Jul 29, 2020

The Fire Keeper: Friends? Foe?

I should be focusing on my planned data science mini project but well, here I am.

At least I'm glad that me wasting time on a damn fiction did not go astray -- this book really worth my time! Should be expected anyway, considering how the first installment get my full approval and I'll be mad if yall don't read it as well.


Setelah tahu bahwa dirinya adalah keturunan dewa (geez, kenapa sih dewa selalu minta kawin sama manusia? why not cat? Or rabbit?), Zane Obispo terpaksa harus hidup dalam persembunyian sihir underground lady, Ixtab. Jika para dewa tahu Zane masih hidup, para dewa akan membunuhnya. Despite, according to Ixtab, Hurukan bukanlah satu-satunya dewa yang melanggar The Sacred Oath.

Kan nyebelin.

Anyway, Zane menuliskan kisahnya di buku pertama untuk memberi kabar dan peringatan kepada godborn lain kan. Suatu hari, ketika ia dan Brooks sedang menunggu kabar dari kawan lama mereka Jack untuk mengeluarkan ayahnya dari penjara, tiba-tiba seorang godborn muncul di pulaunya. Karena Zane bingung anak ini harus diapakan (namanya Ren, btw), akhirnya ia minta bantuan Ms. Cabs, peramal Maya yang dulu sempat ditugaskan untuk melindungi dan mengawasi hidup Zane. Shit happens, ternyata Zane malah menemukan seorang (sebuah?) manusia lumpur yang menyamar sebagai Ms. Cabs, padahal manusia lumpur itu seharusnya sudah dimusnahkan ketika para Dewa mencoba membuat manusia pertama kali?

You can guess what happens next. Zane akhirnya kembali berurusan dengan dewa. Niat mulia untuk menyelamatkan Kanjeng Papi yang dipenjara ternyata ga sesederhana pesan Uber (since the story is taken place in the US) lalu naik mobil. Zane, Brooks, dan Hondo (yay) harus menghadapi drama after drama, only to get inside the outermost crust of another drama. Belum lagi, duh, Ren ini sebenarnya siapa, sih?

Btw, kalian bakal menyaksikan sendiri betapa menderitanya manusia untuk masuk ke dalam neraka.

Yes, you read it right, masuk neraka itu susah.

Melanjutkan cerita di buku pertama, Zane cs harus berurusan lagi dengan villain yang mereka hadapi sebelumnya. Tentu saja mereka datang bawa gerombolan yang lebih rame (literally, you will find out in the book) dan lebih menyusahkan. Konflik perdewaan di The Fire Keeper ini mengingatkan saya pada kehebohan perdewaan di serial Camp Half Blood nya Rick Riordan, dimana penguasa-penguasa yang terlupakan bersekongkol dengan 'orang dalam' untuk menyerang incumbent. Eksekusi konflik pun semakin rame dengan makin banyaknya backstabbing di sana-sini, sampai tidak jelas mana kawan mana lawan. Banyaknya dewa-dewi yang terlibat dalam misi, bukannya membantu malah semakin ngerecokin. Pusingnya, sampai akhir buku kedua ini, villain utama mereka masih juga belum bisa diberesin.

Sama seperti pas saya membaca buku pertama, sensasi membaca buku ini bener-bener bikin deg-degan dan geregetan dari awal sampai akhir. Rasanya ga pengen misahin tab dari tangan, karena perkembangan ceritanya memang seseru itu. Apalagi Jennifer Cervantes masih mempertahankan gaya story tellingnya yang ringan, sehingga pengalaman mengikuti petualangan karakter yang ditulis benar-benar terasa menyenangkan. Saya bener-bener ga habis pikir sama author-author kaya gini, kok bisa ya mereka menciptakan kesialan yang ga ada habisnya?

Gotta wait until this year autumn to catch up with the final stories. RIP rekening bank saya, barengan keluarnya Trials of Apollo pula T_T

Oh, btw, A-pooch definitely soaring up the Dee's Top Favorite Deities league table, right below Papa Hades rank. Any more uwu-ness, Papa H will have to share his throne with Uncle A.P.

Jul 27, 2020

Islamic Parenting 101: Parenting ABG dan menuju dewasa a la Sayyidina Ali

Disclaimer: Postingan ini mengacu pada recap hasil pemaparan dan diskusi kulwap (seminar whatsapp) yang diselenggarakan oleh Queenride community. Saya hanya mencatat hal-hal apa saja yang dibahas di dalam group tertutup, yang keanggotaannya khusus berisikan peserta yang telah mendaftar dan diverifikasi. Tulisan ini tidak pernah melalui proses review oleh pihak narasumber Queenride community, jadi jika ada perbedaan atau kesalahan pemahaman, itu sepenuhnya kesalahan saya, mengingat saya sama sekali belum memiliki pengalaman dalam mendidik anak.

