia udah jabarkan di threadnya sebelum di quote sama Mba Alissa di tweet kedua di atas. Peduli setan deh, mau lu moderat apa radikal, kalo negara adil, kalo ketimpangan ga ada, semua orang bakalan fine-fine aja kok.

Which is...make sense. While it's true that money can't guarantee happiness, but without money, the guarantee is even more far-fetched. Having enough money of course, would assure you from being victim of capitalism. Sesimpel punya duit buat beli tiket KRL dan hidup tenang selama satu minggu ke depan karena stok beras aman -- you won't have basic happiness kalo lo ga punya uang. Dan faktanya, di Indonesia masih banyak yang kaya begitu. Well, terlepas dari apakah mereka memang cuma malas atau memang terkekang oleh keterbatasan struktural (apalah itu namanya) ya. Karena bahasan malas atau tidak ini, saya yakin bukan lingkup yang dibahas oleh Mas Bhagavad.

Sedangkan Mbak Alissa sebagai aktivis agama moderat (or liberal, terserah lah apa namanya) tentu akan lebih tajam matanya untuk melihat masalah dengan sudut pandang dan pendekatan 'agama'. Concern dia akan lebih banyak di apakah agama dijalankan dengan benar dalam kehidupan bernegara. Apakah dasar negara terganggu atau tidak. Karena dia juga dibesarkan di tengah lingkungan NU moderat sekaligus anaknya negarawan Gus Dur kan.

Premis bukti dia juga valid, bahwa jika masalahnya memang ketimpangan ekonomi, maka orang-orang miskin yang merupakan rakyat NU logikanya akan banyak teradikalisasi. Nyatanya tidak (terlepas dari apakah klaim ini bener atau engga yah, saya ga punya data tapi for the sake of staying in the topic mari asumsikan klaim ini benar).

Lalu sekarang pertanyaannya, apakah radikalisme benar disebabkan oleh ketimpangan?

Karena berdasarkan pandangan saya (tentu saja saya ga punya data, jadi take this with a grain of salt), orang-orang yang miskin lebih punya banyak faktor pendorong untuk menjadi radikal.

Kita kan tahu yah, orang-orang yang menyebarkan paham khilafah-adalah-kunci, yang radikal, yang ngebom-ngebom itu, yang thagut-thagut itu, punya senjata yang mujarab buat menarik massa: "kesejahteraan akhirat lebih baik daripada kesejahteraan dunia" dan "berjuang di jalan Allah lebih mulia daripada dunia seisinya".

Kalau kita lihat premise itu dari mata orang yang sudah desperate sama kondisi finansialnya, tentu janji "kesejahteraan akhirat" ini bakalan lebih menggoda.

Sehingga dengan ini, maka premis bahwa ketimpangan sosial ekonomi menjadi akar penyebab radikalisme, bisa cocok. Karena kalo masyarakat sejahtera, mereka bisa jadi less-desperate untuk mendapatkan "kesejahteraan akhirat" ini.

Tentu aja, bukan berarti yang sudah mapan tidak bakal kena pengaruh seperti ini. Mereka masih mungkin kena pengaruh. Pasti ada aja jalan, dan kita ga pernah tahu kadar greed manusia seperti apa. Yang udah mapan di dunia, pengen cara gampang buat kaya di akhirat, juga pasti banyak kan.

Untuk membuktikan argumen ini, seharusnya kita jembrengin aja sih datanya gimana. Berapa orang radikal yang background nya dari orang ga punya, berapa banyak yang dari orang mampu. Tapi tentu saja kita sebelumnya harus bener-bener define apa yang disebut dengan radikal. Hayo ribet wkwk

Anyway, bahas dari sisi tweet Mba Alissa deh. Radikalisme ya Radikalisme aja, jangan dilimpahkan kesalahannya ke ekonomi dan lain-lain.

Ada tweet menarik dari salah satu follower Mba Alissa, bahwa gerakan eksklusifitas agama (radikal) ini sebenarnya lebih menyebar di kalangan ekonomi menengah. Again, saya ga punya data untuk mengkonfirmasi ini, tapi mari asumsikan bahwa kita bisa menerima premis ini as is.

(sebenernya saya pengen counter dulu, lebih banyak di ekonomi menengah ini karena emang populasi mid income ini paling banyak atau memang penyebarannya lebih efektif di level ini wkwk tapi daripada ribet ya sudahlah)

Klaim bahwa banyak warga NU yang aman dari eksklusifitas agama (radikalisme) walaupun mereka tergolong miskin, menjadi alasan kenapa radikalisme tidak ada sangkut pautnya dengan kemiskinan?

Hmm, kalo saya kok berpendapat beda ya

Mbak Alissa specifically mention, "NU yang di desa yang rata-rata miskin gak terpapar radikalisme tuh". Lho Mbak, mereka miskin iya, tapi desperate gak? Kalo mereka miskin tapi nrimo, miskin tapi hepi lahir batin, ya secara teknis mereka bakalan punya lebih sedikit faktor pendorong untuk mencari kebahagiaan lain toh? Wong mereka udah rapopo uripku koyo ngene tak lakoni ae?

Tapi dengan asumsi bahwa argumen-argumen Mbak Alissa dan team itu bisa kita terima as is, dan kenyataannya kita juga emang tidak punya dasar apapun untuk menyangkal:

Eksklusifisme agama mostly di kalangan menengah - yang berarti mereka punya lebih sedikit desperation untuk meraih kesejahteraan

Masih ada orang miskin yang aman dari radikalisme - yang berarti walaupun mereka desperate akan harta duniawi, mereka ga terkonversi (anggap saja indeed pemegang ideologi radikalisme sudah mencoba "berdakwah" ke mereka tapi gagal)

Maka teori ini justru lebih bisa mengcover segala anomali yang muncul dari generalisasi teori Mas Bhagavad di atas sih:
"radikalisme itu berakar dari ideologi yang bertujuan untuk mengimplementasikan formalisasi islam sebagai syarat islam yang kaffah",

Lha wong aku cumak pengen islamku total kok.

Bisa jadi orang-orang ini bahkan gak peduli sama kesejahteraan akhirati, karena fokusnya pokoknya cuma pengen berislam doang.

