Dec 31, 2020

The Majesties: Both "Crazy Rich Asians" and "NOT Crazy Rich Asians"

Some random people on booktwt referred me this book, highlighting about South East Asian and Chinese-Indonesian representation.

Iseng cek goodreads, it got a bad rating. 3.33 out of 5.

Di awal-awal saya masih berprasangka baik dan tetep cari bukunya. Saya pikir, mungkin mereka ga dapet konteks budayanya. Kalau bicara Chinese-Indonesian past, pasti otak saya nangkepnya ke tragedi 1997-an, sehingga orang-orang bule mungkin ga dapet betapa mengerikannya kondisi saat itu. Bagi orang keturunan Tionghoa di Indonesia, khususnya.
 


 

I read my first page and I kinda understand why people rate it low.

Dua paragraf pertama sebenarnya menarik. Narrator sekaligus tokoh utama, Gwendolyn, menceritakan bahwa saudara perempuan (kembar?)nya, Estella baru saja membunuh 300 orang sekaligus, termasuk dirinya sebagai satu-satunya korban selamat. Dengan starting point seperti ini, saya langsung asumsikan bahwa buku ini adalah buku crime, thriller, atau setidaknya ada bagian serunya lah. Membunuh 300 orang sekaligus bukan perkara sepele, bukan? Bahkan William James Moriarty aja akhirnya suicidal sendiri. (This Moriarty, not this Moriarty)

Tapi ternyata memang butuh ketangguhan hati dan kesabaran ekstra untuk membaca lembar demi lembar buku ini. Apalagi untuk orang yang biasa dengan plot yang tek-tek-tek dan jelas arahnya. Kisah kehidupan Gwendolyn dan Estella sebagai salah satu keturunan klan taipan Indonesia keturunan Chinese, Sulinado, ternyata dituliskan secara detail. Agak terlalu detail, sehingga saya lumayan bingung apa hubungannya penjabaran Opa mereka yang menikah lagi, lalu pernikahan Estella dengan pewaris klan taipan Angsono yang kurang harmonis, dengan alasan kenapa Estella membantai seluruh orang-orang yang hadir di pesta. Lalu, kenapa Tante Sandra terus-terusan disebut dan dicari-cari sampai ke Amerika? Serta yang paling mendasar: apa hubungan semua penjabaran tersebut dan ilustrasi kupu-kupu yang sering muncul, dengan judul novel ini sendiri, The Majesties?
 


 
Untungnya, di akhir cerita, penulis menghubungkan semua cerita menjadi satu kesimpulan. Di dua bab terakhir ini, pembaca baru bisa mulai menyambungkan semua kejadian-kejadian yang muncul di sekian ratus halaman sebelumnya menjadi satu gagasan, pemahaman yang solid. "oalah..jadi gitu".

Latar dan detail cerita sebenarnya cukup akurat, sehingga menunjukkan bahwa penulis, Tiffany Tsao benar-benar memahami kehidupan konglomerat Chinese-Indonesian. Cara tokoh cerita memanggil keluarga -- "Om, Tante, Oma, Opa" membuat cerita sangat terasa lokal, bagi saya yang memang seumur hidup cuma mentok di Indonesia (not sure apakah detail ini matters buat pembaca internasional -- mengingat buku ini dipasarkan untuk mereka). 

Plot-plot kecil yang muncul sebenarnya cukup dramatis, apalagi jika pembaca memang pernah mengalami hal-hal tersebut sendiri (berumah tangga dengan keluarga patriarkis toxic, sementara keluarga sendiri malah tutup mata). Bahkan, secara keseluruhan pun sebenarnya ceritanya menarik kok. Kesimpulan akhir yang dituliskan oleh Tiffany Tsao cukup mengejutkan, apalagi ketika sampai di bab dimana Tante Sandra membuka rahasianya. 

Namun, permasalahan mendasar yang membuat saya harus setengah mati menyelesaikan buku ini adalah karena storytelling-nya sangat lemah. Pembaca benar-benar harus "disuapin" untuk bisa mencerna implikasi plot-plot yang terjadi terhadap para tokohnya -- "Oh, jadi Estella merasa begitu. Oh, jadi dampak kejadian ini ke Gwendolyn tuh kaya gitu". Padahal, bukankah story telling yang bagus adalah yang membuat pembaca bisa menyimpulkan, bahkan berempati sendiri terhadap tokoh-tokoh di buku yang mereka baca? Readers are best motivated when they come to the decision or realization themselves, afterall. 

Refer to this: 7 Essential Tips For Writers Who Hope To Engage Millions Of Readers

Setelah saya baca ulang lagi paragraf pertama buku ini, sebenarnya memang buku ini cuma berkisah tentang bagaimana Gwendolyn mencoba memahami tindakan saudarinya, sih. Jadi, ga bisa disalahkan juga kalau plot yang muncul bakalan terasa seperti the whole clusterfuck of random dramas. Cuma kalau format ceritanya agak dipercantik lagi, pasti pengalaman membacanya akan berbeda. 

Kalaupun mengubah story telling ga memungkinkan, sedikit tweak di bagian editing seperti pemberian diberi time stamp di awal bab, atau setidaknya judul bab yang menghighlight poin yang diceritakan di part tersebut, pasti akan sangat membantu.

Misalnya dibuat seperti ini, biar jelas part cerita tersebut lagi pas kapan

Atau outright di-highlight seperti ini di judul bab, biar pembaca bisa nangkep bagian ini lagi bahas apa

Oiya, untuk pendapat yang membandingkan buku ini dengan trilogi Crazy Rich Asians, saya bisa bilang bahwa perbandingan tersebut tidak fair -- cenderung misleading bahkan. Benang merah yang membuat kedua cerita ini mirip cuma tokoh-tokohnya yang sama-sama orang kaya keturunan China, tetapi selebihnya tidak bisa dibandingkan sama sekali. Kita ga bisa menyandingkan dan memilih mana yang terbaik antara Sherlock Holmes dengan Harry Potter, hanya karena kedua main characternya sama-sama orang London, kan?


Rating: 3.00 / 5.00


----
Get your own ebook here:
- Google Playbook

Dec 27, 2020

Malice: A Review of "Pure" Ill-Feeling

An ambitious reading challenge once again brought me to writing book review. Kali ini saya memilih karya penulis Jepang Higashino Keigo yang berjudul Malice. Hate, hostility, 悪意 (Akui). Tadinya saya memilih buku ini karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, saya baca buku Akeyoshi Rikako cuma dalam waktu tiga jam, jadi seharusnya yang ini juga bisa lah kelar dalam sehari. 

(Oh, in case you want to check my short review on that book, bisa baca di sini ya)

The challenge is this:

 

A baseless assumption -- saya bahkan ga memilih pengarang yang sama -- tetapi saya berhasil menyelesaikan buku ini dalam satu hari. Setengah hari bahkan, karena saya baru mulai sekitar jam 2 siang dan selesai jam 9 malam. Sudah dipotong dengan nyetrika, masak makan malam dsb dsb.

Karena Malice ini memang keren.


 


Novel genre mystery-criminal ini bercerita tentang seorang novelis, Nonoguchi Osamu yang tiba-tiba menemukan rekannya sesama penulis, sekaligus temannya sejak SMP -- meninggal dunia di rumahnya. Hidaka Kunihiko ditemukan meninggal hanya dua jam setelah ia menelepon, dengan bekas jeratan kabel telepon di leher dan luka benturan di kepala. Kasus ini akhirnya ditangani oleh detektif Kaga Kyoichiro, yang dulu pernah menjadi rekan Nonoguchi ketika sama-sama menjadi guru SMP.

Sebagai penulis, Nonoguchi sangat kooperatif selama penyelidikan. Ia menuliskan kejadian ketika pembunuhan terjadi secara terperinci, yang ternyata sangat membantu proses penyelidikan. Namun, detektif Kaga menemukan beberapa hal yang ganjil dari kesaksian Nonoguchi, sehingga membuatnya kemudian bersikeras untuk memeriksa apartemen sang penulis. Bukti-bukti yang terkumpul menunjukkan bahwa Nonoguchi adalah tersangka utama, dan ia pun digelandang ke kantor kepolisian untuk diinterogasi. Di tengah proses penyelidikan, tiba-tiba penyakit kanker Nonoguchi kambuh dan dokter menyatakan bahwa kemungkinan Nonoguchi akan bertahan hanya lima puluh persen...

May contain spoiler -- maybe not.