Semoga Allah melimpahkan kebaikan bagi penyelenggara dan pihak-pihak yang telah membagi ilmu dan pengalamannya.

Untuk informasi, jadwal, dan pendaftaran kulwap dan aktivitas lainnya bisa cek akun media sosial Queenrides:

Instagram

Tulisan mengenai Islamic Parenting ala Sayyidina Ali insya Allah akan dibagi menjadi 3 bagian: General Parenting, Parenting usia 0-7 tahun, dan Parenting usia 8-14 & 15-21 tahun. Tulisan ini adalah bagian ketiga.



Sebelum saya dihajar massa karena menyamakan anak dengan tawanan, saya copas dulu satu disclaimer dari slide narasumber: "Tawanan dalam Islam harus tetap dimuliakan, pastikan mendapat hak-nya secara proposional, namun tawanan juga dikenakan larangan serta  kewajiban."

Itu.

Tahap 2, 8-14 tahun

19. Pada usia ini, orang tua harus mulai menekankan bahwa anak wajib sholat lima waktu. Pada usia ini, anak sudah tidak diperbolehkan malas solat, dan sudah tidak sebaiknya diberi toleransi dengan misalnya solat sambil duduk, dll.

20. Anak usia ini sudah mulai bersosialisasi sendiri dengan orang lain, sehingga tuntutan untuk memenuhi standar keindahan sudah berlaku pada mereka. Dengan demikian, anak harus dibiasakan untuk mengenakan pakaian bersih, sopan, rapi, menutup aurat. Selain dengan alasan kesehatan, keringat anak umur ini sudah mulai berbau tidak sedap.

21. Berikan pemahaman mengenai batasan dalam pergaulan, karena anak sudah mulai persiapan baligh.

22. Biasakan berkomitmen dan faham konsekuensi. Pada umur ini, orang tua sudah bisa untuk tidak lagi menoleransi kesalahan dan kelalaian anak dalam mengikuti aturan, apalagi terkait ibadah yang sifatnya wajib.

Untuk menumbuhkan komitmen anak, orang tua bisa membiarkan anak untuk menentukan/ menulis sendiri jadwal harian dan targetnya. Hal ini dapat menimbulkan timbulnya ownership/ rasa memiliki terhadap target dan jadwal hariannya. Namun, tentu saja orang tua tetap harus memantau, ya.

Anak juga sudah harus paham konsekuensi dari tindakan mereka. Ini berarti, anak harus mau bertanggung jawab atas konsekuensi tindakan mereka sendiri, selama anak masih mampu. Anak harus berani minta maaf langsung ketika berbuat salah. Anak harus sudah belajar sadar kalau mereka tidur terlalu malam, istirahat mereka akan kurang sehingga mereka akan kesulitan untuk bangun subuh dan berangkat sekolah di pagi hari. Orang tua tidak lagi harus clean up every single mess their children made, walaupun tetap harus turun tangan ketika keadaan di luar kemampuan anak.

Pengenalan komitmen bisa dimulai hal2 kecil, seperti membereskan tempat tidur sendiri, meletakkan pakaian kotor, cuci pakaian dalam sendiri, ajarkan cuci piring sendiri.

23. Melanjutkan paparan hal positif di tahap sebelumnya, anak usia ABG pun perlu dirutinkan untuk bertemu dengan Al Qur'an. Bahkan, orang tua sudah bisa meminta anak untuk rutin membaca Al Qur'an dan belajar ilmu agama (fiqh, akhlak, tauhid), dan menuntut anak untuk menurut. Jika anak sudah banyak dan rutin diperkenalkan dengan hal-hal keagamaan di tahun-tahun awal mereka, insya Allah mereka tidak akan berontak ketika diminta membaca Al Quran. Sekali lagi, dengan catatan orang tua melakukannya dalam suasana yang menyenangkan.

Bagaimana jika golden age yang pertama sudah terlewat?


Jika masa golden age yang pertama sudah terlewat, orang tua masih sangat bisa untuk memperbaiki cara mendidik yang terlewat. Anak mungkin tidak lagi orang tua perlakukan sebgai raja. Namun, perubahan perlakuan tersebut tidak mengurangi tanggung jawab orang tua untuk mendampingi anak dengan bahagia dan dengan cinta.