I mean, Mbak Alissa kan aktivis, bisa jadi dia punya lebih banyak data kongkrit sehingga bisa menyangkal hubungan langsung antara kesenjangan ekonomi dan radikalisme kan. Let's keep our option open, shall we? :)

Tapi untuk membawa ini ke level yang bener-bener kongkrit, ke dalam peraturan eksekutif (Perpres, Permen, UU dll), kita pertama-tama harus sepakat dulu sih sama definisi "radikalisme" ini

Soalnya aku lihat, Mas Bhagavad sama sekali ga bahas eksklusifitas agama. Dia cuma fokus ke radikalisme. Tapi Mbak Alissa langsung mengcounter, dan beliau langsung mengasumsikan radikalisme sebagai eksklusifitas agama.



Padahal, eksklusifitas agama bisa jadi berbeda dengan radikalisme yang dibahas. Bisa aja kan.

Hehe

Dec 29, 2019

2019 reflection

Compared to how flat, boring, and pliable my life this decade is, this year is particularly special, because for the first time, I actually made big decisions for myself. I absentmindedly declared a #2019GantiStatus for fun, but never I expected that slogan will really come true. Not in a way I intended to, nevertheless it happens.

Oh and I abysmally failed the fangirling-retirement-commitment. lmao.

January


Everything began back in November 2018, when Management considered to split our directorate. Investor Relation stays under Finance Director, meanwhile the Strategy part moves out under another completely different box under the CEO himself -- to arrange the Transformation project that was being prepared. My division particularly, was divided into two preferences, between staying in Finance or following the whole batch outside.

During the first meeting with the Chief (later became our Boss), he nonchalantly gave us freedom whether we will follow the direction out, or stay inside (under Finance) regardless our actual jobdesc is. Knowing this Chief's image, everyone in the room instantly realize that the statement is a political one - you can't take them at value because there might be hidden layers below the "yes" or "no". But Pak G, our then Head of, specifically asked me whether I want the new job or nah. He knew I started to feel discomfort staying in my then job for too long, but being the only people from my unit (my peers and spv were on leave, conveniently), that question feels like a direct jab to a defenseless low worker like me. In front of a dozen senior peers, two spvs, a Head Of, and a to-be-Chief, I said "yes".

I'm always proud of being a consistent person who'd stick to whatever I said myself (no matter how fucked up it was), and of course, my self-confining ass also submit my CV when the Chief' secretary gathered everyone for a 1-on-1 session. In front of him, I stated again, "I want that new job". I didn't even consult my supervisor, but I hang on that jobdesc adjustment promise (kinda) he stated at our first meeting, and thankfully he said yes. Receiving a political yes is better than not getting at all from backing-off, right.

At third week, I joined the first Transformation Program Liaison (the new job official name) meeting. A bit overwhelming to finally work together with my senior team after 2 years of only sitting together. Basically all we have to do is reminding the Initiative Owners (bosses who run the change initiatives) to do their job, and cover the administrative shits for them. Writing minutes of meeting, ensuring the team members are properly recorded.

Regarding the sitting together, I and my strategy team peers only technically sat together before, because I still need to handle my spv inquiries from two blocks away. I requested to sit away because I hate being monitored upon typing every dots and spaces like a freaking 5 years old. Of course I didn't say that in front of his salad, I reasoned "We need to align better with the finance counterpart". Not sure whether he bought that bullshit but he let me go regardless. As long as I still do my job well, right? A commitment I still fulfill despite now having another job to do, with him knowing, this time.

Oh and I still diligently stay away from fandom stuff. Had changed both of my stan twitter accounts to [closed] and following strictly only some of my closest mutuals and two accounts @weareoneEXO and @B_hundred_Hyun, first month was still easy peasy.


February

I joined the first meeting with bigger bosses who'd. I can't even speak a word because I have literally ZERO speaking skill even in Bahasa so thankseu.

But thank God, I can follow the rhythm quite well. Mainly because I was paired with another senior peer, so he can cover my incompetencies at times. He's doing the communication, i dealt with the writing stuffs (minutes and actual milestone checking). No biggies.

Oh, and Pak G left. sobs.

Second month of no-fangirling activities: checked. I still listen to their newest songs (Paper Cut by CBX and Make it Count by CHEN) thanks to those updates I received from merchbot @weareoneEXO, but that's it.

March

No issues. My spv assumed I was overwhelmed (not really :p) with the Transformation project so he spared me most of the times. We also got an MT trainee to help us arranging whatever mess inside our team. And my peers still assume I'm a useless officer who could not be trusted handling shit with higher ups, so yay again.

My no-fangirling mode was started to crumble down though. I curiously searched how my bias EXO is doing, only to find out that my son CHEN opened a youtube channel and WAS about to release solo album in April. SHIT.





April

No issues. Well we had one or two vessels popped from having to receive the pointless direction from the consultant and dealing with powerless new Head of who'd never have enough assurance to do his own shit (Pak S, Pak G's replacement) but overall everything went alright.

I still have to complete the quarterly OJK report, but due to my additional job, I was forced to do it between me handling initiative requests, Pak S uncertainties, Our Chief being political and the increasingly infuriating consultant. No biggie, I've done this damn report since I was intern.

Several requests from my spv still coming in (he somehow always find his way doing other people's job GODDAMMIT), but I handle everything okay. I sent them late at night to show how I dutifully still make time covering up his pushover-ness, ha.

No. I have zero intention to tell him to stop covering other people laziness and incompetencies and dump everything to his lowly paid team. As much as he love complaining about how he shouldn't be the one doing those crap, he would always go back with "I could not possibly refuse any incoming job" shit. Yea sure captain. Aite aite.

By the way, April, and a Flower by CHEN is doing extremely well digitally (yea ofc I do not make a grammar mistake here, the song stayed in chart until November, and it's still going in and out until now). He even won SBS Inkigayo, who is known for being heavily depend on digital performance. It feels nice to see my son's hardwork is received by public. EXO-L who?



Yea, public. Because no way the listener ratio that good (almost 50:50 male:female) if we only depend on EXO-L streaming. EXO-Ls are getting lazy in general, they only ever used their fangs to fight Bangtan's fans or other member' solo stans. Well unless if a Byun Baekhyun counted as 100 times normal listener... he loves his buddy's new songs despite his solo stans remains oblivious. No problem. Baekchen stan win.