Kasus pembunuhannya sendiri sebenarnya terpecahkan dengan cepat -- selesai di bab kelima dari sembilan bagian. Alur yang lumayan cepat ini cukup membuat pengalaman membaca saya jadi menyenangkan, karena saya ga dipusingkan oleh detail-detail cerita yang ga penting. Bagaimana detektif Kaga menyibak kebenaran dari kesaksian palsu tersangka membuat penyelesaian kasus menjadi penuh kejutan dan anti mainstream. Case closed!

...

....だよねー?*

Namun, dengan masih adanya sepertiga bagian buku yang masih menanti untuk dibuka, saya jadi penasaran, apa lagi sih yang akan diungkap? Dilihat dari judulnya, saya sempat suuzon, mengira bahwa isinya cuma flashback-flashback ga penting seperti bab 4 di novel Amba (check this review out for reference). Tetapi saya tetep hajar aja, karena toh penulisannya menyenangkan dan ga bertele-tele. Pengungkapan masa lalu orang-orang yang terlibat dalam kasus dituliskan dengan pas, full of strong details tapi tidak overwhelming. Somehow, pencarian ini malah memunculkan banyak tanda tanya baru. 

I'd say that this is such a smart way to constantly engage us readers. It does feel like Higashino-sensei is trying to say: "You think you're done? Nope b!tch you ain't dropping this book until the very end."

Dan, pencarian kebenaran dari masa lalu dalam empat bab ternyata tidak sia-sia. Tepat di bab akhir, kebenaran final akhirnya diungkap. Dengan plot twist yang menurut saya... spektakuler. Not in a sense that it fvcked your mind up, but punching at just the right area. Just like a nice layer of soft cheese on top of a chiffon cheesecake.

Novel ini sukses membuka mata saya akan pesona novel misteri karangan penulis Jepang. Memang saya baru baca dua bijik, tetapi kesan yang saya dapet sudah sangat positif. Tulisan mereka seolah ga mengijinkan pembaca untuk bosan. Adaa aja kejutan yang muncul selama membaca. Apalagi saya yang memang semacam alergi sama novel-novel character-driven, gaya tulisan dua penulis Jepang ini memang "gue-banget". Ga menye-menye, ga perlu emosi-emosi yang ga perlu (saya memang orangnya cenderung robot dan stoic sih wkwk).

I really feel like reading a particularly difficult Detective Conan case. In a really good way.

 

Rating: 4 / 5


*) dayo ne, terjemahan: ....kan? Ekspresi keragu-raguan/mengkonfirmasi ulang

 

--

Get your ebook here:

- Google Playbook  

- Amazon book (Kindle)

Girls in the Dark: Dee's Personal Introduction to the Mindblowing Rashomon Style

Buku-buku karya penulis Jepang Akiyoshi Rikako sudah bolak-balik di-hype di literarybase. Jadi seharusnya saya bisa put the tiniest bit of expectation to her writing. Afterall, this piece is turned out to be a good book anyone can enjoy.

Mungkin karena saya baca buku terjemahan Indonesia, tetapi saya berhasil baca buku ini hanya dalam waktu kurang dari tiga jam.

Dan dua jam saya ternyata tidak terbuang percuma, yay!

 


Cerita dalam Girls in the Dark (judul asli: Ankoku Joshi) dibuka dengan narasi dari ketua baru klub sastra yang membuka sesi pembacaan cerita mereka. 

Tema pertemuan kali ini adalah ingatan para anggota mengenai mendiang ketua klub sebelumnya yang bernama Shiraishi Itsumi, yang ditemukan meninggal setelah terjatuh dari atap sekolah. Cerita langsung bergulir ke pembaca pertama, dimana ia mengakui bahwa salah seorang dari anggota klub tersebut pernah terlibat masalah besar dengan Itsumi, yang membuat Itsumi ketakutan.  Baru saja kita dihebohkan dengan tuduhan serius tersebut, di bab selanjutnya kita disuguhkan "kebenaran" versi pembaca kedua, yang tidak hanya menyangkal hampir seluruh tuduhan pembaca pertama, tetapi mengklaim bahwa anggota lainnya lah yang membunuh sang mantan ketua. 

Mungkin karena memang ini adalah kali pertama saya membaca buku dengan gaya story telling rashomon, jadi semuanya serba positif. Rasanya menyenangkan aja membaca cara bercerita yang beda dari novel-novel misteri yang sudah saya baca sebelumnya. Setiap bab nya penuh kejutan, "hah kok bisa testimoni dari dia beda banget gitu". Saya kagetan di dua bab pertama, karena begitu saya udah ngerti polanya, saya tinggal menikmati "kegilaan" yang muncul aja. Apanya sih yang bakal beda, bagaimana pembaca berikutnya menuliskan tuduhan yang pasti akan...menarik. Semacam itulah. 

But apparently this kind of writing udah lumayan umum di dunia sastra, sehingga saya mungkin akan lebih objektif lagi menilai ketika saya membaca karya seperti ini dengan topik atau dari penulis yang lain. Yang jelas, pengalaman saya membaca this very book sangat menyenangkan. Page-turner, full of surprise, predictable tetapi tidak membosankan. Saya sempat baca ulasan di goodreads bahwa buku ini ga sebagus buku Akiyoshi-sensei yang lain. Apparently not even the best rashomon novel. Which is... good? Berarti saya bisa expect buku-buku lain yang lebih menyenangkan dari penulis atau genre ini, hehe.
 

Spoiler garis keras

Setelah dua tiga bab, saya kurang lebih sudah bisa menangkap pola dari tuduhan-tuduhan yang akan dilontarkan (hanya tinggal menunggu tuduhan macam apa yang akan muncul). Sepanjang membaca kelima testimoni, saya menyadari bahwa kelima anggota sama sekali tidak pernah mengarahkan tuduhan kepada sang ketua baru. Saya langsung punya firasat, jangan-jangan ketua barunya ini yang sebenernya jadi pelakunya...

Spoiler garis keras pake garis bawah: I was right. Tapi TIDAK dengan cara selugu yang saya kira.

Tebakan saya bener, tapi saya ga ngerasa puas, karena ajhgjyfajemirjxehnra I was not exactly correct? T_T 

Double twist begini memang khasnya rashomon kah? Atau memang novel misteri Jepang khasnya seperti ini?

Dec 4, 2020

Dee's 4 Sport Manga Pick: Short Reviews

Oke ngaku. Maksudnya empat manga olahraga yang saya baca. Emang cuma empat bijik ini doang so far yang saya sanggup selesaikan, heheh.

Di akhir 2020, saya lagi-lagi keranjingan baca manga. Sempet ikut reading club di bulan September, ternyata saya ga tahan sama tuntutannya untuk tiap hari setor jumlah halaman buku yang dibaca (cuma 10 halaman per hari sih, tapi ternyata saya bener-bener ga suka diatur-atur untuk hobi hahah). Buat pelampiasan, akhirnya saya balik ke manga dan anime.

Akhir-akhir ini saya lagi balik lagi ke sport manga. Bagi saya, genre ini adalah salah satu genre yang paling pas, dimana saya bisa dapet hampir semua hal yang saya butuhkan dari suatu bacaan visual. Visual dapet, plot dapet, drama dapet, thrill dan deg-degan juga dapet. Kadang-kadang bahkan dapet bonus ilmu-ilmu baru seputar olahraga tersebut. Saya ga terlalu banyak ngikutin manga (atau anime), tetapi genre sport ini adalah genre yang lumayan banyak saya ikutin. Yes, empat ini udah lumayan banyak karena waktu saya memang habis buat catch up Detective Conan yang jumlah serinya udah lebih banyak dari halaman Al Quran.

1. Kuroko no Basket (Kuroko's Basketball)

By: Fujimaki Tadatoshi



General premise

Serial ini menceritakan tentang Kuroko Tetsuya, siswa kelas satu SMA Seirin yang pernah bersekolah dan berada di satu tim bersama lima pemain basket terhebat SMP yang dijuluki "The Generation of Miracles". Sebagai tim SMP terbaik, anak-anak berbakat ini langsung menjadi rival satu sama lainnya ketika mereka tidak lagi melanjutkan ke SMA yang sama. Sebagai "anggota bayangan", kemampuan Kuroko adalah bermain basket tanpa terlihat, sehingga sangat berguna untuk mengecoh lawan dan membuatnya bebas bergerak dan mengoper bola. Namun, kemampuan bermainnya sendiri tidak seberapa jika dibandingkan Generation of Miracles yang lainnya: Kise Ryota yang mampu meniru setiap gerakan lawan, Midorima Shintarou yang memiliki tembakan sempurna, maupun Aomine Daiki yang memiliki keliaran dan kekuatan yang tidak bisa ditebak. Di Seirin, ia bertemu dengan Kagami Taiga, siswa dari Amerika yang memiliki bakat alami dalam permainan basket. Bersama Kagami, Kuroko bertekad bekerja sama dengannya sebagai "cahaya dan bayangan", untuk memenuhi janjinya kepada mantan rekan-rekan setimnya di "generasi keajaiban".

