Oct 26, 2020

Review Amba: Kobaran Romansa di Tengah Genangan "Merah"

Cover Amba (Indonesian & English version)

Novel Amba dibuka dengan seorang perempuan yang sekarat di rumah sakit kecil di Pulau Buru. Amba, perempuan yang ditusuk itu, ditemukan bersimbah darah di atas sebuah makam karena ditusuk oleh Mukaburung, istri sah pria yang dikubur. Ketika ia mengetahui bahwa Mukaburung, perempuan luar wilayah yang "dijual?" ke "kepala adat?" hendak diproses hukum, Amba bersikukuh untuk membebaskan perempuan itu. Di tengah-tengah debat kusir mereka dengan petugas polisi, seorang pendekar asli pulai bernama Manalisa muncul dan akhirnya membantu pembaca menjelaskan tentang kehidupan dr. Bhisma Rashad, lelaki yang dicari, selama di kamp tahanan politik PKI (tefaat) di Pulau Buru.

Bagian kedua bercerita mengenai flashback hidup Amba. Sebagai anak perempuan pertama, ia tumbuh dengan cerdas dan cekatan bersama dua adik kembarnya yang cantik. Lulus SMA, orang tuanya berniat menjodohkan Amba dengan Salwa, laki-laki baik-baik dan apolitis yang mereka temui di Yogyakarta. Namun, ketika Salwa harus dipindahtugaskan ke Surabaya dan Amba pergi ke Kediri untuk menjadi penerjemah, Amba bertemu dengan Bhisma Rashad, dokter lulusan Jerman yang akhirnya ia cintai. Kisruh politik antara PNI-NU-PKI membuat perjalanan cinta Amba semakin memanas, karena Bhisma ternyata banyak berhubungan dengan "orang-orang kiri". Ketika mereka sedang berada di sebuah acara haul (mengenang?) seorang tokoh kiri yang menghilang, tentara Republik datang memporak-porandakan acara, dan mereka terpisah selama 40 tahun bersama bayi yang dikandung Amba.

The beginning kicked off pretty convincingly, tetapi semakin ke belakang ternyata plotnya semakin didominasi oleh clusterfuck of emotional description of what the main character thought and feel. Bagi saya yang biasa baca novel yg fast-paced dan plot-driven, penulisan yang character driven ini terasa sangat membosankan. Ada banyak sekali detail-detail sentimentil dan emosional yang...mungkin memang dituliskan untuk mengajak pembaca untuk lebih memahami Amba. Niatnya baik, tetapi agak terlalu too-much-information buat otak saya, dan jujur ga bisa membuat saya semakin memahami ataupun relate ke tokoh Amba. Semacam, iya saya tahu Amba orangnya kuat dan akhirnya menemukan cinta, so what?

Bagian 3 hanya melanjutkan cerita bagian pertama, dimana Amba akhirnya memutuskan untuk bercerita kepada Samuel mengenai Bhisma, termasuk cerita mengenai kematiannya. Bagian 4 (this is the most boring section I swear, but take my opinion with a grain of salt) berisi tentang cerita langsung dari Bhisma, yang dituliskan dalam surat-suratnya kepada Amba yang tidak pernah ia kirimkan. Just pretty much the same version as the 3rd section, cuma beda point of view aja. Bagian 5, cuma fast forward dimana Samuel bertemu dengan anaknya Amba. Nothing special either, walaupun cukup berhasil menjadi ending yang manis.

Namun, saya tetap perlu memberi applause terhadap detail-detail sejarah "Pemberontakan PKI" sampai permulaan Orde Baru, yang disajikan secara natural sebagai setting cerita. Penulis menggambarkan dengan cukup real, betapa riuh dan mencekamnya perang saudara yang terjadi antara kubu PKI dengan kubu PNI-NU di beberapa kota (termasuk Kediri) di hari-hari terakhir sebelum kejadian G30SPKI, serta penyerangan-penyerangan yang dilakukan tentara beberapa hari setelah kejadian. "Simpatisan PKI" di buku ini diceritakan berakhir di Pulau Buru, dimana mereka dihukum kerja paksa ("dimanfaatkan") untuk membangun pulau, membuat sawah dan infrasturktur, dll, termasuk Bhisma.

Untuk novel yang diberi judul dengan sebuah nama orang seperti ini, sepertinya memang sudah benar untuk menuliskan setiap naik turun emosi yang dialami para tokoh, terutama Amba sebagai tokoh sentral. Pikiran manusia kan memang kompleks, jadi ya bisa dimengerti sih kalau para penulis banyak menggali konflik dari aspek tersebut. Saya aja yang kebetulan ga bisa appreciate keindahannya :D.
 