And Minseokie hyung was...enlisting... :c

(Yea my no-fangirling-phase was poofed into thin air. Bye. I even bought CHEN's album. I searched his name and 'Baekchen' in twitter more often than I pee. Retired my ass.)

May

Not much highlight in Transformation, as my focus was mainly used to complete the DAMN report. The bullshit business plan with fourty excel worksheet to fill with random numbers which I'm sure no one ever read, even the maker herself. If you type a whole lyrics of EXO's MAMA jukgo jugigo saugo wechigo in that trash document, people would hardly notice. I need to start ahead because Idul Fitri was in early June and no bloke in right mind will stay in office doing any work. Including those supposed to contribute and provide data.

Yea, the trainee is still too clueless to handle a report as "big" as this one so I, again, jump in to finish it. I have a severe phobia of teaching people so rather than doing that it would be easier to finish the job myself

My fangirling life is rejoicing though. My son CHEN was still continuing his one month - one content strike and this time he collab with a soloist (some said he's also a vocal director?coach? who was close with Baekchen) Im Hanbyul.

I'll casually left their masterpiece here and be prepared to receive luxurious singing skills. Like, boy, this is how you project high note. Use head and mixed voice well instead of only shouting shit into your mic and hurting your vocal nodes in the process. Do you want to sing for long or not ffs



You're welcome.

June

I didn't take annual leave due to the damn report. Need to standby to provide my draft in case Mr. spv want to check. Lmao. As he ever know what he'd need to review at. He didn't even know where to read for certain info, like he asked me why I didn't write our plan to issue bond when I already freaking wrote that in two whole paragraph in TWO SECTIONS.

Okay madam, calm down. You're not here to complain about your ex-boss :p

Transformation project, not much update. I was still doing admin shits, though I started to actually reach out to those bosses for inquiries. Actually I started to do most of the PL jobs, since the reaching out jobs what exactly the point of my role. My partner has significantly lesser workload than me now, but no problemo, I'm happy with it. Having to write minutes in English every week, I was confident I have better writing skill than him anyway. I only reach out to him if I have to contact someone who is particularly difficult to contact.

He actually also offered me to assist in his BAU jobs. Being a "mental babu", of course I agree with that. But since I still dealing with my spv shits, eventually he stop asking me to join his meeting. Too bad, his role is fun though.

July

No special stuffs. Next.

August

No special stuff. Just popped one or two arteries for not learning my lesson of not sacrificing yourself unless asked, but no big deal lah. That's life.

September

Early retirement program was once again buzzing among all workers, after the last one back 4 years ago. I initially didn't have much thought on it. Not that this workplace that terrible of a place though, but since I'd be paid nicely, why not? Good news is, my spv and my peers (BAU one, not the Program Liaison one) also applying, so I didnt give any further thought and casually confirmed my participation. We did not give any fuck whether our unit would have to be demolished due to everyone's leaving.

And my application was approved. I needed to go back earlier from my annual leave but still, HURRAH. The amount is quite nice too.

DEE IS LEAVING THIS PLACE BY THE YEAR-END, FINALLY

October

My working mood somehow became significantly lighter knowing I would be leaving this year. With my PL partner started to get overwhelmed with his BAU job, I naturally taking over most of the PL jobs. He started to show his incompetencies (or it was me who's slow) in PL jobs, but since I was leaving anyway, I suck my uneasiness and let myself cover his ass.

On the other side, me who already forgotten my January commitment of reducing my fangirling activities, once again buying Kpop album. It was my son second solo album. THERE'S NO WAY I DON'T BUY MY SON HARDWORK, HIS FIRST CREATION WAS AMAZING AND WORTH DOUBLE OF MY PENNIES.



November

It was supposed to be tough because another batch of DAMN report is coming. But since I would be leaving in next month, I did that again one last time. This time because at year end, the higher ups who was supposed to sign the report would be on leave and the internal deadline was pushed forward by one week, so it was impossible for the trainee to do it alone. Okay, no big deal.

And EXO was having a comeback. Sure thing, here's my money SM. (Son was pushed back a lot in this comeback like usual, but I tried not to indulge myself too far. Those warriors can do their job, I'm here for fun only)

December

I'M FREE!!!!!!!!!

Slow month of the year (due to people taking Christmas leave) gave me ample of time to think on what I will be doing after leaving. I haven't exactly plot them yet, but at least I know what to do in January. I've enrolled myself in a short Data Science course, and considering to take another class to complete my skill before I'm ready to seek another job. I should see whether I can though. Data Science is a whole new field to me.



By the time I typed this, I have officially bid my last greeting to everyone in my company. My last day haven't been special, but knowing that I was accepted nicely by the Director my spv had been religiously served for, I feel glad inside.

So far, the biggest turning point I made is when I decided to apply the early retirement program. Now I'm officially jobless, and the thought of having to seek jobs and waiting for interview is scaring me, and that is not even an overstatement. I have never applied for a job before. I have spent over a quarter of my retirement allowance for this course, and if I turned out to be bad at it, I'm done. What if I don't get any offer after graduating from the course? What if I made a wrong course choice?

Goddamn, living in present isn't as easy as how it is being spoken

Dec 24, 2019

Indonesia Rewrite: Melomance - Gift (Covered by CHEN)

Not a literal translation, it's more like a (badly) rewritten lyrics. I need to match with the original arrangement too ^^;

Cover by CHEN


Ketika cahaya pagi menerpa indah mata parasmu
Ku terjaga, terpana, memandang pada cinta

Hal-hal yang serba kupahami,
Kini,berubah tak kumengerti
Kisah penuh drama membangkitkan iri
Telah kualami sendiri

Terasa bagai dapatkan kado spesial
Hal biasa kini menjadi besar
Saat hariku yang sederhana berubah menjadi indah

Segala hal yang terlewatkan
Kini bagai serupa hiasan
Apakah diri ini benar dapat sebahagia ini

Sebelumnya tiada terlihat
Terasa kini segala bercahaya
Karena kisah drama membangkitkan iri
Telah kualami sendiri

Terasa bagai dapatkan kado spesial
Hal biasa kini menjadi besar
Saat hariku yang sederhana berubah menjadi indah