Beberapa hal yang bisa untuk dimulai orang tua pada rentang usia anak ini:

- Hindari membentak dan kalimat negatif

- Ajarkan ibadah ritual solat dan mengaji dengan cara yg menyenangkan. Ajak (bukan suruh) sholat dan ngaji yang dilakukan bersama-sama. Namun, tegaskan bahwa solat sudah wajib, tanpa perlu mengancam. Orang tua sebaiknya memberikan contoh bagaimana melakukan ibadah-ibadah tersebut dengan benar, dengan membacakan langsung di depan anak.

- Ajarkan bertutur dengan sopan

- Ajarkan menutup aurat sesuai syariah

- Terus menerus diingatkan dengan cara yang baik, agar anak tidak sebal dengan hal baik

Kok Memberontak?


Semakin besar anak akan semakin tajam pula otaknya dalam berlogika. Hal ini seringkali ditangkap orang tua sebagai pembangkangan, atau bahkan memberontak. Padahal, sebenarnya "perlawanan" ini adalah nature-nya semua ABG. Sebenarnya, anak yang mampu "membangkang" bisa dibilang lebih cerdas jika dibandingkan dengan anak yang terlalu penurut dan cenderung "yes man".

Namun, terkadang bantahan anak sering kali terlalu tajam didengar orang tua. Ketika anak mendebat, orang tua tetap tidak boleh membalas bantahan anak dengan keras. Api bertemu api, hasilnya akan merusak. Yang sebaiknya dilakukan adalah: tirakatkan anak, tahajud, doakan diri sendiri lalu doakan juga khusus untuk anak agar diberikan hati yang lembut, agar anak dibimbing dunia akhirat.

Yang jelas, orang tua jangan sampai melarang anak untuk membantah orang tua dengan alasan agama (dosa, dll). Metode itu tidak sehat bagi hubungan orang tua-anak, bahkan merupakan salah satu toxic parenting. Dalam menghadapi anak yang sedang bertumbuh, orang tua perlu banyak-banyak menjelaskan dengan logika dan prinsip sebab akibat.

Ada tips yang menarik nih, jika orang tua hendak membicarakan hal penting dengan anak, utamakan baca al fatihah dulu agar ucapan yang keluar tidak salah dipahami anak :)

Usia remaja adalah salah satu usia yang paling rapuh, sehingga di waktu ini anak paling membutuhkan orang tua yang bisa diajak dialog, yang mendengarkan tanpa menghakimi. Bagi orang tua yang bekerja, tentu hal ini bisa sangat melelahkan. Namun, selelah apapun, tanggung jawab tetaplah tanggung jawab sehingga orang tua harus mampu mengatur waktu dan energi. Pastikan selalu ada waktu untuk anak bisa berbicara.

Namun, jika anak sudah mulai besar, orang tua sebenarnya sudah bisa untuk sedikit bernegosiasi dengan anak. Orang tua bisa memberikan jam2 ngobrol, misalnya jangan pas banget baru pulang kerja dll.

Anak beranjak remaja tetap butuh sentuhan fisik, btw. Sesekali memeluk dan menepuk kepala anak dengan lembut akan membuat anak merasa sangat disayang dan dilindungi.

Perubahan anak ketika puber (haid, untuk anak perempuan)


Ketika anak perempuan mulai menstruasi, anak mengalami banyak sekali perubahan hormonal, baik fisik maupun mental. Anak akan lebih sering merasa pegal-pegal, mood yang naik turun, atau bahkan lemas karena kurang darah. Menghadapi ini, orang tua harus harus paham bagaimana menangani keluhan-keluhan anak. Orang tua harus lebih sabar dan memastikan anak merasa diterima dan dilindungi dalam melewati proses mens. Orang tua harus benar-benar menjaga asupan gizi anak, sinar matahari, dan kesehatan fisik anak untuk mengurangi efek moody.

Kondisi mens anak saat ini sangat berbeda dengan ketika orang tua dulu mengalami mens pertama kali. Saat ini semakin banyak zat tidak sehat seperti pengawet yang diserap oleh anak melalui makanan. Selain itu, anak sekarang cenderung lebih banyak menjalani sedentary lifestyle dan penggunaan gadget berlebih. Hal-hal ini menyebabkan efek mens ke anak menjadi jauh lebih parah dan tidak menyenangkan. Jadi, orang tua benar-benar harus ekstra hati-hati dan paham bagaimana menerima kondisi anak.