Agak TMI, ngomong-ngomong satu hal yang cukup menampar saya dari karakter Amba adalah, betapa ia benar-benar mandiri dan tahu apa yang dia inginkan. Ia nekad pergi ke Kediri untuk bekerja, sekalipun ia tahu bahwa tempat tersebut berbahaya. Ia tahu ia menginginkan Bhisma, walaupun ia sudah punya tunangan. Hal-hal kecil tersebut lumayan menyentil saya secara pribadi, karena sebagai perempuan yang mengaku mandiri, saya hanya duduk menunggu nasib, haha.

Oh iya, buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul "The Question of Red" dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
 

Rating: 3 / 5

mungkin bisa lebih kalau kalian suka bacaan yang character-driven

---
Get your ebooks here:

- Google Playbook: Indonesian version | English version

- Amazonbook (Kindle): English version

Oct 20, 2020

Artemis Fowl: A Textbook Mix between Mythology & Technology

Di umur saya yang sudah hampir kepala 3, saya masih suka baca novel fantasi action anak-anak. Di genre ini, topik cerita dan penggunaan bahasa yang relatif "safe" tidak membatasi kejeniusan para penulis buku untuk menghasilkan alur cerita yang tidak hanya kaya akan pelajaran, tetapi juga sarat action dan ketegangan. Cocok untuk saya yang cenderung konservatif, yang hanya berani untuk menikmati keseruan hidup dari mengamati.

Artemis Fowl memang jarang sekali dibicarakan di komunitas-komunitas buku. Mungkin karena memang sudah lewat peak-nya, alias sudah "basi". Buku ini pertama kali terbit tahun 2001, pas di tengah-tengah antara tahun penerbitan pertama serial Harry Potter dan Percy Jackson & the Olympians. Tetapi, saya ga merasa menyesal karena telat "nyemplung" ke serial ini. Walaupun serialnya sudah resmi berakhir 8 tahun yang lalu, tetapi topik dan gaya bercerita Eoin Colfer masih sangat bisa dinikmati di masa sekarang.

Artemis Fowl Series - all covers

Serial Artemis Fowl bercerita tentang seorang bocah jenius dan kaya raya 12 tahun asal Irlandia, Artemis Fowl the Second. Semenjak ayahnya, Artemis Fowl Senior, hilang dan ibunya mengalami shock hebat, pengurusan bisnis dan kekayaan keluarga Fowl akhirnya jatuh ke tangan si kecil Arty. Namun, ia sama sekali tidak mengalami kesulitan ataupun kebingungan dalam mengembangkan bisnis yang dirintis oleh leluhurnya. Di usianya, ia justru menemukan apa yang berpotensi membuatnya menjadi penguasa teknologi dunia: yaitu keberadaan The Lower Elements yang berisikan makhluk-makhluk non-human yang memiliki teknologi sangat maju. Ia telah mempelajari kehidupan di Lower Elements selama bertahun-tahun, hingga akhirnya pada di awal buku pertama ia berhasil menculik salah satu Elf, untuk kemudian merampas teknologi dan sihir yang mereka miliki. Buku pertama dari serial ini bercerita tentang bagaimana Arty dan kepolisian Lower Elements (Lower Elements Police Reconnaissance force - LEPRecon) saling adu strategi dan kepintaran demi kepentingan masing-masing.

Hal yang membuat saya tertarik adalah, bahwa di buku pertama, Arty sebagai tokoh utama justru digambarkan sebagai pihak yang jahat. Ia agak mengingatkan saya pada tokoh Ciel Phantomhive dari anime/manga Black Butler (Kuroshitsuji), dimana seorang bocah kepala keluarga ningrat digambarkan begitu dingin, tanpa ampun, dan kemampuannya melebihi orang-orang dewasa kebanyakan. Seperti Ciel, ia juga selalu ditemani oleh butler-merangkap-bodyguard, Butler (yes that's the name). Penokohan tokoh utama sebagai bad guy ini membuat konflik menjadi kompleks bahkan sebelum cerita dimulai. Secara alamiah kita kan pasti akan rooting for the main character, tetapi kenyataannya justru para tokoh antagonis lah yang menjadi pihak yang (secara hukum) benar.

Note: Arty masih menjadi pihak yang berseberangan dengan LEPRecon sampai dengan buku ke-4, namun mereka akhirnya bekerja di pihak yang sama mulai paruh kedua serial (buku 5-8). Secara pribadi, Arty jadi agak membosankan karena tidak lagi harus "gontok-gontokan" dengan Holly Short dan Julius Root. Tetapi munculnya musuh baru, Opal Koboi sang psychotic pixie yang harus mereka hadapi bersama, ternyata cukup memberi ketegangan pada buku, walaupun dengan warna dan mood yang berbeda. Secara objektif, keempat buku terakhir sebenarnya masih cukup solid karena diramu dengan story telling Eoin (baca: Owen) yang asyik, plot-based dan straightforward.