Kini kutemui kau cintaku
Segalanya indah saat bersamamu
Selayak anak dan ibu
Diriku kini kembali satu

Terasa bagai dapatkan kado spesial
Hal biasa kini menjadi besar
Saat hariku yang sederhana berubah menjadi indah
Saat diriku jatuh cinta



Original Translation by 1theK youtube (Official MV) - via KOLLA-G

빛이 들어오면 자연스레 뜨던 눈
A natural awakening when light comes in
그렇게 너의 눈빛을 보곤 사랑에 눈을 떴어
Like that, when I look at your eyes, I awaken to love

항상 알고 있던것들도 어딘가
Something I've always known
새롭게 바뀐것 같아
Seems like it changed newly
남의 얘기같던 설레는 일들이
Exciting stories like others
내게 일어나고 있어
It is happening to me

나에게만 준비된 선물같아
It's like a gift just for me
자그마한 모든 게 커져만 가
All the small things are getting bigger
항상 평범했던 일상도 특별해지는 이 순간
This moment that ordinary daily life becomes special


별생각 없이 지나치던 것들이
Things that passed by without notice
이제는 마냥 내겐 예뻐 보이고
Now it looks just beautiful to me
내 맘을 설레게 해
Makes me excited

항상 어두웠던 것들도 어딘가
Things that was always dark
빛나고 있는 것 같아
Looks like it is shining
남의 얘기같던 설레는 일들이
Exciting stories like others
내게 일어나고 있어
It is happening to me

나에게만 준비된 선물같아
It's like a gift just for me
자그마한 모든 게 커져만 가
All the small things are getting bigger
항상 평범했던 일상도 특별해지는 이 순간
This moment that ordinary daily life becomes special

너를 알게 된 뒤 보이는
After I get to know you
모든 것들이 너무 예뻐 보여
Everything looks so pretty
그렇게 신난 아이처럼
Like an excited kid
순수한 사람이 된 것 같아
I feel like I became a pure man


나에게만 준비된 선물같아
It's like a gift just for me
자그마한 모든 게 커져만 가
All the small things are getting bigger
항상 평범했던 일상도 특별해지는 이 순간
This moment that ordinary daily life becomes special
깊은 사랑에 빠진 순간
The moment that I fell deeply in love

Apa Kelebihanmu?

This post is dedicated for those struggling to map out their strength

atau tau, tapi susah ngungkapin pas ditanya "kekuatan kamu apa?"

Which is sucks, ketika pas banget kalian lagi berada di waktu-waktu penting seperti interview. You'd need to present yourself well sehingga interviewer bisa ngelihat ke(tidak)cocokan kalian dengan kriteria yang mereka butuhkan, dalam waktu kurang lebih setengah jam.

No interviewers ever, would have time to observe yall closely kan. Makanya interview itu jadi kunci banget. No excuse, whether you're nervous, laper, habis putus, habis ngelihat setan (if the ghost looks like Yeo Jingoo sih gamasalah), if you perform bad ya you did bad. Bubye kesempatan kerja.

Di sini bukan mau ngasih tips gimana caranya biar ga nervous, tapi lebih ke gimana caranya kita bisa menjabarkan strength kita dengan beberapa kalimat yang "ngena".

Which you'd have to complete WAY before the D-day of interview. 

So if you're currently holding your pee in front of the interviewing room waiting for your name to be called, mendingan sekarang pipis aja dulu, hati-hati di kamar mandi nya jangan sampe kepeleset. Because doing interview with a throbbing pain in your butt sucks. Belum lagi baju yang udah diseterika rapih-rapih jadi berantakan. Makanya jangan ngopi pagi-pagi, dibilangin ngeyel sih.

Instead of hoping to get some clues from this post, mendingan hapenya tutup dan banyakin berdoa. May God help you. Ganbatte. Jangan ngona nganu pas ditanya "kekuatanmu apa?"

But if you still have at least 24 hours prior to your big day, we can go back to topic. 

.

Tips pertama: Cari tahu kekuatan kamu apa.

Thank you, Miss Obvious

Beberapa dari kita (termasuk saya tbh) struggle bahkan di proses identifikasinya itu sendiri.


- : Saya orangnya jujur.
+: Okay.
- : Saya orangnya pekerja keras.
+: Oke, lalu?
- : Apa lagi ya....? Udah deh Bu kayanya itu aja heuheu saya ga pinter nilai diri sendiri
+: =="

Makanya, akan lebih gampang kalo kita punya daftar seluruh sifat di dunia, kemudian kita centang-centangin mana aja yang relate sama kondisi kita.

Lebih joss lagi kalo dari list itu, kita bisa nyimpulin, karakter kita tipenya seperti apa, dalam satu kata saja.

Kan enak tuh, kalo pas ditanya "Apa kelebihan kamu?", jawabannya "Saya itu orangnya [TRAIT X]. Saya [subtrait A], [subtrait B], [subtrait C], sehingga saya (jabarkan lagi yang lain-lain).

Jawaban terstruktur gitu kan enak buat yang denger, enak juga buat kita yang ngomong. Jadi ga kemana-mana. Koheren gitu loh antara kalimat satu dan kalimat selanjutnya.

Kalo saya, saya refer ke salah satu pembagian sifat yang namanya "Gallup's Strengthfinder" or "CliftonStrength's Assessment"

Di tool ini, manusia dibagi manjadi 4 kategori, dimana pada masing-masing kategori ada daftar traits terkait. 4 kategori besar tersebut yaitu relating, impacting, thinking, dan striving.


Kita tinggal centang-centangin aja, trait mana yang lebih relate ke kita. Agar fokus, sebaiknya kita centang 7 sifat aja. Jika ada banyak banget sifat yang kita rasa relate, gapapa kita pilih semua dulu, tapi habis itu kita saring lagi, sifat mana aja yang lebih dominan.

Kalau saya, pembagiannya seperti ini

centang merah: seluruh trait yang menurut saya dominan
centang hijau: trait yang paling dominan, setelah difilter

Oiya, penjelasan masing-masing dari 34 sifat tersebut bisa dilihat di bawah ya. Saya translate dan recreate dari website gallup sendiri

Pede aja centang-centangnya, karena sifat manusia itu ga ada yang salah. Setiap karakter bakalan ada gunanya kok dalam tim, jadi ga melulu harus yg workaholic, atau yang jago public speaking.