Gentle reminder, masalah menghadapi mens bukan hanya urusan Ibu. Ayah juga harus paham, ya.


Tahap 3, 15-21 tahun

Pada usia ini, anak telah memiliki tanggung jawab penuh dalam amaliah beragama. Harusnya di usia ini orang tua tidak lagi harus banyak menthelengi anak. Namun, selama anak masih menjadi tanggung jawab orang tua, komunikasi harus tetap mulus. Utamakan dialog dan bicara dari hati ke hati. Orang tua harus tetap menjadi tempat curhat dan mampu mendampingi anak dalam masa-masa pentingnya, bahkan terkait jatuh cinta, kecewa, ataupun mimpi basah pertama.

Rasulullah bersabda, "Ajarilah anakmu berkuda, berenang dan memanah", HR Imam Bukhari dan Muslim. Dalam konteks pendidikan anak usia 15-21 tahun, hadist tersebut bisa bermakna bahwa kita harus membekali anak pada usia tujuh tahun ketiga dengan,

@ Berkuda = skill of life

@ Berenang = survival of life   

@ Memanah = thinking of life


Special topic: Single Parent?


Anak dengan single parent dari perceraian akan sangat mungkin untuk merindukan orang tuanya yang pergi. Jangan pernah mengabaikan/melarang anak untuk kangen pada orang tuanya sendiri. Sebaiknya orang tua dengarkan saja bagaimana perasaan anak, berikan pelukan dan pahami kondisi dan kerinduan anak dengan tanpa pernah menyela curhatannya.

Selalu ingatkan anak, bahwa ia tidak akan kehilangan orang tuanya. Mungkin saat ini belum bisa bertemu, tapi suatu saat mungkin orang tuanya yang pergi akan melunak hatinya dan kembali mengingat anaknya yang ditinggalkan. Ajak anak untuk mendoakan, jika beliau memang sama sekali tidak bisa dihubungi. Ajak pula anak untuk mengingat yang baik2 saja, jangan sampai anak membenci orang tuanya yang lain tersebut.

Jika ada fakta2 yang jelas dan penting, orang tua tidak perlu menyembunyikannya kepada anak. Semakin anak besar, anak akan semakin mampu menerima informasi yang kurang menyenangkan. Jadi, orang tua bisa pilih saja mana-mana yang perlu diceritakan sesuai usianya.

Jika anak ditinggal di rumah sendirian, pastikan anak di rumah sendiri dengan ditemani oleh kegiatan yang positif. Pastikan orang tua mengkomunikasikan poin-poin no. 19-23, serta jelaskan hal-hal apa saja yang mungkin terjadi selama ia sendirian. Buat komitmen, "Selama ibu sedang kerja harus xxx, jangan yyy". "Boleh ya kalau Mama di tempat kerja, Mama telepon?"

Single parent juga tetap dikenakan tanggung jawab untuk mendekatkan diri kepada anak. Akui/validasi imajinasi anak. Orang tua bisa menceritakan apa yang mereka lakukan di masa seusia anak, lalu tanyakan apa yang dialami anak saat ini. Pendekatan ini akan membuat anak merasa diperhatikan dengan cukup.
 

Special topic: Bagaimana menyeimbangkan perhatian jika memiliki anak lebih dari satu?

Jika orang tua memiliki anak lebih dari 1, terima dan yakini bahwa setiap anak adalah istimewa. Orang tua harus paham keunikan masing2 anak, pastikan setiap anak memiliki waktu spesial/privat yang sama. Memang membutuhkan kesabaran ekstra, sehingga sebaiknya orang tua banyak-banyak tahajud dan berdoa agar selalu sabar dan punya ilmu. Lakukan itu setiap hari.

Sekedar tips, orang tua sebaiknya paling memperhatikan anak yang paling besar, karena mereka bisa jadi sudah pandai berpikir dan memiliki rasa cemburu. Anak yang kecil/bayi bisa jadi hanya perlu dipastikan untuk makan dan tidur tepat waktu.

Banyak-banyaklah membacakan anak solawat dan alfatihah. Ajak mereka doa bersama, pegang ubun2 nya, dan doakan sesuai dengan yang mereka inginkan.

Oiya, setelah solat, doakan mereka sendiri-sendiri ya. Jangan dirapel! :D

Special topic: Bagaimana menjawab pertanyaan anak tentang LGBTQ dan topik tabu lainnya?

Anak bisa jadi meluncurkan pertanyaan terkait topik LGBTQ. Untuk menjawabnya, sebaiknya ajak anak untuk berdiskusi dengan dua sisi sudut pandang, misalnya biologis dan agama.