Selain itu, konsep dua dunia yang ditulis oleh Eoin juga menarik. Universe Artemis Fowl memungkinkan makhluk-makhluk mitologi seperti dwarves, elves, pixies sampai centaurs untuk hidup dan mensinergikan kekuatan magis yang mereka miliki dengan teknologi maju, tetapi tanpa meninggalkan related-ness dari hal-hal keduniawian yang kita miliki sekarang. Ini nih yang saya suka dari low fantasy / urban fantasy, karena memberi kita imajinasi yang tidak terbatas, tapi di saat yang bersamaan juga masih sangat relate dengan apa yang kita lihat di dunia nyata.


Book 1-4 rating: 4.2 / 5
 

Book 5-7 rating: 3.75 / 5
 

Book 8 rating: 4 / 5

 

 Review ini ditulis untuk keperluan dokumentasi komunitas Setor Baca Prakata batch II (14 September - 14 Oktober). Pendaftaran batch III bisa dicek di sini.

 

----

Get your ebook here:

Google Playbook: 

Book 1 | Book 2 | Book 3 | Book 4

Book 5 | Book 6 | Book 7 | Book 8

 

Amazon (kindle):

Book 1 | Book 2 | Book 3 | Book 4

Book 5 | Book 6 | Book 7 | Book 8

Oct 11, 2020

The Tower of Nero: A Wholesome Farewell to the Half-Gods Chronicles

Saya biasanya bisa gercep nulis review tentang suatu buku. Tapi ketika saya menyelesaikan buku Rick Riordan, otak saya rasanya buntu. Terutama saat ini, ketika buku terakhir Trials of Apollo sudah saya selesaikan, dan saya sudah resmi benar-benar berpisah dengan Camp Half-Blood Chronicles. Mengetahui petualangan saya bersama dewa-dewi menyebalkan akhirnya berakhir, hati ini rasanya kosong.

Anyway, setelah melewati berpuluh-puluh kali siklus bengong, mengetik, dan menghapus, akhirnya review ini jadi juga.

Mulai dari kesan saya terhadap keseluruhan serial aja, kali ya.

The Trials of Apollo


The Trials of Apollo - all covers

The Trials of Apollo bercerita tentang Apollo (dewa matahari, pemanah, musik, sastra, dan medis) yang dihukum Zeus karena salah seorang keturunannya, Octavian, berada di pihak yang salah ketika perang akhir dengan balatentara Gaia. Ia diturunkan sebagai Lester Papadopoulos, manusia 16 tahun dengan gelambir perut, jerawat hormonal, bau badan, dan (tentu saja) tanpa kekuatan dewa. Di tengah-tengah rasa frustrasinya bahwa ia berakhir menjadi pesuruh dari Meg, gadis aneh dua belas tahun, Lester menemukan bahwa kehidupan para pembaca, pemicu, dan penentu masa depan (Oracle) sedang di ambang krisis. Namun, sebelum ia bisa menyelamatkan Oracle paling berpengaruh yang disandera Python, mereka harus lebih dahulu mengalahkan tiga kaisar terbengis Romawi kuno yang berencana untuk mengambil alih dunia dari kekuasaan the Olympians.

Hal yang menurut saya menarik dari serial ini adalah, bagaimana Apollo sebagai the epitome of deities smug-ness dipaksa untuk merefleksikan dan merenungkan kembali bagaimana menyusahkannya ia selama menjadi dewa. Dengan segala keterbatasan sebagai mortal, ia tidak punya pilihan lain selain benar-benar berusaha menyelesaikan sendiri masalah di hadapannya. Ia belajar bagaimana caranya hidup saling menguatkan, bagaimana berbagi, dan bagaimana bertindak semata-mata karena hal tersebut berharga dan worth fighting (dying) for. Melalui lima buku The Trials of Apollo (TOA), Uncle Rick mengubah sifat Apollo yang sangat self-centered menjadi lebih "manusia".


"When you're a god again, remember. Remember what it's like to be human"

- Jason Grace, Trials of Apollo #3 - The Burning Maze-



TOA masih dirangkai oleh storytelling khas Om Rick yang ringan dan menyenangkan. Di buku ini tidak ada karakter sekuat dan se-sarkastis Percy, tetapi keberadaan Meg yang ceplas-ceplos dan bossy (in a cute twelvish-years old way) cukup mampu mengangkat mood cerita dan menyeimbangkan karakter Lester (Apollo) yang gloomy, depressed, and full of complaints. Heroes kesayangan fans dari dua seri Camp Half-Blood sebelumnya (the Argo II crews) juga dimunculkan lagi di serial ini sebagai cameo, sehingga lumayan membangkitkan nostalgia dan rasa sayang kepada tokoh-tokoh yang sudah mendampingi fans selama 5 (10) buku. Sepanjang serial ini, Uncle Rick juga masih menggunakan pakem lamanya dalam merangkai plot: to make his characters as miserable as possible.