Balik ke case saya, jadi peta strength saya adalah seperti ini:

Impacting = 1
Relating = 1
Striving = 3 >> this is my dominant theme
Thinking = 2 >> this is also my dominant theme

Jadi nanti kalau saya interview (masih jauh sih haha) saya bisa cerita lebih enak

Kalau sebelumnya saya: "saya orangnya jujur, cepat belajar, ga suka ngobrol. selain itu, saya juga perfeksionis"

Ini ga terarah.

Dengan checklist ini, saya bisa bilang seperti ini:

"saya tipikal striving dan thinking, oleh karena itu saya akan lebih optimal jika saya ditempatkan pada unit dimana saya tidak terlalu banyak bertemu orang baru. Karena saya deliberative dan context, maka kemungkinan saya akan lebih "resek" ketika memulai suatu karena saya harus memastikan bahwa saya paham sebanyak mungkin akan project tersebut. Selain itu, saya juga seorang achiever, sehingga saya tidak pernah meninggalkan suatu project unfinished."

Disclaimer: imaginary explanation above is NOT a model answer on how to answer the question.

Ga harus diangkat semua tujuh-tujuhnya sih, tapi kan setidaknya ada arahnya. And it sounds cooler than kamu nyebutin sifat-sifat kamu secara random, yang mungkin aja semuanya ga relevan.

Anyway, ini cuma contoh tool ya. Kalau kalian nemu tools yang lebih representative atas diri kalian, kalian juga bisa pakai. Kalian mau pakai myers briggs (ISTJ, INTJ, ISTP, INFJ blablabla) juga boleh.

Intinya adalah yang penting kalian bisa cerita dengan fokus, kalian bisa jelaskan kekuatan kalian dan relevansinya dengan dunia kerja, itu aja.

Hope it helps.

Good luck!

:)


34 Strength Translation






Oct 29, 2019

Nadiyah cs X AskDika in Awkarin Drama

Minggu ini di twitter lagi rame banget perkara awkarin. Saya ga ngikutin awal muasalnya gimana (karena kebetulan saya lagi detoks drama twt juga), tapi saya sempet nangkep beberapa sesama selebtwit nyinyir soal ide awkarin yang mau bikin "komunitas aktivis tapi tidak ikut berpolitik", lalu ada creator yang jebe dan ngeup lagi blunder dia yang dulu sempet nyolong gambar di pinterest buat konten instagramnya.

Awkarin akhirnya ngancem yg ngeup untuk membawa perkara ke ranah hukum, dan dhuarr semua orang mendadak ikut sumbang suara. So far mereka kebanyakan ada di sisi si creator yg nge-up itu. Anyway, kabarnya saat ini si creator itu lagi hiatus dulu dari pertwitteran (mau ujian ceunah). Dan semua tweet di akunnya termasuk yang keblow-up itu, udah dihapus.







Program detoks saya auto berantakan karena temen-temen2 saya yg biasanya muncul buat spazzing oppa/gege, tau2 jebe bahas beliau.

Tapi di antara hingar bingar tweet yang memojokkan awkarin, ada satu tweet bangsat yang somehow relatable sama mindset saya.



Mungkin karena saya sendiri orangnya nyinyiran dan pesimistik ya. Tapi saya rasa tweet tersebut ga salah. Emang faktanya begitu kok. Mau berjuang ya emang ga bisa asal grasa-grusu.

Memang merusak mood, tapi fact says what it has to say kan. Ugly truth is better than sweet lie, bagi saya.

Namun, tentu saja perjuangan Mba Nadiyah tetep valid ya.

Memperjuangkan kebenaran/idealisme emang ga selamanya bisa ditempuh pake cara cantik dan santun. Ada kalanya memang harus ditempuh pake cara yang galak, biar leih nyentil.

Kalo gitu, kapan batasannya harus pake cara cantik dan kapan boleh pake yang cara jelek?

Kalo menurut saya sih, kenapa ga jalan bareng aja? Tim galak dan emosional silakan pake cara galak. Kubu yang mau jalan cantik, silakan pake cara cantik. Selama tujuannya sama, ya why not kan?

Tapi ntar kontradiktif dong.

Ya emang kenapa kalo kontradiktif? Untuk kasus ini, Nadiyah tetep bisa jalan walaupun Dika nyinyir kan?

Saya termasuk orang yang merasa bahwa adanya orang yang going against everyone itu tetap diperlukan.

Dika nyinyir, karena mau ngingetin bahwa untuk menghadapi orang kaya dan berkuasa itu harus siap sumber daya. Ga bisa modal nekad doang. Yes it does make impact tapi ya jangan marah kalo kalian team ideal akhirnya malah kena masalah. Orang hukum di Indonesia ini faktanya memang masih tumpul ke atas kok.

Beberapa fans Karin yang mungkin masih ngebelain, ya tetep bisa diambil hikmahnya juga. Mereka itu bukan tolol, tapi lagi ngebantu ngingetin kita, bahwa sejahat-jahatnya Karin, dia tetap adalah orang yang bantu nyiapin 3000 nasi boks buat mahasiswa yang demo tolak UU KPK dan UU-UU bermasalah lainnya bulan September lalu. Walaupun Karin orangnya berbahaya, tapi tindakan dia yang terpuji tetap harus diapresiasi. Salah ya salah, tapi yang baik pun harus tetap diingat.

Dan buat kalian yang mau memperjuangkan Nadiyah dan hak-hak pekerja seni, LANJUTKAN! Jangan biarkan apapun menghalangi niat baik kalian. Idealisme memang sudah seharusnya dikejar, bukan?

Bayangin aja kalo semua orang maunya realistis, maunya pasrah sama status quo. Ya semua orang bakalan bertindak semaunya. Chaos entar, ga akan ada order.

Mesin tanpa rem bakalan celaka, tapi mesin tanpa pedal gas ya ga akan maju. Dan tanpa menjadi maju, apa gunanya mesin diciptakan?