Plot & conflict build-up

Plot cerita difokuskan pada bagaimana setiap anggota Generation of Miracles bertanding dan menghancurkan satu sama lain, dengan fokus tentu saja banyak ditujukan pada Kuroko dan pertarungannya di SMA Seirin. Memahami kekuatan lawan tidak membuat pertarungan menjadi mudah, karena setiap orang pun pasti akan semakin berkembang dari apa yang telah mereka perlihatkan di SMP dan memiliki rekan setim yang tidak bisa dikatakan lemah. Apalagi kemampuan Kuroko memang bukan untuk bertanding satu lawan satu dengan monster-monster basket itu. Tantangan dan konflik seperti ini cukup banyak mewarnai emosi setiap pertandingan.

Kuroko sendiri memang digambarkan kecil dan lemah, sehingga pembaca seolah dibuat sulit untuk percaya bahwa si kecil Kuroko akan mempu melawan rekan-rekan SMPnya. Keterbatasan-keterbatasan lead characters ini lah yang membuat cerita menjadi seru, karena pembaca tahu betul betapa impossible nya pertandingan yang mereka hadapi. Deg-degannya sangat terasa, karena adaa saja kemampuan, trik, dan super power yang ditunjukkan oleh anak-anak tersebut.

Practical knowledge

Well, manga ini memang memasukkan unsur fantasi dimana ada beberapa "super power" yang agak terlalu ndakik dan sepertinya ga perlu-perlu amat dimasukkan ke dalam sport manga. Tapi kalau dipikir-pikir, beberapa super power tersebut sebenarnya bisa dilogika dan mungkin-mungkin aja beneran kejadian di dunia nyata. Kemampuan menembak super akurat Midorima misalnya, menurut saya sangat mungkin kalau pemain punya tangan super kuat, latihan super gila, dan rekan setimnya yang ketat ngejagain semua member tim lawan.



Kalau memang kalian paham basket, sepertinya lumayan banyak insight dan pola permainan yang bisa diambil dari manga ini. Sayangnya saya sama sekali ga ngerti basket, sehingga saya cenderung iya-iya aja sama super power, trik, dan pola permainan yang dimunculkan di panel manga. Memang tidak ada panel yang khusus untuk menunjukkan step-by-step atau penjelasan rinci mengenai tiap-tiap informasi, tetapi kalau menyimak dengan benar, sepertinya banyak hal yang bisa dicontek.


Art work

Art-wise, sebenarnya biasa aja. Ga ada pemain yang benar-benar ikemen, tapi juga tidak shonen-shonen amat. Cuma saya agak sering bingung membedakan wajah antar pemain, karena raut wajah semua tokoh hampir mirip apalagi kalau sedang bertanding. Semua seragam, berwajah serius, dan keringatan hehe.

Overall score: 4 / 5



2. Prince of Tennis (Tenisu no Oujisama)

By: Konomi Takeshi

Saya tertarik sama manga ini karena temen SMA saya dulu sempet tergila-gila sama manga ini. Saya lihat sekilas memang artworknya bagus, dan tokohnya ganteng-ganteng. Masalahnya, standar saya sekarang sudah bukan lagi tokoh ganteng, tetapi juga bagaimana kontribusi dari aspek lainnya.

General premise

Serial ini menceritakan tentang Echizen Ryoma, pemain jenius yang menjuarai Kejuaraan junior US yang pindah ke SMP Seishun di Jepang. Memasuki SMP dengan tim tenis terbaik, ia harus membuktikan bahwa ia layak menjadi regular team yang mewakili sekolah dalam pertandingan. Sebagai satu-satunya anak kelas satu, ia harus melawan monster-monster tenis SMP yang sudah lebih dahulu bergabung sebagai tim inti. Begitu bergabung, ia dan senpainya akan berjuang untuk mencapai kejuaraan nasional.

Plot & conflict build-up

Selain arc Ryoma di awal untuk masuk ke regular team, fokus  cerita sebagian besar berpusat pada perjuangan Seigaku (Seishun gakuen) team untuk menuju kejuaraan nasional. Mereka harus melewati kualifikasi district yang dipenuhi oleh team-team kuat. Masalahnya, dengan sekian banyak geniuses flocking in one single team yang memang sudah kuat dari dulu, apa iya bakalan kalah? Hal inilah yang bikin tension, urgency dan desperation tim untuk menang nyaris ga ada. Like, lawan mereka ntar kuat, ya udah. Ga ada background cerita seperti bagaimana track record Seigaku melawan mereka, apa tim mereka pernah punya pengalaman traumatis melawan mereka.

Hal yang menarik paling ketika kita masuk ke satu-satu pertandingannya. Ketika super power tim Seigaku dipertemukan dengan lawan yang punya super power yang lebih hebat (which was pretty much everyone -- kalau misalnya ada 100 karakter, ya ada 100 super power juga), di situlah mulai muncul ketegangan. Masalahnya, hampir ga pernah ada emosi yang muncul di setiap pertandingan kecuali di beberapa match yang pemainnya punya background story. Ketegangan yang muncul mostly ada di penentuan siapa yang menang dan siapa yang kalah, but that's it.

Saya ga pernah ngerti what it means bagi Seigaku kalau mereka kalah di tahap ini, karena mereka bahkan sama sekali ga pernah terlihat desperate untuk menang. Ga ada tekad dan janji yang dibuat dengan rival mereka untuk menambah drama atau semangat, karena tim Seigaku isinya pemain kuat semua. Saya selalu dapet feel kalaupun mereka kehilangan suatu match ya santai aja, toh ada Ryoma or Tezuka yang selalu bisa diandalkan untuk menang.

The ending though, ugh. It's like Konomi-sensei was trying to add "real" conflict, real drama, dan real challenge in last minute biar ceritanya tidak datar. Tapi jujur, ending seperti itu malah merusak mood yang udah terbangun dari 41 volume sebelumnya.

Practical knowledge

I would say di manga ini sebenarnya 80% super power, 15% strategi, dan 5% informasi teknis. Sepanjang manga berlangsung, sulit sekali untuk menemukan insight-insight mengenai permainan tenis. Bagaimana masing-masing pemain mengalahkan lawan sepertinya lebih mirip seperti pertandingan Pokemon atau Yu-Gi-Oh daripada olahraga. Di saat pemain satu menggunakan tenis dengan mata tertutup, pemain lainnya menggunakan kekuatan super yang bisa membuat pemain terpental keluar dalam posisi tersalib. Am I really reading sport manga?

Art work

This part is what've been keeping me from dropping the first season. Art work nya harus diakui memang top-class. Full of ikemens, bahkan tokoh yang dibuat wild dan gila juga masih sangat attractive.



TMI but my personal favorite is Kunimitsu Tezuka, kapten tim Seigaku. He was benched more than he's playing, but his charm sold. Me. Out. I don't even care how ridiculous his power is, his manga face is that GOOD.

Overall score: 2.75 / 5


Manga ini masih berlanjut ke sekuelnya yang berjudul The New Prince of Tennis (Shin-Tenisu no Oujisama), yang bercerita tentang perjuangan Ryoma cs untuk menjadi p
emain perwakilan Timnas Jepang. Sayangnya, karena masih menggunakan pola yang sama dengan season 1, dan no more Tezuka saya akhirnya drop manga ini.


3. Haikyuu!
By:Furudate Haruichi

Haikyuu! adalah salah satu manga/anime yang lagi in banget beberapa tahun belakangan. Manga bola voli ini bener-bener hyped, fandomnya sangat aktif, and not without good reasons.


General premise

Tokoh utama manga Haikyuu adalah Hinata Shouyou, lulusan SMP pinggiran yang menjadi satu-satunya anggota klub bola voli. Selama SMP, ia hanya memiliki satu pertandingan, yang sialnya harus melawan SMP terkuat. Ia bertekad untuk mengalahkan setter genius yang mengalahkannya di satu-satunya pertandingannya tersebut, raja lapangan yang bernama Kageyama Tobio. Ambisi tersebut hancur ketika ia menemukan bahwa Tobio ternyata malah masuk di SMA yang sama dengannya di SMA Karasuno. Karena kecintaannya kepada permainan voli, ia meredam ambisi tersebut dan bekerja sama dengan sang tirani lapangan sebagai satu tim, untuk membawa tim-yang-dulunya-kuat kembali ke masa jayanya dan bertanding di Kejuaraan Nasional.