Jawaban biologis: Jelaskan bahwa sebagai ciptaan Allah, mereka terlahir dengan struktur kromosom yang berbeda, sehingga akibatnya hormon dan perilaku mereka berbeda.

Jawaban agama agama: Hubungan seksual sesama jenis mutlak dilarang. Walaupun mereka melakukan perbuatan yang dilarang agama, tetapi orang tua harus komunikasikan ke anak untuk jangan pernah menyebut orang-orang seperti itu "pendosa". Mereka sama-sama ciptaan Allah yang harus kita jaga.

Jangan hapuskan keingin tahuan anak dalam topeng dosa. Sebaiknya anak tahu penjelasan hal-hal 'tabu' dari orang tua, daripada anak belajar dari sumber yang tidak jelas dan liar. Orang tua juga bisa juga mengajak  anak untuk mencari tahu bersama-sama, kemudian mendiskusikannya.


Special topic: Anak addicted to handphone?

Anak yang sangat ketergantungan dengan handphone berarti memiliki kekosongan di hatinya, yang akhirnya diisi oleh handphone (socmed, game). Untuk mencegah anak kecanduan, tentu orang tua harus dekat secara batiniah dengan anak, dengan menerapkan tips-tips yang sudah dituliskan panjang lebar (jelas kah? :D) -- komunikasi yang encer dan tidak saling menjudge, serta pengenalan anak dengan aktivitas bermanfaat sejak dini. Jika anak sudah merasa terlindungi dan dicintai di rumah, maka akan lebih mudah bagi orang tua untuk menerapkan aturan penggunaan handphone, termasuk tarik ulur yang mungkin akan muncul. Orang tua sebaiknya membuat kesepakatan dengan anak: kapan boleh main hape, digunakan untuk apa, dan jika anak tidak taat, apa yang harus dilakukan.

Orang tua dapat menjalankan kontrol tambahan atas aktivitas di handphone anak dengan aplikasi spy, namun hal ini jangan menjadi senjata utama. Jika komunikasi orang tua dan anak kurang berjalan, maka anak akan banyak menyimpan rahasia sehingga anak tidak akan nyaman/merasa diawasi oleh orang tua.

Note: Sebagai gambaran, penggunaan smartphone selama lebih dari 20 menit secara berturut-turut dan intens akan mulai merusak refleks, kesehatan mata, serta otot jari dan tangan anak.


Note 2: Karena anak sangat rawan tenggelam dalam asyiknya handphone, sebaiknya kamar anak tidak berada di lantai yang berbeda dengan orang tua.


Jika anak sudah terlanjut bergantung pada gadget, maka orang tua selain harus tirakat, banyak-banyaklah berdialog dan perkenalkan anak dengan aktivitas lain yang lebih bermanfaat. Orang tua tidak harus melakukan pendekatan secara kasar dan drastis untuk menyetop penggunaan gadget anak. Orang tua bisa mengajak duduk anak, tanyakan apa yang dirasakan anak dengan memainkan handphone terlalu lama (note: jika anak sanggup main handphone 2 jam berturut2 tanpa lepas, biasanya sudah tanda2 kecanduan). Lalu orang tua bisa mengalihkan kegiatan yang terkait dengan handphone ke arah yang lebih positif, misalnya "mau jadi pecandu game atau pemain game? :D".

Jul 23, 2020

Islamic Parenting 101: Pre-school parenting a la Sayyidina Ali

Disclaimer: Postingan ini mengacu pada recap hasil pemaparan dan diskusi kulwap (seminar whatsapp) yang diselenggarakan oleh Queenride community. Saya hanya mencatat hal-hal apa saja yang dibahas di dalam group tertutup, yang keanggotaannya khusus berisikan peserta yang telah mendaftar dan diverifikasi. Tulisan ini tidak pernah melalui proses review oleh pihak narasumber Queenride community, jadi jika ada perbedaan atau kesalahan pemahaman, itu sepenuhnya kesalahan saya, mengingat saya sama sekali belum memiliki pengalaman dalam mendidik anak.

Semoga Allah melimpahkan kebaikan bagi penyelenggara dan pihak-pihak yang telah membagi ilmu dan pengalamannya.

Untuk informasi, jadwal, dan pendaftaran kulwap dan aktivitas lainnya bisa cek akun media sosial Queenrides:

Instagram

Tulisan mengenai Islamic Parenting ala Sayyidina Ali insya Allah akan dibagi menjadi 3 bagian: General Parenting, Parenting usia 0-7 tahun, dan Parenting usia 8-14 & 15-21 tahun. Tulisan ini adalah bagian kedua.