(sedap banget analogi gua wakakak)

Oct 27, 2019

Shitpost Tentang Ketenagakerjaan

Kayanya hampir tiap minggu adaa aja twit "please do your magic" yang ga punya duit, butuh kerjaan dll. Tiap hari, ada aja twit protes ke pemerintah yang ga bisa ngasih cukup tenaga kerja, semua orang terpaksa kerja jadi driver ojol, dan narasi-narasi semacamnya.

Mari kesampingkan dulu afiliasi (atau tidaknya) politik si poster, yang jelas kita liat pake mata sendiri, pengangguran itu nyata. Tetangga beda dua rumah dari saya aja ada yang nganggur. Gatau lah beliau dapet makan sehari-hari dari mana. Ga nikah sih, untungnya.

Saya banyak baca tweet yang bilang bahwa kebanyakan tenaga kerja sekarang diserap oleh sektor informal. Dengan tidak membedakan kemuliaan dan kebaikan hati bapak-bapak mitra gojek dan grab yang sudah berpanas-panasan membantu kami kaum menengah milenial ngehe, tapi saya setuju bahwa penyerapan tenaga kerja produktif sebagai driver ojol itu ga bisa diklaim oleh Pemerintah sebagai prestasi mereka.







Kalau lulusan sarjana pada lebih milih kerja sebagai pembantu online dibandingkan dengan kerja di sektor formal, kan berarti ada yang salah.

Antara satu, kerjaan sektor formal sucks. Either financially, or systematically.

Financially, karena bayarannya payah. You're expected to work for >8 hours per day only to get UMR. Nah, boro-boro nyicil rumah, buat makan aja kudu dibela2in bawa nasi sendiri biar ga jajan di kantin. Hidup ngekos dan ngontrak all the way!

Systematically, karena sistem nya sucks. Nyarinya susah, HRD nya ngehe minta fresh graduate tapi harus punya pengalaman lima taon. Udah masuk pun, lo ketemu bos yang ga ngasih lo pembelajaran. You do all their works and them be taking credit for all of your sweat and blood. You are expected to come in earlier yet they still ask you to stay longer after work. And what is an overtime pay? Meh, I'd better be baking maself under the sun. At least I'm free.

Atau dua, supply sama demand nya ga nyambung

Kalau aja saya ga join jadi kacung admin project di kantor, mungkin saya ga akan tau kalo sekarang tempat kerja saya lagi struggle cari orang.

Yes, we are struggling to get people to work with us. And we still need to get 170+ people to join our team by end of this year only to get 70% of the ideal manpower. Itu buat area Jabodetabek doang loh

Kalo saya jadi hiring team, saya udah ngajuin surat resign tuh wkwk.

Ini baru tempat kerja saya, belum di tempat lain. Saya denger curhatan dari team hiring (ke project leadernya of course, saya ga cukup penting untuk dicurhatin Nyonyah Hiring) bahwa untuk dapetin sales itu susahnya setengah mati. Sales yang bagus itu either mahal, atau dikekepin sama tempat kerja asalnya.

Saya kira dua poin di atas sama validnya sih. Sebagai pencari kerja, kita tentu harus cari tempat senyaman mungkin buat bekerja. Tapi sebagai hiring team, kita juga jangan asal masukin orang dong.

Sama-sama ngehe, tapi manusiawi emang. No one wants sucks job, but also no one wants sucks employee.

Tapi ada satu hal menarik yang saya amati

Children nowadays are avoiding responsibility as a revenue generator like a plague. Pekerjaan jadi sales itu seakan hina banget, target is taken as a horror and hence everyone is battling to stay away from them.

Padahal kalo kalian jadi revenue generator, kalian bisa gampang loh nulis achievement kalian di CV. "Saya berhasil mengumpulkan revenue perusahaan sebesar 2 miliar." kan mantep tuh.

Like, semua orang pengennya kerja ngadem di back office. Yang gausah ketemu orang.
Berasa kaya manusia saiton di cubicle sebelah yang suka bawel manggil-manggilin juga bukan hooman.

Apa karena sekarang lagi trend nya "edgy", "anxiety", dan "introvercy" ya?

Oct 14, 2019

Rest in Peace...

Judul postingan kali ini agak spooky. Ungkapan "rest in peace" biasa dipake sebagai ungkapan berduka cita atas meninggalnya seseorang.

Apapun agamanya, apapun jenis kelaminnya, apapun statusnya, semua sama. Rest in Peace.

Beristirahatlah dalam damai (kedamaian).

Tadinya saya cuma ikut-ikutan aja pakai ungkapan itu. Terutama jika sang almarhum non muslim ya, karena ga terlalu nyambung kalo pake ungkapan dukacita ala islam "innalillahi wa innailaihi rajiun" kan. Dan innalillahi itu pun kalo diterjemahkan ke bahasa inggris/Indonesia pun jatohnya agak cuek kaya yang "yaudah sih cuy mati ya mati aja". Walaupun tentu ga sekasar dan segaksensitif itu. Semoga.

Tapi sekarang baru kepikiran lagi, kenapa "Rest in Peace"?

Kenapa orang yang hidupnya sudah berakhir, udah beristirahat selamanya, harus masih didoakan juga "dengan damai"?

Toh, maaf, hantu itu secara teknis ga ilmiah kan. Agak-agak ga nyambung ya kalo kita bawa mitos bahwa orang yang meninggal dengan membawa tanggungan itu, akan balik lagi. Apalagi kalo konteksnya adalah orang-orang yang ga percaya adanya kehidupan setelah mati. Wallahualam sih ya.

Kalo menurutku ya, konteks "in peace" itu bukan untuk mendoakan setelah kematiannya.

Tapi, mendoakan ketika kematiannya.

Semoga kematiannya indah, semoga kematiannya tenang, semoga kematiannya mulia.

Ya jatohnya bukan doa sih, tapi harapan. Eh, tapi harapan itu kan doa ya, dan doa itu harapan?

Kita tahu kan, walaupun nyawa manusia itu ada akhirnya, tapi kenangan akan mereka akan abadi. Termasuk kenangan akan akhir hidup mereka.

Dengan kematian sebagai garis "finish", tentu semua orang pengen dong akhir hidup mereka bermartabat? Udah finish nih, masa mau jelek? Walaupun dunia mungkin memang jahat, tapi jika udah menyangkut diri sendiri, saya kira semua orang akan ingin yang terbaik.