Plot & conflict build-up

Pembaca sudah disodorkan drama antara Shouyou dan Tobio right from the beginning. Shouyou yang desperate untuk bertanding dan menang bertemu dengan Tobio yang jenius namun misunderstood. Namun, demi kebaikan tim, Shouyou akhirnya menelan egonya dan bekerja sama dengan archnemesisnya sebagai satu kesatuan. Bakat tossing Tobio akhirnya mampu memaksimalkan fisik dan kemampuan Shouyou yang serba kurang: pendek dan tidak pernah latihan dengan proper. Bersama senpai dan dua anak kelas satu lainnya, mereka bertekad membangkitkan kembali kejayaan tim SMA Karasuno dan bertanding di kejuaraan nasional. 

Konflik dengan tim lain di lapangan itu, jelas. Tapi di antaranya, Furudate-sensei juga menuliskan struggle internal yang dialami masing-masing karakter dan bagaimana mereka akhirnya berhasil melewatinya dan menjadi lebih baik. Misalnya Sugawara Koushi yang harus menelan egonya sebagai main setter dan digantikan Tobio. Ada juga Tsukishima Kei yang datar dan tanpa ambisi walaupun dikaruniai tinggi badan yang ideal, serta sang Ace Azumane Asahi yang kehilangan keberanian dan kepercayaan diri. Tidak hanya berfokus pada Karasuno, author juga menunjukkan bagaimana tim lawan juga memiliki struggle masing-masing, misalnya Oikawa Tooru dari SMA Aobajousai yang insecure terhadap si jenius Tobio.

Karena Karasuno sejak awal memang di-set sebagai tim yang biasa-biasa saja, perasaan desperate Karasuno untuk menang sangat terasa di seluruh pertandingan. Perjalanan tim pun tidak dibuat mulus dan miraculous, karena mereka tidak diceritakan langsung sukses di turnamen pertama. Bagaimana tim Karasuno menerjang batas untuk mencapai kemampuan yang lebih tinggi semua diceritakan. Kalah-menang antar tim dibuat realistis, bahwa tim yang biasa-biasa saja memang tidak bisa otomatis mengalahkan tim kuat hanya karena memiliki satu senjata, tekad yang kuat, dan kemauan untuk menang. Sebab, tim yang kuat pun ingin menang, bukan?

Yang menarik adalah walaupun Shouyou dan Tobio bermain sebagai satu tim di hampir seluruh manga, tetapi Furudate-sensei masih ngejagain Shoyou's initial oath untuk mengalahkan Tobio. Di ending manga, Shouyou akhirnya berkesempatan untuk bertanding melawan Tobio sebagai lawan yang setara. Begitu pula dengan sumpah-sumpah yang diucapkan oleh karakter lain, seperti Tooru yang akhirnya kembali bertanding melawan Ushijima Wakatoshi, janji Miya Atsumu untuk memberikan toss ke Shouyou, dan Hoshiumi Korai yang akhirnya bertanding melawan Shouyou. I hope this ain't too much as a spoiler? :D

Long story short, Haikyuu! ini mengambil strategi pengembangan plot yang mirip dengan Kuroko no Basket, cuma beda di tiga hal:

1. Eksekusi dalam plot -- Haikyuu sedikit lebih dekat dengan realita permainan, even the geniuses masih diterima akal sehat

2. Dinamika di partai klimaks -- challenge Kuroko di KnB sedikit lebih menegangkan di partai puncak, sedangkan yg dialami Shouyou di HQ lumayan setara dari awal sampai akhir

3. Polesan ending 

-- Kuroko team agak diselamatkan oleh main character-priviledge untuk menang sehingga jatohnya klise, walaupun perjalanan menuju klisenya itu deg2an setengahmati 

-- Karasuno bener-bener ga dapet plot armor whatsoever dari author


Le tim biasa-biasa aja

 >> punya harapan dari anak baru 

>> tim mulai bangkit

 >> ditampar realita 

>> Coba di kesempatan kedua 

>> REACH THEIR GOAL YEAY


Practical knowledge

Mungkin karena saya dulu pernah main voli, jadi saya dapet banyak sekali insight permainan voli dari manga ini. Dari teknik serve, pola permainan dan serangan, bahkan jenis-jenis step sebelum melakukan spike. Furudate-sensei tidak pelit dalam menggambarkan step-by-step teknikal tersebut. Hal ini memang membuat pertandingan jadi panjang sekali (bisa habis satu volume hanya untuk satu match)

Art work

Art work di manga ini memang bukan jadi salah satu nilai jual utama, karena visual yang dihasilkan ya biasa-biasa saja (walaupun ilustrasinya tetap bisa menyampaikan alur, emosi, maupun intensitas pertandingan dengan baik). Tapi anime nya lumayan sih, penggambaran karakter-karakternya slightly lebih rapih dan ganteng dibandingkan di manga :D

Overall score: 4.5 / 5


 

4. Hikaru no Go (Hotta Yumi & Obata Takeshi)

Satu-satunya sport manga non-permainan lapangan yang saya selesaikan. Jujur saya mulai baca ini karena keracunan temen saya pas jaman SMP dulu. Saya bahkan tadinya ga paham apa itu "go".

General premise

Manga ini bercerita tentang Shindo Hikaru, anak kelas 6 SD yang tidak sengaja terjun ke dunia permainan go (permainan adu strategi untuk mengklaim wilayah di papan -- disebut juga dengan baduk di Korea atau weiqi di China). Ketika tanpa sengaja ia dirasuki oleh roh pemain Go jaman periode Heian, Fujiwara no Sai, ia akhirnya terseret untuk memfasilitasi mimpi Sai mencapai "The Hand of God" di dunia Go. Dengan bimbingan Sai, Shindo memulai langkah pertamanya di dunia Go dan bertanding dengan pemain muda terbaik Jepang, Touya Akira. Ia akhirnya terjun ke dunia profesional sambil menggali gaya permainan dan kemampuannya sendiri, di luar instruksi Sai.

Plot & conflict build-up

Bagaimana main character literally "kecemplung" ke dunia Go aja udah bikin plot jadi menarik dan beda. Dari minat dan passion Hikaru yang nol, betapa geregetannya Akira melihat orang yang pegang biji Go aja ga becus kok bisa bermain dengan cerdas, serta struggle Hikaru yang belakangan muncul antara harus mengikuti mimpi Sai atau mencari jalannya sendiri. Konflik emosi seperti ini lumayan mewarnai perjalanan dan ketegangan permainan demi permainan yang dilakukan Hikaru, sehingga every single games terasa meaningful.

Character development ga banyak terjadi, selain pada Hikaru sendiri yang memang jadi main character. Dari anak yang whatever sama permainan Go, akhirnya berani berjalan sendiri dan menemukan permainan yang "Hikaru banget".

Practical knowledge

Ketika saya klaim bahwa saya ga bisa extract insight dari Kuroko no Basket karena saya buta basket, hal yang sama kejadian lagi di manga ini. Bahkan lebih parah, karena saya jelas gatau movement mana yang cerdas dan mana yang biasa aja, mana yang salah dan mana yang benar. Saya bahkan ga pernah ngerti mana yang menang mana yang kalah (cuma sebatas konsep, pokoknya yang menguasai area lebih banyak itu yang menang), jadi saya baru bisa tepuk tangan kalo memang HIkaru terlihat menang. Ikut bangga aja gitu, walaupun ga paham.

Art work

Art work di manga ini remind me of Death Note (lol cross that wong ilustratornya satu orang). Though for real, penggambaran karakternya lumayan androginis untuk ukuran manga yang rilis tahun 1999 dimana konsep gender-fluidity masih asing (sumpah dulu saya kira Akira dan Sai itu cewek). 


Overall score: 3.75 / 5


When I said Tenipuri have bad ending, I could say Hikaru no Go also have closing as awful as Tenipuri is. Final challenge di Tenipuri sangat terlihat dipaksakan, sementara di Hikaru no Go, endingnya ini sendiri yang dipaksakan. It make us wondering whether author sama illustratornya ada konflik, karena final match nya bener-bener finished abruptly gitu loh. Sayang banget sebenarnya, padahal masih banyak banget poin dari cerita yang bisa digali dan butuh dijawab.


Next on my list: Slam Dunk!

Ini memang manga shonen klasik banget, dari gambarnya aja udah kelihatan bahwa manga ini bukan difokuskan untuk menggaet fans cewek, even untuk ukuran manga yang pertama rilis tahun 1990. Sekedar ilustrasi, manga/anime yang rilis tahun sekitar tahun segitu ada Saint Seiya (1986-1989), Itazura na Kiss (1990-1999), dan Sailor Moon (1991-1997). 