The Tower of Nero


 

The Tower of Nero dibuka dengan perjalanan kereta Lester dan Meg ke New York, tempat dimana kastil milik kaisar Romawi terkuat, sekaligus orang tua angkat Meg, Nero, berada. Dengan bantuan Luguselwa, wali (guardian) Meg, mereka berencana memperdaya Nero dengan berpura-pura menyerahkan diri, untuk mengalihkan perhatian sang kaisar bengis dari rencananya meluluhlantakkan seisi kota New York dengan Greek fire. Di buku ini, Apollo dan Meg dibantu oleh Nico di Angelo, Will Solace dan penghuni kabin Apollo, serta Rachel Elizabeth Dare sang priestess of Delphi.

Seperti karya Rick Riordan lainnya, buku ini menumpahkan isinya dengan formula yang sama: you have a problem, here is the physical and emotional impact, you go solve it, congratulations, enjoy this next disaster! At this rate, I don't know if this constant is good or bad, considering the bar is soaring up high already from the very beginning. Saya udah terlanjur ngefans, sehingga saya malah kesulitan untuk menilai buku ini secara objektif.

Nevertheless, saya akan coba membahas buku ini dalam posisinya sebagai buku pamungkas dari serial yang sudah berjalan selama 15 tahun. 

Dalam 10 buku sebelumnya, fans sudah cukup banyak diperlihatkan betapa self-centerednya The Olympians. Di saat balatentara Titan Kronos berhasil dikalahkan melalui serial pertama, Gaia dikalahkan di serial kedua, somehow The Olympians masih tidak tersentuh. Padahal, sifat Kronos, Gaia, dan The Olympians sebenarnya tidak jauh berbeda. Hanya karena mereka berada di sisi main characters, bukan berarti mereka lebih mulia, bukan? Uncle Rick berusaha untuk membenarkan ke"tidak adil"an ini melalui empat buku TOA. Setelah melihat banyak pengorbanan dan kematian di empat buku sebelumnya, bagaimana Apollo menghadapi kaisar terbesar dan his final nemesis di buku ini?

Sebagai buku penutup, sebenarnya saya berharap bahwa this book, this WHOLE book, akan menjadi klimaks dari 15 tahun petualangan bersama Camp Half-Blood. Ekspektasi saya sangat tinggi karena 14 buku sebelumnya memang sebagus itu. The thing is, Uncle Rick menulis buku ini just like how he did in his previous 4 TOA Books. Not that it's bad. Sebenarnya buku ini bagus, dengan plot yang action-packed dan full of emotional scene. Tiap-tiap karakter juga mendapatkan peran yang kurang lebih seimbang, ga ada yang filler-filler banget (walaupun kalau yang ini sih mungkin karena hampir semua karakter udah saya kenal, sehingga kalaupun ternyata peran mereka minim, saya gak ngeh karena terkubur oleh nostalgia, haha). Cuma karena ini adalah buku pamungkas, I might have put an unnecessarily high expectation on this book.

Dee still have a ridiculous expectation toward her books -_-

 

But I guess it did well as a final 15-years running series? 

Apollo did keep his promise to the late Jason Grace. Apollo belajar bagaimana menjalani sisi terhormat manusia: menyelesaikan masalahnya sendiri, tidak menyerah sampai akhir, dan berani berkorban untuk orang-orang yang berharga. Ia belajar untuk percaya pada orang lain -in noble context of course. Character development yang benar-benar drastis oleh Apollo ini telah menutup perlakuan "injustice" menguntungkan yang diterima oleh The Olympians -- bahwa ternyata mereka juga tidak dibiarkan lepas begitu saja atas kesewenang-wenangan mereka kepada mortal. Setidaknya Apollo, sebagai representasi kehura-huraan Dewa-Dewi, pada akhirnya membayar semua perbuatannya dan berubah menjadi dewa yang -- setidaknya belajar.

Kronos? Checked
Gaia? Checked
The Olympians? Also checked


Pada akhirnya, Camp Half-Blood chronicles mengajarkan pada anak-anak untuk meniru sifat-sifat baik dari manusia:

Sally Blofis (nee Jackson): kasih sayang yang tidak membeda-bedakan

Percy Jackson: There's never a too much loyalties

Annabeth Chase: Kekuatan super sehebat apapun pada akhirnya akan bisa dikalahkan oleh kepala dingin dan strategi jitu

Leo Valdez: Happiness will find you in the end, if you stay alive. Just stay alive.