Dan dengan diucapkan oleh orang lain itu, bukan oleh si almarhum sendiri, tentu itu harapan baik dong, buat yang meninggal maupun buat yang mengucapkan. I mean, wishing someone good deed is never wrong. 

Anyway, Rest in Peace, Sulli sayang. Dunia memang jahat sama kamu selama 25 tahun, tapi kami harap, ajalmu menyenangkan. Setidaknya, kami di dunia akan mengingat kamu sebagai sosok yang ceria, cantik luar dalam, dan membawa kebahagiaan jutaan orang.

Love, a no name EXO-L


Oct 12, 2019

"Understanding"

Stanning an idol singer is such a waste of time and money. You spend bucks for watching two-three hours concert, another for album and stuffs, and it hasn't even include the amount of time you use for staring and crying at dude who doesn't even know you exist.

Well, ga salah sih.

Tapi balik lagi tergantung apa yang kalian lihat dan serap kan. Kalian nonton kajian hadist 6 jam tiap hari pun, tetep aja outcomenya tergantung apakah kalian mengambil intisari hadist nya, atau malah jadi menyerap sifat bigot ustadnya yang parno sama perempuan berbikini. MISALNYA OKAY MISALNYA.

"Tapi kan ilmunya bener"

Ya ilmunya emang ga salah. Tapi kalo kita balikin lagi, kenapa ilmu yang sama baiknya, yang diserap dari pria bermakeup tebal dan berdansa, dianggap hina?

Okay let's quit rambling and jump to the topic


Pagi ini gua dapet pelajaran cakep banget dari seorang kafir katolik Korea, namanya Chen aka Kim Jongdae.



Kita sering complain soal betapa nasty-nya dunia ini. Soal wakil rakyat yang doyan korupsi, soal pemerintahan yang payah, sampai perkara mbak-mbak di kereta yang nyerobot antrian.

Kita merasa hak kita diinjak, gitu kan.

"Enak aja, itu kursi meja rapat kalian bayar dari pajak gua, kalian pake buat tidur doang?"

"Jadi kaya gini nih Presiden yang kita pilih? Hutan dibakar dia diem aja?"

"Mbak2 sialan, gua udah ngantri duluan juga. Punya tatakrama ga sih?"

Tapi pernah kepikiran ga sih, bahwa mereka mungkin ga punya pilihan lain saat itu?

Presiden diem, mungkin karena dia lagi nunggu hasil laporan dulu dari tim lapangan, buat mastiin keadaan aman dulu karena dia ga mungkin mengorbankan tim SAR atau tentara kalo memang kondisi ga aman.

Mbak-mbak mungkin nyerobot karena dia udah ditunggu anaknya yang mendadak muntah-muntah dan panas tinggi di rumah.

(I'm still struggling to find justification to senate's incompetence tapi poinnya nyampe lah ya)

Kondisi tiap orang berbeda. Bahkan untuk kebodohan-kebodohan yang bener-bener kelihatan tolol, kalo kita coba telisik ke belakang, bisa aja ada kisah tragis di belakangnya. Yang kemudian membuat kita berpikir, "oh iya ya, kalau kita di posisi dia, mungkin kita akan bersikap sama".

Kita sering lihat twit bodoh di twitter dimana kita sampe gemes pengen nyamperin si original poster dan ngejogrok-jogrokin kepalanya, tapi pernah ga mau menggali struggle dia sebenarnya?

Atau komen ganas di instagram atlet bulutangkis yang baru kalah. Bisa aja loh, si commenter adalah pacarnya si atlet badminton, dia tau betul bagaimana atlet tersebut males-malesan latihan, dan dia juga tau bagaimana keluarganya si atlet di rumah sedang ngarep2 uang hadiah turnamen karena mereka butuh buat bayar gadai rumah.




Okay, untuk kepentingan bersama to some extent kita punya opsi untuk mengingatkan dan mengedukasi orang lain. Tapi ngingetin itu beda ya sama ngatur. Kalo ngingetin, posisi kita setara. Tapi kalo udah ngatur, kita ngerasa posisi kita di atas. Trust me, it shows when you're intending to remind someone, compared when you're outright giving them order.

Dan mengingatkan orang itu, selalu dengan baik-baik. Gaada orang diingetin tuh malah balik marah. Kecuali kalau mereka memang punya masalah, dan di situ adalah dimana kita, again, harus mencoba ngerti. You did your part, whether they accept it or not it's out of your business. 

Tidak, saya ga meminta teman-teman buat apatis dan membiarkan orang lain bersikap salah. But stay on your lane. And if you have no options other than crossing them, please PLEASE PLEASE do that nicely.

They might or might not accepting your suggestion, but your nice gesture will stay nonetheless.

Dunia yang indah itu bukan dunia dimana semua orang menganut standar yang sama, tapi dunia dimana semua orang bersikap sama, dimana semua orang akan mencoba memahami orang lain yang punya struggle dan latar belakang yang berbeda

Stay positive

And stream "Shall We?" by my son Chen


and "Jopping" by Super-M.

Sep 30, 2019

Shoutout to be seen, for the unseen


Overheard from mamak yang lagi nonton cut2an ILC entah kapan di youtube

Orang optimis dan pesimis sama-sama berguna untuk dunia. Orang optimis yang membuat pesawat, orang pesimis yang membuat pelampungnya” (Karni Ilyas, entah tahun berapa)

Saya suka banget sama kalimat ini. Selama 27 tahun, apalagi semenjak saya berhasil memetakan kepribadian saya, saya merasa orang pemalu dan minderan seperti saya tidak akan punya kesempatan untuk kemana-mana.

Dalam karier, di lingkungan, dalam hidup.

Gimana mau sukses, terlihat saja tidak. Kan gitu.

Tapi kemudian saya disadarkan, kalau semua orang di dunia ini tipenya ekstrovert dan bawel, dunia udah kiamat kali. Bayangkan kalau bank isinya sales team semua, gaada team creditnya . Ntar portofolionya 100 triliun, kredit macetnya 150 triliun. Ngasih pinjeman doang tapi di write-off semua. Atau semua maunya jadi artis dan sutradara. Terus yang mau jadi cameraperson dan tim editor siapa?

Cuma memang tidak bisa dipungkiri, untuk mendapatkan akses menjadi bermanfaat pun, si pemalu ini memang harus terlihat.