But somehow, this is the legend. Dedengkotnya sport manga yang semua orang tahu. Jadi ya why not jumping into, kan? (Walaupun panjang banget sih ini)





Dec 1, 2020

My Personal Detective Conan Movie Rank - Part 1

Stantwt Detective Conan baru aja dihebohkan dengan teaser movie 24 yang baru saja keluar. Akun twitter @conan_movie merilis 7 set teaser bertuliskan angka. Wajar fans langsung heboh dan berspekulasi, karena movie yang berfokus pada The Akais ini memang seharusnya dirilis tahun ini (tapi batal karena the stupid koronce).

Detective Conan movie 24: The Scarlet Bullet


Movie 24 teaser 1 & 2 (link teaser 1) (link teaser 2)

Movie 24 teaser 3 & 4 (link teaser 3) (link teaser 4) 
Movie 24 teaser 5 & 6 (link teaser 5) (link teaser 6)

Movie 24 teaser 7: R - E - L - O - A - D (link teaser 7)

 

Sambil menunggu movie Akai rilis bulan April mendatang, aku mau review ulang semua movie Detective Conan yang sudah rilis. Detective Conan movie ini tadinya dibuat sebagai ending dari anime Detective Conan di tahun 1997, namun karena somehow seriesnya memanjang to decades, akhirnya dibuatlah movie special yang dirilis setahun sekali.

Disclaimer:
Aku mau buat by my personal rank, starting dari least favorite to my ultimate loml. Will be full of bias obviously, jadi selera saya mungkin beda dengan selera yang lain. Biar masing-masing bagian ga kepanjangan, review flashback ini akan dipecah menjadi 4 part


Note: List ini terbatas pada anime film only, dan ga termasuk: Special TV film, Detco crossover movies, maupun live action movies.


Ranking: 17-23


23. DCM 16 - The Eleventh Striker (2012)


Hidup detektif (dewa kematian?) memang berat. Baru sebentar ia bersenang-senang karena dipuji Higo-senshuu, diajari tendangan bebas oleh Endo-senshuu, dan menonton pertandingan Liga J antara Tokyo Spirit dan Big Osaka, tiba-tiba ia mendapatkan pesan suara dari Ran, bahwa Kogoro mendapat telepon aneh mengenai ancaman bom yang akan meledak tepat pukul 15.30. Conan menyimpulkan bahwa bom dipasang di papan skor pertandingan yang sedang ia tonton. Masalahnya, bagaimana ia menyelamatkan puluhan ribu orang dalam waktu kurang dari setengah pertandingan?

Walaupun ada dua ancaman bom dengan skala yang tidak main-main, but no, I didn't feel any thrill from this movie. Saya ga mendapatkan the urgency of the case, regardless the potential casualties it make. The best part is when Sanada when he got the burden of saving thousands of supporters with his kicks. Dan some uwu parts ketika Conan sedang fanboying dengan pemain profesional J-League yang hebat. Selebihnya? meh.

22. DCM 21 - The Crimson Love Letter (2017)


Ketika latihan untuk turnamen kartu Karuta berakhir dengan meledaknya gedung stasiun TV, Heiji yang terjebak harus menyelamatkan dua orang. Untung saja Conan segera datang dan membantu mereka. Heiji, Kazuha, dan Mikiko selamat, namun akhirnya malah Conan yang terjebak di tengah reruntuhan dan api. Typical. But in the end, mereka selamat walaupun sempat membuat geger penonton.

Kasus pembunuhan berantai yang harus dipecahkan Conan dan Heiji berpusat pada pertandingan Karuta, dimana orang-orang yang berhubungan dengan turnamen menerima pesan aneh berupa gambar kartu Karuta dan meninggal beberapa lama kemudian. Ancaman tersebut juga sampai pada Ouka Momiji, gadis kaya asal Kyoto yang mengklaim bahwa Heiji telah mengajaknya menikah. Heiji dan Conan berpacu dengan waktu untuk menggagalkan pembunuhan terakhir, serta menyelamatkan Kazuha yang ikut terseret dalam arus pembunuhan berantai ini karena mencapai babak final turnamen.

I swear, I love Heiji. But the case, the action, and the suspense just aint it. Though I do love the ending theme (and the hilarious ending scene) so much.

21. DCM 11 - Jolly Roger in the Deep Azure (2007)


Kogoro dkk mendapatkan tiket liburan ke Pulau Koumi. Walaupun ternyata mereka tidak berhasil menginap di hotel mewah, namun mereka masih bisa bersenang-senang. Kogoro mencari bar, Detective Kids mengikuti games pencarian harta, sementara Ran dan Sonoko diving.  

Somehow movie ini paling banyak divoting sebagai seri yang paling membosankan dari ke-23 movie yang sudah tayang. Saya ngerti sih kenapa fans pada kecewa: the real case baru muncul setelah film berjalan setengah jalan. Sebelumnya, fans cuma diperlihatkan Detective Kids yang berusaha memecahkan permainan mencari harta. Tidak ada bahaya yang benar-benar mengancam siapapun di cerita, at least sampai Ran dan Sonoko akhirnya diculik oleh pemburu harta di sepertiga akhir film.


20. DCM 18 - Dimensional Sniper (2014)


Conan squad tengah melihat pemandangan kota Tokyo dari salah satu mahakarya Suzuki Group, Bell Tree Tower ketika seorang tour guide tiba-tiba ditembak mati dari kejauhan. Dari tempat ia menembak, sang sniper meninggalkan dadu warna biru yang menunjukkan angka 4. Pengejaran Conan nyaris gagal, kalau tidak dibantu oleh Sera Masumi yang tiba-tiba muncul. Ketika mereka berdua terdesak, Jodie Starling dan Andre Camel dari FBI tiba-tiba muncul.

FBI mencurigai dalang penembakan Fujinami adalah Timothy Hunter, sniper terbaik SEAL yang terbuang. Ia kehilangan medali Silver Star dan melakukan kesalahan di medan perang, sehingga ia kehilangan harta, keluarga, dan kini hidup menyendiri di Seattle dengan kondisi PTSD. Setelah Fujinami, tiga orang yang dicurigai akan menjadi korban penembakan berikutnya juga berada di Jepang, sehingga kepolisian Tokyo akhirnya bekerja sama dengan FBI menyelidiki kasus ini. Menyadari beratnya kasus yang harus mereka pecahkan, Jodie dan Andre teringat saran yang pernah dikatakan oleh (almarhum?) Akai Shuichi.

The whole case is quite thrilling, tetapi somehow eksekusinya agak kurang nendang. The only time saya merasakan deg-degan adalah ketika (spoiler) Sera terkena tembakan di tengah-tengah film, tetapi selanjutnya saya merasa datar-datar saja menonton ini. Oh, there are surprise at the very end of the movie, tapi tetap saja tidak cukup untuk menaikkan mood film yang sudah terlanjur datar selama hampir dua jam.

19. DCM 14 - The Lost Ship in the Sky (2010)



Film dimulai dengan aksi terorisme dari kelompok yang disangka musnah sepuluh tahun lalu, Gerombolan Siam Merah. Mereka menghancurkan sebuah lembaga penelitian yang sedang meneliti senjata biologis. Di tengah kekhawatiran akan menyebarnya virus tersebut, ternyata miliuner Jirokichi Suzuki juga mengirimkan surat tantangan kepada Kaito Kid untuk mencuri permata "Lady Sky" di pesawat zeppelin milik Suzuki corp. Namun, ternyata penyamaran Kid ketahuan oleh Ran, sehingga Kaito Kid terpaksa mengaku bahwa ia adalah Shinichi.

Di tengah perjalanan, kelompok teroris menelepon dan mengklaim bahwa mereka sudah menyebarkan virus ke seisi pesawat. Sementara korban terinfeksi satu persatu mulai berjatuhan, Conan menyadari bahwa ada ancaman lain yang sedang mengincar mereka semua: bom teroris. Saat berusaha mematikan bom yang terpasang, Conan ketahuan dan dilempar ke luar pesawat.

Bagaimana Conan menyelamatkan semua orang di pesawat (dan seluruh penduduk Nara yang berisiko terinfeksi virus dari pesawat yang meledak) jadi poin seru dari film ini.

Or it should've been be.

Walaupun memang ada plot twist (dua btw) di belakang, tetapi thrillnya cuma sekedar "errrr gitu doang?". Premise di depannya udah menegangkan, sayang eksekusi endingnya agak-agak flat sih.