First post here




Tahap 1, Usia 0-7

Punya anak usia di bawah usia sekolah memang banyak dramanya, apalagi ketika mengurus anak pertama. Orang tua bingung, frustrasi karena sulit memahami anak, lelah karena anak sedang aktif-aktifnya berlarian dan meraih barang-barang. Meskipun memang tidak ada formula one-for-all, pada dasarnya bagaimanapun kondisi anak kita, kuncinya tetap satu: SABAR.

Easier said than done, obviously. How dare an unmarried old hag preaching about parenting when she could not even keep her own filthy mouth from swearing upon spilled water and misconnected electric socket.

7. Perlakukan dan layani anak dengan mulia dan tulus. Bahagiakan anak, kabulkan apapun permintaannya selama kita mampu, manfaat dan tidak membahayakan. Jika orang tua terpaksa harus tidak dikabulkan, harus jelas alasannya kenapa orang tua mengganti, menunda, atau menolak keinginan anak.

8. Utamakan mendampinginya. Di usia ini, anak tidak boleh sampai kehilangan kasih sayang orang tua, sehingga idealnya anak mutlak harus dekat secara fisik dengan orang tua untuk menjalin kedekatan hati. Anak pada usia benar-benar harus menjadi prioritas. Masa golden age otak anak harus dimanfaatkan orang tua untuk memaksimalkan kecerdasan dan ketangkasannya. Mulai dari berkomunikasi (mengulang poin 5 postingan sebelumya), bermain di rumah, bermain lari-larian dan panjat-panjatan di taman, atau bersosialisasi dengan teman di TK, idealnya semua perlu pengawasan orang tua. Justru karena gerak dan eksplorasi anak harus dibiarkan seluas-luasnya (selama tidak membahayakan), orang tua justru harus lebih awas dalam mengawasi kegiatan anak. Sebelum melepas anak, pastikan anak sudah paham konsekuensi tindakannya.

Sedangkan untuk komunikasi, orang tua mutlak harus mendahulukan merespon ucapan anak, untuk menanamkan self-confidence dan perasaan dihargai ketika mengutarakan pendapat.

Jika orang tua bekerja, maka ketika di rumah harus dimaksimalkan untuk menjalin kedekatan dengan anak (please  turn off your phone and laptop, parents). Mengulang kembali poin komunikasi, pastikan tiap hari anak menerima sapaan dari orang tuanya. Saat ini teknologi video call sudah cukup jernih dan mudah digunakan, jadi tidak ada alasan bagi orang tua untuk tidak memperhatikan anak.

Tuntutan update yang sama juga tentu berlaku juga bagi orang tua yang LDM (Long Distance Marriage).

9. Hindari membentak dan mengatakan kalimat negatif. Harus benar-benar hati-hati untuk tidak menunjukkan kalimat, gestur, nada bicara negatif yang membuat kita sendiri tidak nyaman, pada anak. Mengurus anak memang melelahkan, tapi bukan salah mereka bahwa mereka dilahirkan kecil, lemah, dan harus serba diurusi, kan?

10. Anak bisa mulai diperkenalkan hal-hal dan aktivitas yang baik dan terjadwal. TIdak hanya jenis aktivitasnya, tetapi juga bagaimana aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan pada waktu dan jam tertentu secara konsisten. Anak umur tersebut mungkin belum bisa kita tuntut untuk bangun subuh dan sarapan jam 6 pagi setiap hari, tetapi kita bisa mulai perkenalkan dan tunjukkan aktivitas apa saja yang kita lakukan pada jam-jam tersebut. Biar anak paham, oh makan harus tiga kali sehari, ada makan di pagi hari, siang hari, dan malam hari.

Anak juga bisa mulai diperkenalkan dan diajak melakukan ibadah ritual, seperti sholat, mengaji dan ibadah lainnya dengan cara yang menyenangkan. Begitu anak bisa berdiri dan berjalan, orang tua bisa mulai mengajak anak untuk ikut shalat di sampingnya. Mungkin anak akan menolak, sujud dengan sekadarnya, kabur di tengah sholat, bahkan menunggangi punggung Ibunya. Tidak masalah, yang penting pelan-pelan anak diperkenalkan bahwa ibadah shalat adalah wajib, ajarkan bahwa manfaatnya adalah agar hamba semakin dekat dengan Allah. Gentle reminder, di usia 7 anak sudah mulai wajib shalat 5 waktu.