Walaupun sekali, kita memang harus terlihat.

Cuma sesekali doang kok. Setelah itu, kita bebas untuk menjadi pemalu dan penyendiri lagi.

Menurutku ya, kita ga perlu memaksa diri kita untuk fit dengan hal-hal yang sama sekali berbeda dengan diri kita DI SETIAP WAKTU.

Capek.

We deserve break.

Yes, being young means we are in a period when we have chance to tire ourselves out. But it doesn’t mean we have to be burned out from pushing ourselves all time.


Buat diriku yang sebentar lagi resign tetapi takut reach out ke HR di linkedin,

Buat diriku yang sudah waktunya nikah tetapi takut membuka diri,

Kamu cuma perlu melakukannya sekali kok. Make yourself seen JUST FOR ONE TIME.

Kamu bisa.

Sep 29, 2019

[SISIT] Media dudes, watch your wordings







Sebelum saya memulai bacotan saya, ijinkan saya untuk mengucapkan bela sungkawa kepada para korban kejahatan sosial di Wamena. Mudah-mudahan arwah korban husnul khotimah, keluarga korban tetap kuat, dan yang lebih penting lagi, masalah segera selesai.

Masalah bangsa ini rasanya kaya kerjaan ga sih. Ga beres2. Masalah Papua yang pertama belum juga beres, sampe balik ke Papua lagi kan masalahnya

Anyway, sebenernya saya bukan mau bahas tentang Papua. Tapi lebih ke twitnya Mbah Tedj itu yang soal redaksional berita.

I know, I sounded hella meticulous. Cuma redaksional doang elah, ga menyembunyikan fakta bahwa yang dilakukan orang-orang itu adalah suatu kebiadaban.

Tapi beneran deh, buat orang-orang media, orang-orang komunikasi, every single choice of word matters. Soalnya pilihan redaksional yang tepat akan mempengaruhi respon orang yang membaca tulisan kalian.

For the case above, saya setuju penggunaan label “suku” pada korban dan pelaku itu kurang bijak.

Soalnya begini. Indonesia ini ya (mungkin berlaku juga buat seluruh dunia idk), rasa primordialisme dan loyalitas atas sukunya tinggi sekali. Orang Jawa kalau ketemu orang Jawa lain di tempat selain Jateng/Jatim/Yogya, pasti suenenge ora umum. Suku-suku lain juga sama.

Dan sepengamatanku, efek ini tidak terlalu terlihat jika yang dipakai adalah sudut pandang daerah atau provinsi.

Misalnya nih ya, kalau si A pake “hook” pembuka perkenalan sebagai orang dari provinsi Jawa Tengah, kepada si B yang adalah suku Jawa, si B pasti akan seneng2 juga sih ketemu orang sedaerah. Tapi pasti asosiasinya bukan karena “aku entuk konco podho2 SOKO Jowo”, tapi karena “aku entuk konco WONG Jowo”.

Dapet ga intinya?

Ya walaupun kalaupun si A ternyata orang Batak yang cuma numpang hidup di Pekalongan, bukan berarti si B bakalan kecewa juga sih. Orang Jawa tidak sesempit itu (aamiin).

Kalo logika itu kita terapkan di kasus dimana orang Papua membunuh orang nonPapua, rasa primordialisme ini akan escalated berkali-kali lipat. Soalnya manusia akan lebih alert dan parno kalo merasa terancam kan.

Even if they literally sit hundred kilometres from where the assassination takes place, if the victims is “one of them”, they will feel threatened as well.

Tadi gua udah hipotesis bahwa labeling suku efeknya lebih kuat daripada labeling domisili. Balik lagi ke masalah berita yang mencantumkan “X membunuh SUKU Minang”, “korban adalah SUKU Minang”. Labeling suku ini bakal men-trigger alert di DNA-nya suku-suku Minang yang lain, yang akhirnya memberikan respon backlash yang hebat dari mereka.

Dan ga cuma sampe situ. Karena yang disenggol udah level suku nih, suku Minang pasti bakalan cari tahu dong, siapa sih yang berani macem-macem sama (bagian dari) mereka?

Oh, anjir. Orang Papua. Berani macem-macem nih orang Papua sama orang Minang.

Inget, loyalitas atas dasar suku/kelompok lebih kuat daripada domisili/area.

Jika mereka bilang Orang Papua, yang di otak mereka pertama kali bakalan “orang yang tinggal di Papua” atau “orang Suku Papua?” Pasti yang kedua kan.

Akhirnya apa? Ya bukan ga mungkin mereka jadi sentimen dan paranoid sama tetangga mereka yang Orang Papua. Tetangga yang biasanya ramah senyum dan suka bagi-bagi kue, mendadak jadi menakutkan. Padahal mungkin tetangga mereka itu bahkan selama tujuh turunan belum pernah menyentuh tanah Papua dan belum pernah sama sekali ketemu  sama si korban.

Hate by association itu nyata. Memang tidak logis, tapi DNA kita ga logis Pak

Coba kalo headlinenya kita ganti “X membunuh orang yang berasal dari Sumatera Barat”, “korban adalah orang yang berasal dari Jawa Timur”.

Kalaupun ada yang merasa terancam, ya paling orang-orang yang tinggal di Sumatera Barat atau Jawa Timur aja. Orang Minang yang lagi leyeh2 jualan tunjang di Ciamis atau Palangkaraya ya woles. Bahkan kalaupun tiba2 ada orang Papua masuk warungnya.

Sekali lagi, penggantian redaksional ini tidak akan men-sugarcoat kebiadaban yang sudah terjadi. Rasa sakit dan takut keluarga korban akan tetap sama. Ditulis seperti apapun, pelaku kejahatan tetap harus dihukum berat sesuai dengan peraturan.

Tetapi setidaknya, bisa lah kita, kalian, orang media tidak menyebarkan rasa takut ke tempat-tempat yang gaada sangkut pautnya. No one asking you to sugarcoat anything. But putting a nicer and wiser words in your passage matters a lot.

…..kecuali ya. Kecuali. Jika amarah dan rasa takut sebanyak mungkin pembaca itu lah yang memang menjadi TUJUAN dari ditulisnya si artikel.

J