18. DCM 4 - Captured in Her Eyes (2000)



Kasus pembunuhan beruntun terhadap penyidik kepolisian membuat suasana acara resepsi pernikahan adik Inspektur Shiratori di Hotel Beika Sun Plaza jadi menegangkan. Sebagian besar tamu undangan hadir dalam suasana penuh kecurigaan, karena mungkin saja mereka menjadi sasaran pembunuhan berikutnya. Benar saja, di tengah acara, Penyidik Satou Miwako tertembak di jantung ketika ia sedang berada di kamar kecil. Ran yang saat itu kebetulan bersamanya di toilet shock dan kehilangan ingatannya.

Penyelidikan mengerucut pada kasus yang dihentikan penyelidikannya lima tahun lalu. Ketiga penyidik yang menjadi korban ternyata adalah tim yang bertugas untuk menyelidiki sebuah. Namun, Inspektur Tomonaki yang memimpin pengintaian tiba-tiba pingsan karena serangan jantung dan meninggal saat dioperasi. Penyelidikan kasus pun dihentikan karena ternyata tersangka adalah putra petinggi kepolisian.

Kasusnya sebenarnya b aja, tapi jadi terasa lebih menegangkan karena yang hidupnya berada dalam bahaya adalah salah satu main character, Ran. Selain harus menangkap pelaku pembunuhan, Conan harus melindungi Ran dari si pelaku serta berusaha mengembalikan ingatan Ran.



17. DCM 2 - The Fourtenth Target (1998)

 


Ran yang sempat terbangun dari mimpi buruk tentang Ibunya hanya sempat merasakan ketenangan sejenak, karena Kogoro lagi-lagi mengacaukan makan malam keluarga mereka dengan jelalatan ke arah wanita cantik. Eri yang masuk kantor dengan perasaan kesal akhirnya luluh ketika ia menerima kiriman cokelat Zigoba kesukaannya yang dulu sering diberikan oleh Kogoro. Sempat mengira bahwa cokelat tersebut adalah pemberian suaminya, ia menemukan bahwa cokelat tersebut ternyata sudah diberi racun, sehingga ia harus dilarikan ke rumah sakit. Kejadian tersebut ternyata terjadi tidak lama setelah beberapa waktu sebelumnya, Inspektur Megure juga masuk rumah sakit karena dipanah orang tak dikenal ketika berjoging.

Tak lama kemudian, Profesor Agasa juga menjadi korban penyerangan. Conan kemudian menyadari bahwa tiga penyerangan beruntun ternyata dilakukan dengan urutan permainan kartu, dari Inspektur Megure yang mewakili nomor 13, Eri yang mawakili Queen, dan Professor Agasa yang mewakili 11. Inspektur Megure menyimpulkan bahwa kejadian ini mungkin adalah ulah dari Jou Murakami, narapidana kasus pembunuhan yang dendam karena Kogoro lah yang menyebabkannya masuk penjara. Ran kemudian teringat kembali kejadian sepuluh tahun lalu, yang membuat Kogoro keluar dari kepolisian dan Eri akhirnya pergi meninggalkan rumah mereka.

Dengan perpaduan antara dua karya besar Agatha Christie (ABC murder & And Then There Were None), film ini termasuk yang hampir full-pemecahan kasus, seperti kasus biasa yang dipanjangkan. Kalau di film-film yang lebih baru biasanya kita disuguhkan 60% kasus - 40% action tambahan di luar kasus (yang biasanya malah lebih seru), kali ini action-action yang muncul pure berasal dari proses dan hal-hal di sekitar pemecahan kasus.







Nov 3, 2020

Dee's Hunger Games Review

TW: Violence, blood, murder, mental manipulation, mental trauma

Pengalaman saya membaca buku dengan setting high-fantasy sangat bisa dihitung jari. Sepertinya ini baru judul keempat yang saya mulai, setelah Divergent, Maze Runner, dan Illuminae. Lagi-lagi saya telat sekian tahun untuk nyemplung ke satu "fandom". Tahun 2020 udah mau selesai baru review The Hunger Games? :"D

The Hunger Games Trilogy - cover


Saya memulai membaca serial ini tanpa ekspektasi sama sekali. Yang ternyata berbuah manis, karena serial ini ternyata memang worth the hype. Dari tema buku sendiri sudah menarik, walaupun ga jauh-jauh beda dari dystopian fantasy novel yang sudah pernah saya baca. Story telling cukup plot-based, walaupun ternyata tidak menjamin bahwa perkembangan plot tidak dragged -- setidaknya di akhir trilogi.


Book 1 - The Hunger Games


Buku pertama bertajuk The Hunger Games, ternyata cukup page-turner bagi saya. Tanpa banyak ba bi bu, halaman pertama langsung menceritakan tentang reaping day, dimana warga District yang cukup umur diundi untuk menjadi peserta, tribute, dalam permainan bertahan hidup tahunan (annual survival show) yang diselenggarakan oleh Capitol, The Hunger Games. Katniss Everdeen dan Gale Hawthorne, keduanya sudah cukup umur untuk mengikuti permainan, bahkan memiliki peluang lebih besar karena mereka telah mendaftarkan diri untuk menambah lotre yang mereka miliki di dalam undian sebagai bayaran atas sedikit bantuan pangan (tesserae).

Against all odds, akhirnya terpilih dua tributes dari District 12: Katniss Everdeen dan Peeta Mellark. Keduanya tidak pernah saling mengenal kecuali satu waktu dimana Peeta melemparkan roti yang hangus ke arah Katniss yang kelaparan. Namun, mereka akhirnya harus menjalani kisah cinta settingan untuk mendapatkan sponsor dan advantages yang akan sangat menguntungkan mereka ketika permainan berlangsung. Masalahnya, hanya ada satu pemenang, dan Katniss telah berjanji pada Prim, adiknya yang hampir terpilih menjadi tribute, untuk memenangkan pertarungan ini...

Alur di buku ini tergolong cepat, ga banyak emotional drama. Konten emosional yang muncul hanya berupa penjabaran wajar mengenai bagaimana sih, perasaan orang yang baru saja menyerahkan diri untuk menjadi peserta survival show. Bagaimana konflik batin yang dihadapi Katniss ketika ia harus berpura-pura saling jatuh cinta di saat ia pada akhirnya harus membunuh "pacar"nya agar bisa pulang. Juga bagaimana "rekan"nya harus terbunuh ketika sedang menjalankan sebuah misi jebakan, yang ternyata berbalik menyerang mereka sendiri.

Perkembangan romance di buku ini ditulis dengan tidak biasa. Kisah kasih Katniss dan Peeta dibangun dari kepura-puraan dan keputusasaan, tetapi somehow masih make sense karena memang nyawa mereka sedang menjadi taruhannya. Namun, unsur action (dengan sedikit violence, gore, blood, hence above TW) nya masih cukup dominan, sehingga sangat menyenangkan dibaca bagi anti-romance seperti saya. Emosi yang dihadapi Katniss, dari hampa, terkejut, pasrah, nothing to lose, sampai "jatuh" cinta, semua dituliskan dengan pas, tidak overpower dan overdrag alur cerita.

Ending memang dituliskan agak "menggantung". Tetapi untuk ukuran buku yang dituliskan dalam trilogi, penutup cerita seperti ini cukup memberikan porsi yang seimbang antara finality of first adventure, dengan continuation to next part of the story.

Rating: 4 / 5



Book 2 - Catching Fire


Note: You might want to skip this review if you haven't read with the preceding book, The Hunger Games


Setelah memenangkan The Hunger Games ke-74, Katniss dan Peeta kembali ke hidup mereka sebelumnya: tanpa romansa, tanpa interaksi selain yang benar-benar diperlukan. Tidak ada yang benar-benar berubah dari hidup mereka sebelumnya, selain kekayaan dan kehormatan yang mereka terima sebagai pemenang, serta trauma batin yang kini tertanam di dalam diri mereka.

Namun, diam-diam kemenangan mereka telah memicu benih revolusi di hati para warga Distrik. Bagaimana Katniss dan Peeta memberontak Gamemakers di akhir permainan dengan mengancam bunuh diri dengan berry beracun, telah meyakinkan warga Panem bahwa mereka pun bisa melakukan perlawanan atas dominasi dan tirani Capitol yang telah berjalan selama ini. Burung mockingjay, simbol yang digunakan Katniss selama permainan, akhirnya menjelma menjadi simbol pemberontakan. Presiden Coriolanus Snow tahu akan perkembangan ini, dan mengancam Katniss untuk "bekerja sama", jika ingin orang-orang yang disayanginya selamat: dua anggota keluarganya yang tersisa, dan Gale Hawthorne.