Piper McLean: kalian tetap bisa berpegang teguh pada apa yang kalian yakini, sekalipun kalian ga tahu apakah kalian berpegang pada kebenaran

Jason Grace: Live gracefully

Hazel Levesque: Sejatoh apapun kalian fucked up dan being fucked up in the past, kalian akan bisa bangkit kalau kalian menemukan orang yang tepat untuk berbagi cerita

Frank Zhang: Life to your fullest, meskipun hidupmu pendek


Reyna Avila Ramirez-Arellano: Life to the fullest, dan berani memilih jalan hidup yang baru

Nico di Angelo: (tau ah aku sayang banget sama nico mmmmwa)

Apollo: Sebangsat apapun kalian selama hidup, kalian selalu akan menemukan momen untuk belajar dan berubah


Rating: 4.5 / 5

Thank you for the awesome 15 years, Uncle Rick!!!!!

---

Get your ebook here:

- Google Playbook

- Amazon (Kindle)


Oct 7, 2020

Shine Bright like an Ice Princess!

Saya gatau apakah karena memang a big portion of follower litbase adalah Kpop fans, tetapi di minggu-minggu terakhir bulan September, hampir tiap hari ada yang nanyain "Ada yang PO Shine nya Jessica? Ada yang udah baca Shine nya Jessica? Drop review dong yang udah baca Shine nya Jessica". 

 


 
Let's start with who Jessica Jung is.

Jessica Jung adalah warga negara Amerika Serikat yang pernah menjadi member dari girl group Kpop terbesar di masanya, Girls Generation. Atau juga sering dikenal dengan brand Koreanya, SNSD (So-Nyeo-Shi-Dae, or es-en-es-di). Orang yang awam Kpop mungkin sekarang tahunya artis Kpop ya kalo engga BLACKPINK ya BTS (yang kedua ini boygroup, btw. And I ain't going to add EXO here because hiatus group technically aren't relevant. Here I said. Persetan dengan alasan SM abandoned them whatsoever). Tapi kalau yang sempat pernah nyemplung atau menikmati Kpop di tahun 2010-2012-an, pasti tahu Girls Generation. MV Gee mereka sempet meledak waktu itu. Saya mengalami sendiri bagaimana teman-teman saya di kampus mendadak menggilai sembilan orang perempuan cantik yang berjoget in colorful skinny jeans.

 



Singkat cerita, Jessica Jung ini keluar dari SNSD secara mendadak di tahun 2014. Berita keluarnya waktu itu bener-bener mendadak, karena 1) SNSD masih at the top waktu itu, dan 2) Berita keluarnya dirinya pertama kali diumumkan oleh yang bersangkutan sendiri di akun instagramnya (bukan oleh manajemennya), tepat sebelum SNSD melakukan fanmeeting ke China. Simpang siur dan teori-teori gila bermunculan selama berminggu-minggu, mencoba menganalisis kenapa Jessica mendadak meninggalkan grup sebesar SNSD. Anyway, pokoknya berita itu sempat membuat heboh satu Kpop industry.

SNSD sendiri (secara teknis) masih aktif sampai sekarang, walaupun rezim Kpop (girlgroup) sudah berpindah tahta ke Twice dan Blackpink. Walaupun sudah lewat peak-nya sebagai group, tetapi mereka masih punya cukup banyak fans, dan nama mereka masih sering diseret-seret oleh sesepuh edgy Kpop yang insist bahwa idol Kpop sekarang tidak sekeren idol Kpop jaman dulu. Pun, nama Jessica Jung masih cukup lekat di kepala banyak fans Kpop, walaupun ia sudah keluar dari grup yang membesarkan namanya enam tahun lalu.

Mungkin hal ini yang menyebabkan fans Kpop-sekaligus-bookish bolak-balik nanyain novel yang ditulis Jessica, padahal rilis saja belum.

Mungkin mereka penasaran, kira-kira bakal ada "teh" soal keluarnya dia dari SNSD ga ya?

Karena surprise, Jessica memang menulis novel tentang Kpop.

Anyway, mari kita bicara tentang novelnya itu sendiri.



Shine bercerita tentang pengalaman Rachel Kim, seorang Korean-American yang pindah ke Korea untuk menjadi trainee Kpop di sebuah manajemen Kpop ternama. Novel ini bercerita tentang bagaimana kerasnya kehidupan trainee di Korea Selatan, bagaimana setiap trainee harus bermandikan darah, keringat, dan air mata setiap hari selama bertahun-tahun untuk bisa dilirik oleh company executive sehingga layak untuk didebutkan menjadi artis. No slacking off, no mistakes, no scandal allowed, ever. Namun, di saat trainee yang lain berhenti sekolah untuk berlatih siang dan malam, Rachel somehow masih mampu melanjutkan sekolahnya dan hanya berlatih di DB Company pada akhir pekan. Perbedaan ini akhirnya memicu ketegangan di antara trainee, sehingga Rachel mendapatkan julukan sebagai "Ice Princess", dalam konotasi yang buruk.