Sekali lagi, pastikan orang tua harus disiplin dulu ya :) Penting untuk menanamkan kebiasaan yang konsisten ke anak, karena anak belajar dengan memperhatikan.

Anak juga bisa mulai diajak untuk kegiatan-kegiatan yang bukan aktivitas harian, tetapi tetap positif. Misalnya, mengajak anak mengunjungi pesantren atau ke pengajian akbar (ketika wabah corona sudah terkendali)

11. Pola mendidik anak pada usia ini adalah dengan ajakan, bukan perintah atau bahkan paksaan. Anak jangan sampai takut akan rutinitas harian, terutama untuk ibadah sholat yang wajib tersebut.

12. Tanamkan karakter islami sejak dini. Bukan sekedar rajin sholat, mengaji dan ritual islam lainnya, tapi juga mengamalkan hal-hal yang ia pelajari dari Al Qur’an (termasuk perilaku sesederhana membuang sampah di tempatnya, antri, dan rajin belajar). Tapi yang juga tidak kalah penting adalah, anak harus diajarkan untuk memiliki rasa cinta dan kasih sayang yang luas agar anak terdorong untuk melakukan hal baik tanpa terpaksa. Orang tua juga perlu menanamkan bagaimana mengajak orang lain untuk bersikap patuh yang sama, tanpa merasa diri jumawa dan merasa lebih baik dari orang lain yang belum melakukan.

13. Sebelum tidur harus diperdengarkan hal-hal yang berilmu/bermanfaat, karena waktu sebelum tidur adalah waktu terbaik bagi otak untuk menyerap informasi. Jika bisa didengarkan murattal/tadarus orang tuanya lebih baik.

14. Orang tua bisa mulai mengkondisikan anak untuk menghafal Al Quran. Triknya, anak harus dibiasakan menghafal periode yang singkat-singkat tapi rutin. Karena anak 1 tahun relatif tidak bisa duduk diam, maka cukup ajak anak menghafal 5 menit, kemudian biarkan main lagi

15. Anak bisa mulai diajak dialog, dengan opsi tertutup (misalnya “mau A atau B?”, bukan “mau X atau tidak?”

16. Sesekali diberi reward tidak apa-apa, namun jangan dilakukan secara rutin

17. Beri anak permainan atau aktivitas yang sesuai dengan usianya. Tidak harus mahal, yang penting aman dan tidak berbahaya, dapat mengasah kreativitas, serta mengasah motorik anak. Juga tidak harus match dengan gender anak, walaupun tentu saja hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena banyak aktivitas yang genderless seperti menggambar.

18. Memukul anak dan kekerasan verbal, sekalipun untuk mendidik solat is a big NO. Akan  ada waktunya anak untuk bosan dan malas shalat. Dalam kondisi demikian, orang tua harus tetap mendorong anak untuk shalat, sekalipun dengan duduk (hanya untuk mendidik dan menekankan wajib-nya ibadah). Ingatkan anak bahwa ketika mati, hal pertama yang akan ditanya adalah shalat.

Special topic: Kapan sebaiknya melepas anak ke pesantren?

Sebaiknya jangan lepaskan anak untuk belajar di luar rumah (pesantren dll) sebelum anak lulus SD. Di usia tsb, sebaiknya anak full berada di rumah di bawah pengawasan orang tua, dan biarkan menjalin kedekatan terlebih dahulu dengan orang tua. Namun, jika memang orang tua berniat untuk melepas ke pendidikan di luar rumah, bisa mulai diperkenalkan sejak dini, agar anak tidak takut/merasa terbuang ketika disekolahkan di pesantren.

Tapi Mba Iim bahkan tidak berencana melepas anak sebelum SMA, dengan alasan agar pendidikan karakter benar-benar kuat. Orang tua bisa rembug dulu untuk menentukan "kapan"nya, sekaligus juga memperhatikan kemampuan dan sifat anak.

Mungkin perlu digarisbawahi juga, bahwa mendisiplinkan dan memperkuat karakter anak tidak harus dengan belajar di pesantren. Apabila suasana di rumah cukup disiplin, syar’i, dan kuat ritual keagamaannya, maka pendidikan di rumah saja mungkin sudah cukup.

Lalu bagaimana jika kakek/nenek nya mendorong anak untuk dipesantren-kan sedini mungkin?
Sebaiknya orang tua komunikasikan dengan kakek/neneknya. Bagaimanapun, pemegang hak veto dalam pendidikan anak ada di tangan orang tuanya sendiri


It's a fake chat, obviously. And no, I don't know who tf Mas Gilang is.