Katniss akhirnya bertekad untuk mendukung pemberontakan warga District 12, dengan risiko melepaskan statusnya sebagai pemenang dan kembali membahayakan orang-orang terdekatnya. Namun, Capitol ternyata semakin mengencangkan pengawasan mereka terhadap semua Districts, dan tiba-tiba saja mereka menetapkan bahwa peserta The Hunger Games ke-75 akan diambil dari para pemenang Hunger Games. Katniss kembali terpilih, sedangkan Peeta akhirnya mengajukan diri menggantikan Haymitch Abernathy, pemenang Hunger Games ke-50 dan mentor mereka yang namanya sempat terpilih.

Saya agak pesimistis ketika pertama kali membaca buku ke-2 ini. Bagian awal cerita penuh dengan struggle Katniss untuk memilih antara Gale atau Peeta. Konflik internal Katniss ini memang bisa diartikan sebagai dilema antara 2 hal: masa depan yang aman vs mencapai cinta sejati, dan antara Capitol vs District 12. Tetapi pendekatan yang diambil terasa agak menye-menye dan didominasi oleh struggle internal. Cukup kontras jika dibandingkan dengan Buku pertama yang sangat straightforward, less emotional drama.

However, dari dragged emotional sommersault di bagian pertama, kita bisa menggali banyak di balik dilema-dilema yang dialami Katniss. Struggle yang terjadi di masa-masa awal pemberontakan, power play antara Capitol dengan District. Bagaimana tahap awal dari pemberontakan mulai terpicu, dan bagaimana penguasa bertekad untuk menggunakan segala cara untuk menunjukkan bahwa keadilan hanya layak diatur oleh penguasa. Serta bagaimana struggle pelaku terhadap pemberontakan itu sendiri,apakah memang ini yang mereka inginkan?

Ketika Capitol akhirnya memutuskan bahwa para pemenang game harus menjalani kembali proses reaping dan bermain dalam Hunger Games berikutnya, otak saya langsung "THIS IS IT! INI BARU HUNGER GAMES!"

The Hunger Games 2.0. akhirnya baru dimulai pada paruh kedua buku. Pretty much mirip-mirip seperti pada Hunger Games di buku 1. Karena para peserta sudah mulai berumur, adegan bunuh-bunuhan antar peserta tidak seintens Hunger Games sebelumnya. Namun, yang membuat buku kedua ini terasa berbeda adalah, bagaimana Katniss dan Peeta mulai memasukkan agenda pribadi masing-masing ke dalam motivasi mereka untuk menang: Peeta ingin Katniss selamat, begitu pula Katniss yang merasa inilah saatnya untuk membalas semua pengorbanan yang dilakukan Peeta selama Hunger Games ke-74, sekaligus membayar kesalahannya pada Peeta. Konflik batin yang sudah dibangun sejak awal permainan ini cukup memberi tambahan ketegangan, yang syukurnya tidak sampai membuat perkembangan the 75th Hunger Games itself jadi dragged.

(Yah, setidaknya bagian ininya cukup oke, walaupun keseluruhan buku sebenarnya sudah dragged di awal)

For those strong enough to read until the end, ada surprise di akhir cerita. A good plot twist, which make it ideal to dwell to the third book right away.

Rating: 3.8 / 5


Book 3 - Mockingjay


Note: You might want to skip this review if you haven't read with the preceding book, Catching Fire



Buku kedua ditutup dengan revealance bahwa banyak victors dan official The Hunger Games ternyata adalah bagian dari rencana pemberontakan terhadap Capitol. Katniss berhasil diselamatkan, namun Peeta masih disandera oleh Capitol. Katniss dibawa ke District 13 yang ternyata selama ini masih berjalan independen, karena Capitol telah menghancurkan District 12 menjadi abu. Ia menjalani pengobatan atas luka fisik dan mental yang ia derita, setelah dua tahun berturut-turut terjun dalam arena permainan hidup mati.

Namun, rencana pemberontakan tetap berjalan, dan Katniss akhirnya harus berperan sebagai "wajah" dari pemberontakan. Ia kembali harus bekerja dengan Haymitch, meskipun dalam suasana ketidakpercayaan dan kekecewaan karena Haymitch lagi-lagi berbohong kepadanya tentang Peeta. Kali ini Katniss harus bertindak sebagai face of the rebellion, berkeliling dari satu distrik ke distrik lainnya untuk mendulang dukungan dan membuat video propaganda. Ia bahkan tidak ikut berperang, namun wajahnya muncul dimana-mana. 

Konflik batin Katniss semakin pelik ketika akhirnya Capitol menyiarkan video counter-propos, dimana Peeta secara terbuka meminta Katniss dan kubu pemberontak untuk menghentikan serangan. 

Kemudian muncul pertanyaan, sampai kapan ia harus bertindak hanya sebagai wajah, face dari pemberontakan, tanpa punya kesempatan untuk menghabisi Presiden Snow yang telah menghancurkan hidup keluarganya? 

Ia juga kembali harus memilih, apakah ia benar-benar harus melakukan semua ini dan mengorbankan banyak orang yang tidak bersalah? 

Lalu, apakah mereka akan membiarkan Peeta ditahan dan entah diapakan, sementara "kekasih"nya memimpin pemberontakan? 

Gale or Peeta?


Untuk cerita yang menjanjikan pemberontakan di awal (dan akhir buku 2), the actual rebel actually didn't even start until the last third of the book. Most of the book 3 actually told us about rebellion preparation, which barely counted as one karena bolak-balik isinya hanya syuting, Katniss mikirin Peeta, betapa Katniss dan her fellow victors are struggling, and how she think she's DONE with Peeta. Semakin kita membolak-balik halaman buku, cerita yang ditampilkan memang semakin menegangkan. Namun, walaupun saya jelas ga bisa katakan bahwa buku ini jelek (with all that twists and turns? definitely not ugly), tapi jujur saya merasa agak tertipu oleh "teaser" yang diberikan di akhir buku 2, haha.

Suasana, setting klimaks cerita yang membawa ke actual rebellion scene nya cukup mencekam, sehingga lumayan "menolong" adegan klimaks yang terkesan 'hah, gitu doang'. Dengan perkembangan plot yang semakin intens, ending yang dituliskan oleh author cukup manis: all bad guys are dead. Walaupun tentunya luka batin dan trauma kehilangan yang sudah terlanjur dalam tidak akan semudah itu sembuh hanya dengan satu anak panah dendam terakhir.

Jadi, team Katniss x Gale atau Katniss x Peeta? :D

Rating: 3.8 / 5


Overall rating: 3.9 / 5


---

Get your ebook here:

- Google Playbook: Book 1 | Book 2 | Book 3
- Amazonbook (Kindle): Book 1 | Book 2 | Book 3

Oct 26, 2020

Review Amba: Kobaran Romansa di Tengah Genangan "Merah"

Cover Amba (Indonesian & English version)

Novel Amba dibuka dengan seorang perempuan yang sekarat di rumah sakit kecil di Pulau Buru. Amba, perempuan yang ditusuk itu, ditemukan bersimbah darah di atas sebuah makam karena ditusuk oleh Mukaburung, istri sah pria yang dikubur. Ketika ia mengetahui bahwa Mukaburung, perempuan luar wilayah yang "dijual?" ke "kepala adat?" hendak diproses hukum, Amba bersikukuh untuk membebaskan perempuan itu. Di tengah-tengah debat kusir mereka dengan petugas polisi, seorang pendekar asli pulai bernama Manalisa muncul dan akhirnya membantu pembaca menjelaskan tentang kehidupan dr. Bhisma Rashad, lelaki yang dicari, selama di kamp tahanan politik PKI (tefaat) di Pulau Buru.

Bagian kedua bercerita mengenai flashback hidup Amba. Sebagai anak perempuan pertama, ia tumbuh dengan cerdas dan cekatan bersama dua adik kembarnya yang cantik. Lulus SMA, orang tuanya berniat menjodohkan Amba dengan Salwa, laki-laki baik-baik dan apolitis yang mereka temui di Yogyakarta. Namun, ketika Salwa harus dipindahtugaskan ke Surabaya dan Amba pergi ke Kediri untuk menjadi penerjemah, Amba bertemu dengan Bhisma Rashad, dokter lulusan Jerman yang akhirnya ia cintai. Kisruh politik antara PNI-NU-PKI membuat perjalanan cinta Amba semakin memanas, karena Bhisma ternyata banyak berhubungan dengan "orang-orang kiri". Ketika mereka sedang berada di sebuah acara haul (mengenang?) seorang tokoh kiri yang menghilang, tentara Republik datang memporak-porandakan acara, dan mereka terpisah selama 40 tahun bersama bayi yang dikandung Amba.