That's pretty much what was there in this book. No tea whatsoever.

Tentu mengecewakan bagi fans yang sudah preorder dan mengharapkan ada pengakuan mengenai skandal keluarnya Jessica dari SNSD. Tapi mari kita lanjutkan pembahasan seolah-olah kita tidak peduli soal kenapa Jessica ditendang keluar.

Ada tiga tokoh penting di novel ini: Choo Mina -- seorang trainee anak pengusaha berpengaruh di Korea Selatan, Jason Lee -- member boygroup terkenal debutan DB Entertainment, dan Rachel sendiri. Plot novel sepanjang 242 halaman ini sebenarnya hanya berputar-putar di cerita Rachel, Rachel dan Jason, dan Choo Mina sebagai extra capsaicin yang sepertinya bersikukuh untuk membuat hidup Rachel menderita. Dengan gaya penulisan yang straightforward, saya merasa novel ini mirip dengan tipikal teenlit yang dulu sering saya baca di tahun 2004-an.

Plotnya cukup dangkal, terkesan hanya sekedar ber-progress dari satu adegan ke adegan lain. Selama saya membaca, saya cukup sering mengharapkan suatu plot akan ber-progress ke arah yang lebih intens, tetapi ternyata cerita berhenti begitu saja dan langsung lompat ke milestone selanjutnya. Jessica terlihat belum cukup baik dalam menggambarkan emosi yang tokohnya rasakan. Padahal, roller coaster mental yang dialami tokohnya sebenarnya sangat berpotensi untuk menguras emosi.

Dijebak rivalnya tepat di malam sebelum ia ujian?

Diultimatum Ibunya sendiri untuk keluar dari training jika ia tidak bisa debut sebelum tour manajemen?

Choo Mina, yang sepertinya masih belum menyerah untuk menjadikan Rachel sebagai kecoa yang harus segera dienyahkan?

Belum lagi ada Jason Lee, yang sempat-sempatnya menggodanya di saat ia tahu betul bahwa haram hukumnya bagi idol untuk berpacaran?


Bagi trainee Kpop, empat hal di atas tentu mimpi buruk. A huge enough disaster. Tetapi saya ga bisa merasakan kengerian itu dari kalimat-kalimat yang dituliskan Jessica di buku ini.

Kalau saya jadi Jessica, sepertinya saya akan fokuskan cerita saya pada persaingan Rachel dan Mina. 

Misalnya: Bagaimana Rachel harus memaksakan dirinya untuk training, mengambil risiko bolos sekolah tanpa diketahui Umma-nya karena tahu she would have no chance of debuting if she is not improved enough, particularly after the previous disastrous monthly appraisal

Lalu Umma-nya tiba-tiba mengetahui anaknya bolos sekolah, dan di saat yang bersamaan eksekutif DB juga menyalahkannya karena mereka tidak pernah menyuruhnya untuk bolos sekolah -- "DB tidak mendebutkan anak-anak yang hanya tahu mempercantik diri tetapi berotak kosong". 

Oh, dan Choo Mina tentu akan saya buat lebih psychotic dan kejam lagi, tidak hanya sekedar menggertak Rachel seperti anak kucing dan menjebaknya dua kali dengan cara yang menurut saya terlalu lembek untuk ukuran trainee yang desperate untuk debut. (kinda spoiler here) Mungkin saya akan membuatnya benar-benar berpacaran dengan Jason Lee, untuk semakin menegaskan bahwa "All is Fair in Love and Kpop, even if it means backstabbing your debut partner"

 
Sepertinya plot-plot semacam ini akan lebih membuat deg-degan, dan lebih menggambarkan brutalnya kehidupan trainee Kpop. At least jika dibandingkan dengan adegan "pacaran" Rachel dan Jason, yang mendapat porsi cukup banyak di novel.


But then again, saya bukan Jessica Jung, dan saya bukan editornya. Dan sebagai orang yang tidak pernah paham apa pentingnya romansa, jelas saya adalah penilai yang paling buruk untuk memberi skor pada penting-tidaknya pacaran ketika sedang menghadapi masalah sebesar Rachel Kim. Kalian yang sangat menghargai hubungan romantisme antara dua sejoli, mungkin akan memandang pacar-pacaran antara Rachel dan Jason ini dengan cara yang berbeda.

Namun, saya sebenarnya cukup menikmati membaca novel ini. Dengan gaya bercerita Jessica yang ringan dan plot yang enteng-enteng aja, justru saya malah merasa ter-relaksasi. Sebagai orang yang selalu memilih membaca novel yang plotnya "berat", membaca novel ini rasanya menyenangkan.