The beginning kicked off pretty convincingly, tetapi semakin ke belakang ternyata plotnya semakin didominasi oleh clusterfuck of emotional description of what the main character thought and feel. Bagi saya yang biasa baca novel yg fast-paced dan plot-driven, penulisan yang character driven ini terasa sangat membosankan. Ada banyak sekali detail-detail sentimentil dan emosional yang...mungkin memang dituliskan untuk mengajak pembaca untuk lebih memahami Amba. Niatnya baik, tetapi agak terlalu too-much-information buat otak saya, dan jujur ga bisa membuat saya semakin memahami ataupun relate ke tokoh Amba. Semacam, iya saya tahu Amba orangnya kuat dan akhirnya menemukan cinta, so what?

Bagian 3 hanya melanjutkan cerita bagian pertama, dimana Amba akhirnya memutuskan untuk bercerita kepada Samuel mengenai Bhisma, termasuk cerita mengenai kematiannya. Bagian 4 (this is the most boring section I swear, but take my opinion with a grain of salt) berisi tentang cerita langsung dari Bhisma, yang dituliskan dalam surat-suratnya kepada Amba yang tidak pernah ia kirimkan. Just pretty much the same version as the 3rd section, cuma beda point of view aja. Bagian 5, cuma fast forward dimana Samuel bertemu dengan anaknya Amba. Nothing special either, walaupun cukup berhasil menjadi ending yang manis.

Namun, saya tetap perlu memberi applause terhadap detail-detail sejarah "Pemberontakan PKI" sampai permulaan Orde Baru, yang disajikan secara natural sebagai setting cerita. Penulis menggambarkan dengan cukup real, betapa riuh dan mencekamnya perang saudara yang terjadi antara kubu PKI dengan kubu PNI-NU di beberapa kota (termasuk Kediri) di hari-hari terakhir sebelum kejadian G30SPKI, serta penyerangan-penyerangan yang dilakukan tentara beberapa hari setelah kejadian. "Simpatisan PKI" di buku ini diceritakan berakhir di Pulau Buru, dimana mereka dihukum kerja paksa ("dimanfaatkan") untuk membangun pulau, membuat sawah dan infrasturktur, dll, termasuk Bhisma.

Untuk novel yang diberi judul dengan sebuah nama orang seperti ini, sepertinya memang sudah benar untuk menuliskan setiap naik turun emosi yang dialami para tokoh, terutama Amba sebagai tokoh sentral. Pikiran manusia kan memang kompleks, jadi ya bisa dimengerti sih kalau para penulis banyak menggali konflik dari aspek tersebut. Saya aja yang kebetulan ga bisa appreciate keindahannya :D.
 
Agak TMI, ngomong-ngomong satu hal yang cukup menampar saya dari karakter Amba adalah, betapa ia benar-benar mandiri dan tahu apa yang dia inginkan. Ia nekad pergi ke Kediri untuk bekerja, sekalipun ia tahu bahwa tempat tersebut berbahaya. Ia tahu ia menginginkan Bhisma, walaupun ia sudah punya tunangan. Hal-hal kecil tersebut lumayan menyentil saya secara pribadi, karena sebagai perempuan yang mengaku mandiri, saya hanya duduk menunggu nasib, haha.

Oh iya, buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul "The Question of Red" dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
 

Rating: 3 / 5

mungkin bisa lebih kalau kalian suka bacaan yang character-driven

---
Get your ebooks here:

- Google Playbook: Indonesian version | English version

- Amazonbook (Kindle): English version

Oct 20, 2020

Artemis Fowl: A Textbook Mix between Mythology & Technology

Di umur saya yang sudah hampir kepala 3, saya masih suka baca novel fantasi action anak-anak. Di genre ini, topik cerita dan penggunaan bahasa yang relatif "safe" tidak membatasi kejeniusan para penulis buku untuk menghasilkan alur cerita yang tidak hanya kaya akan pelajaran, tetapi juga sarat action dan ketegangan. Cocok untuk saya yang cenderung konservatif, yang hanya berani untuk menikmati keseruan hidup dari mengamati.

Artemis Fowl memang jarang sekali dibicarakan di komunitas-komunitas buku. Mungkin karena memang sudah lewat peak-nya, alias sudah "basi". Buku ini pertama kali terbit tahun 2001, pas di tengah-tengah antara tahun penerbitan pertama serial Harry Potter dan Percy Jackson & the Olympians. Tetapi, saya ga merasa menyesal karena telat "nyemplung" ke serial ini. Walaupun serialnya sudah resmi berakhir 8 tahun yang lalu, tetapi topik dan gaya bercerita Eoin Colfer masih sangat bisa dinikmati di masa sekarang.

Artemis Fowl Series - all covers

Serial Artemis Fowl bercerita tentang seorang bocah jenius dan kaya raya 12 tahun asal Irlandia, Artemis Fowl the Second. Semenjak ayahnya, Artemis Fowl Senior, hilang dan ibunya mengalami shock hebat, pengurusan bisnis dan kekayaan keluarga Fowl akhirnya jatuh ke tangan si kecil Arty. Namun, ia sama sekali tidak mengalami kesulitan ataupun kebingungan dalam mengembangkan bisnis yang dirintis oleh leluhurnya. Di usianya, ia justru menemukan apa yang berpotensi membuatnya menjadi penguasa teknologi dunia: yaitu keberadaan The Lower Elements yang berisikan makhluk-makhluk non-human yang memiliki teknologi sangat maju. Ia telah mempelajari kehidupan di Lower Elements selama bertahun-tahun, hingga akhirnya pada di awal buku pertama ia berhasil menculik salah satu Elf, untuk kemudian merampas teknologi dan sihir yang mereka miliki. Buku pertama dari serial ini bercerita tentang bagaimana Arty dan kepolisian Lower Elements (Lower Elements Police Reconnaissance force - LEPRecon) saling adu strategi dan kepintaran demi kepentingan masing-masing.

Hal yang membuat saya tertarik adalah, bahwa di buku pertama, Arty sebagai tokoh utama justru digambarkan sebagai pihak yang jahat. Ia agak mengingatkan saya pada tokoh Ciel Phantomhive dari anime/manga Black Butler (Kuroshitsuji), dimana seorang bocah kepala keluarga ningrat digambarkan begitu dingin, tanpa ampun, dan kemampuannya melebihi orang-orang dewasa kebanyakan. Seperti Ciel, ia juga selalu ditemani oleh butler-merangkap-bodyguard, Butler (yes that's the name). Penokohan tokoh utama sebagai bad guy ini membuat konflik menjadi kompleks bahkan sebelum cerita dimulai. Secara alamiah kita kan pasti akan rooting for the main character, tetapi kenyataannya justru para tokoh antagonis lah yang menjadi pihak yang (secara hukum) benar.

Note: Arty masih menjadi pihak yang berseberangan dengan LEPRecon sampai dengan buku ke-4, namun mereka akhirnya bekerja di pihak yang sama mulai paruh kedua serial (buku 5-8). Secara pribadi, Arty jadi agak membosankan karena tidak lagi harus "gontok-gontokan" dengan Holly Short dan Julius Root. Tetapi munculnya musuh baru, Opal Koboi sang psychotic pixie yang harus mereka hadapi bersama, ternyata cukup memberi ketegangan pada buku, walaupun dengan warna dan mood yang berbeda. Secara objektif, keempat buku terakhir sebenarnya masih cukup solid karena diramu dengan story telling Eoin (baca: Owen) yang asyik, plot-based dan straightforward.

Selain itu, konsep dua dunia yang ditulis oleh Eoin juga menarik. Universe Artemis Fowl memungkinkan makhluk-makhluk mitologi seperti dwarves, elves, pixies sampai centaurs untuk hidup dan mensinergikan kekuatan magis yang mereka miliki dengan teknologi maju, tetapi tanpa meninggalkan related-ness dari hal-hal keduniawian yang kita miliki sekarang. Ini nih yang saya suka dari low fantasy / urban fantasy, karena memberi kita imajinasi yang tidak terbatas, tapi di saat yang bersamaan juga masih sangat relate dengan apa yang kita lihat di dunia nyata.


Book 1-4 rating: 4.2 / 5
 

Book 5-7 rating: 3.75 / 5
 

Book 8 rating: 4 / 5

 

 Review ini ditulis untuk keperluan dokumentasi komunitas Setor Baca Prakata batch II (14 September - 14 Oktober). Pendaftaran batch III bisa dicek di sini.

 

----

Get your ebook here:

Google Playbook: 

Book 1 | Book 2 | Book 3 | Book 4

Book 5 | Book 6 | Book 7 | Book 8

 

Amazon (kindle):

Book 1 | Book 2 | Book 3 | Book 4

Book 5 | Book 6 | Book 7 | Book 8