Overall, I can recommend this book to you kalau kalian ingin bacaan yang ringan untuk mengisi waktu luang atau mengisi post traumatizing book - induced reading slump. Tapi harap di-note bahwa Shine adalah novel fiksi, bukan autobiografi. Saya lihat tokoh Rachel memiliki banyak sekali kesamaan dengan the real-life (on cam) Jessica Jung, sehingga akan sangat mudah bagi pembaca (khususnya Kpop fans) untuk mengasosiasikannya sebagai cerminan diri Jessica sendiri sebagai eks-SNSD, lalu berharap bahwa buku ini akan mengungkap kebenaran mengenai kejadian G30SNSD. No, there was no such things. Ini buku tentang Rachel Kim, bukan tentang Jessica Jung.




Rating: 3 / 5 (please do not expect any SNSD-related revelation)

----
Get your ebook here:

- Google Playbook (UK)

- Google Playbook (US) 

- Amazon book (kindle)



Oct 1, 2020

The Jacatra Secret: Dan Brown Series KW-3

Saya baca semua buku Dan Brown. Saya senang mengetahui ada penulis lokal yang bisa menyamai intensitas karya beliau (E.S. Ito: Review 1 | Review 2). Dan begitu seseorang di komunitas litbase mention ke saya tentang buku ini, tanpa pikir panjang saya langsung check out buku ini dari marketplace.


The Jacatra Secret adalah novel karangan Rizki Ridyasmara yang bercerita tentang pembunuhan seorang laki-laki berusia 66 tahun yang terjadi di depan Museum Fatahillah. Di saat-saat terakhir hidupnya, ia menuliskan dying message dengan tinta darah, sebuah anagram yang ditujukan kepada orang yang ia percaya.

AS AT DUTCH


Sementara itu, John Whitemaker Grant, seorang warga Amerika Serikat pakar bahasa simbol yang sedang diundang dalam acara pertemuan penikmat teori konspirasi di Jakarta, dikabari bahwa salah seorang tokoh penting telah dibunuh di depan Museum Fatahilah. Ia segera datang ke TKP dengan niat membantu penyelidikan, namun kemudian menemukan bahwa korban telah menuliskan sebuah pesan yang seharusnya tidak diketahui Polisi.

Plot bergulir dimana Grant dan Angelina akhirnya memutuskan untuk memecahkan kasus ini sendiri, tanpa bantuan polisi Jakarta (yang menurut mereka malas). Grant sebagai ahli simbologi akhirnya bercerita panjang lebar mengenai bagaimana kota Jakarta memiliki banyak sekali bangunan dengan unsur simbol Freemason. Ia juga menceritakan sejarah-sejarah terkait, yang menunjukkan bahwa Grant memang the very person you'd ask about Jakartan symbology.

Tidak perlu waktu lama buat saya untuk menyimpulkan bahwa buku ini adalah rip-off dari serial Dan Brown. Dari penokohan sampai detail pembunuhan pertama, semua mirip sekali dengan The Da Vinci Code. Bagaimana penulis membagi chapter dalam bukunya menjadi beberapa kejadian yang nantinya saling terhubung, juga mirip (walaupun kalau ini sih, banyak banget buku yang menggunakan pendekatan sama). Bahkan bagaimana Professor Sudrajat dibunuh untuk memperoleh informasi mengenai suatu benda pun, sangat mirip dengan bagaimana curator Jacques Sauniere ditembak mati oleh Silas. 

Pesan kematian berupa anagram yang ditinggalkan? Oh, sama persis. Cuma beda huruf-hurufnya.

Selama membolak-balikkan halaman, saya dibanjiri dengan informasi sejarah gedung-gedung di Jakarta, termasuk konspirasi di baliknya (yang berhubungan dengan Freemason). Dari sejarah VOC, sejarah freemason, sampai bagaimana mafia Berkeley berkonspirasi merusak Indonesia, semua tumpah ruah dikeluarkan di sini. Secara pribadi, informasi yang dituliskan di buku ini sebenarnya tidak banyak yang baru. Soalnya saya sudah pernah membaca novel lain tentang topik-topik tersebut. Freemasonry saya dapatkan dari The Lost Symbol. Sejarah bangunan di Jakarta (Monas) saya dapatkan dari Rahasia Meede. Sedikit topik dewa-dewi? Rick Riordan series juga saya sudah khatam.

This book could've turned great, walaupun informasinya ga baru lagi (terutama kalau kalian belum baca Dan Brown atau Rick Riordan). Masalahnya, penulis memasukkan kejadian sejarah ke novel ini tidak sebagai pendukung atau latar belakang cerita, tetapi sebagai clusterfucks of historical (conspiratory) events. Di beberapa bagian, saya hampir merasa tidak sedang membaca novel misteri, tetapi sedang membaca buku teks sejarah. Interaksi antar tokoh sangat minim, bahkan purpose dari sejarah yang dituliskan terhadap actual plot juga sering kali tidak jelas -- karena part "sejarah"nya terlalu panjang. Saya sampai lupa bahwa Professor Grant sekarang sedang memecahkan kasus, bukan sedang mengajar di kelas.

The remaining novel parts are also written subparly. Benar-benar ala kadarnya, terkesan seperti sekedar ada untuk penyela antara history-vomit satu menuju lainnya. Sayang banget, plot cerita seberat dan seintens ini harus ditulis dengan gaya penulisan seperti aktris sinetron yang dipaksa menyelipkan kalimat promosi product placement di sela-sela dialog mereka.

Penyampaian sejarah sangat didominasi oleh male lead, sehingga female lead terkesan ga ngerti apa-apa (padahal diceritakan dia sedang mengambil tesis di kepolisian, seharusnya dia bisa berpartisipasi terhadap setidaknya seperlima dari total seluruh paragraf sejarah, kan?). Sekedar referensi, Robert Langdon dan Sophie Neveu di Da Vinci Code, dan dengan Katherine Solomon di The Lost Symbol, masing-masing berbagi input dalam segala informasi "wow" yang muncul di dalam buku.

Selain itu, dari sedikit tokoh yang dimasukkan ke dalam cerita, sebagian besar dari mereka malah kehadirannya tidak terlalu diperlukan. Ada dua tokoh wartawan yang muncul, tetapi kehadiran mereka benar-benar tidak membawa value ke dalam cerita. Okay ada wartawan, so what? Jika kita mengacu pada gaya penulisan Dan Brown, atau E.S. Ito untuk versi lokalnya, mereka pasti akan menambahkan peran kepada wartawan-wartawan kaliber tinggi ini. Misalnya berpartisipasi dalam mempertemukan polisi reserse dengan main character. Or worse, membantu pelaku pembunuhan untuk kabur dari kejaran polisi karena mereka tanpa sadar telah mengganggu proses penyelidikan.

Saya sempat googling review buku ini. Banyak pembaca yang kecewa mengenai tokoh utama yang adalah orang asing. Saya sendiri ga masalah dengan hal tersebut (apa salahnya WNA memahami sejarah bangsa kita, kan? Toh sejarah itu terhubung melintasi wilayah dan periode). Namun, dengan cara penulis mengembangkan plot, saya setuju bahwa akan lebih cocok jika male lead adalah warga lokal. Selain kefasihan berbahasa Indonesia yang agak di luar normal, bagaimana ia luwes sekali menyetir di Jakarta (setir kanan, ngebut di jalan semrawut dan rumit?) rasanya agak tidak match dengan latar belakangnya sebagai pengajar di George Washington University.

Saya aware bahwa untuk menulis karya dengan detail multidisiplin seperti ini membutuhkan banyak sekali penelitian. Saya apresiasi kerja keras penulis, afterall ga ada yang salah dengan meniru storytelling penulis besar. Sebab bagaimanapun, eksekusi tiap penulis juga akan berbeda sehingga in the end, buku tersebut akan tetap spesial. However, sadly it left out the very part where a book able to captivate its reader: the book 'soul'.  Bagaimana plot diaduk-aduk agar sulit ditebak, bagaimana tokoh-tokoh di dalamnya menemui perkembangan yang mengejutkan, maupun ending yang dibuat spesial. Sayang banget saya ga bisa menemukan ketiga hal tersebut di karya ini. Saya sudah baca banyak karya yang endingnya menggantung, tapi tidak dengan plot se"lugu" ini.

Buku ini menjadi cloning dari karya Dan Brown, tetapi sayangnya ia hanya sebatas clone: raga tanpa jiwa. Daripada ditulis dalam bentuk novel, saya sepertinya akan lebih setuju kalau buku ini dibuat sebagai kumpulan teori konspirasi saja.

Final disclaimer: saya sudah membaca banyak buku Dan Brown, so I just cannot help comparing this book against some unrealistic benchmark. Namun, jika kalian sama sekali belum pernah membaca karya beliau, bisa jadi kalian akan menilai buku ini dari sudut pandang yang berbeda. Apalagi kalau kalian sebenarnya suka baca fakta sejarah atau teori konspirasi.

Recommended?

No, kalau kalian mengharapkan akan menemui cerita sekeren The Da VInci Code
Yes, kalau kalian cuma pengen mengincar simbologi bangunan Jakartanya

 

Quick review:

History part          : 4.5 / 5
Novel part            : just bad
Overall rating       : 2.5 / 5

 

------

Get your ebooks here:

- Google Playbook