Anyway, kalau memang orang tua sudah sangat commit untuk mengirim anak ke pesantren, sebaiknya anak dikenalkan pada suasana dan kehidupan pesantren sejak dini. Anak bisa mulai diajak main ke pesantren pada usia 2-3 tahun. Jika anak sudah familiar dengan bagaimana menyenangkannya lingkungan pesantren, anak tidak akan merasa tertekan dan terbuang ketika dikirim ke sana.

Kemudian, sebelum anak dikirim, pastikan anak sudah paham tanggung jawab dan disiplin waktu - yang diperoleh dari pengenalan kebiasaan-kebiasaan baik kepada anak oleh orang tua sejak dini. Jika anak sudah terbiasa dengan tanggung jawab sejak kecil, insya Allah anak bisa membawa kebiasaan tersebut ketika lepas dari pengawasan orang tua - sehingga anak tidak lepas kontrol. Ketika anak sudah dilepas pun, orang tua harus rajin berkomunikasi dengan anak.

Jul 20, 2020

Islamic Parenting 101: Parenting a la Sayyidina Ali

Disclaimer: Postingan ini mengacu pada recap hasil pemaparan dan diskusi kulwap (seminar whatsapp) yang diselenggarakan oleh Queenride community. Saya hanya mencatat hal-hal apa saja yang dibahas di dalam group tertutup, yang keanggotaannya khusus berisikan peserta yang telah mendaftar dan diverifikasi. Tulisan ini tidak pernah melalui proses review oleh pihak narasumber Queenride community, jadi jika ada perbedaan atau kesalahan pemahaman, itu sepenuhnya kesalahan saya, mengingat saya sama sekali belum memiliki pengalaman dalam mendidik anak.

Semoga Allah melimpahkan kebaikan bagi penyelenggara dan pihak-pihak yang telah membagi ilmu dan pengalamannya.

Untuk informasi, jadwal, dan pendaftaran kulwap dan aktivitas lainnya bisa cek akun media sosial Queenrides:

Instagram

Tulisan mengenai Islamic Parenting ala Sayyidina Ali insya Allah akan dibagi menjadi 3 bagian: General Parenting, Parenting usia 0-7 tahun, dan Parenting usia 8-14 & 15-21 tahun. Tulisan ini adalah bagian pertama.



Ali bin Abi Thalib adalah khalifah keempat Khulafaur Rasyidin yang memimpin kerajaan Islam tahun 655-660 M. Beliau adalah keponakan sekaligus menantu Rasulullah SAW, dan semasa kecil sempat dirawat dan dididik langsung oleh beliau. Ali kecil adalah anak yang cerdas dan memiliki wawasan yang luas - yang bersumber langsung dari Al Quran, sehingga kita bisa juga meniru cara-cara hidup beliau, khususnya dalam mengasuh dan membesarkan anak.

Sebelum melompat masuk ke pembahasan materi, perlu digarisbawahi bahwa mendidik anak adalah seni. Setiap anak dilahirkan spesial, sehingga ilmu parenting pun tidak bisa diketok dan disama ratakan untuk anak satu dan anak lainnya, bagi kembar identik sekalipun. Pun, dengan jaman yang semakin cepat berubah, maka relevansi teknik mendidik anak pun akan cepat sekali obsolete. Karena tidak ada rumus pasti dalam mendidik anak, maka panduan dan tips parenting yang ada di materi ini sebaiknya hanya menjadi referensi, guideline dan contoh bagi orang tua dalam membesarkan anaknya, sedangkan eksekusinya sepenuhnya akan bergantung kepada visi dan kemampuan masing-masing orang tua.

Pendidikan anak a la Sayyidina Ali terbagi menjadi tiga tahap utama berdasarkan usia anak, dimana masing-masing tahapan adalah sepanjang 7 tahun. Secara umum, tahapan tersebut diilustrasikan pada tabel di bawah ini:


General Parenting Advices (all ages)


1. Prepare yourself thoroughly. Sebelum anak lahir, sebaiknya kedua orang tua harus firm terlebih dahulu perihal tujuan pendidikan anak. Orang tua harus sepakat mau anak menjadi seperti apa, lalu bagaimana caranya agar anak bisa menjadi apa yang dicita-citakan/ ditargetkan orang tua.

Lalu, sebelum mengajarkan disiplin kepada anak, pastikan kedua orang tua sama-sama sudah mengikuti jadwal yang sudah disepakati. Ingat, otak anak usia dini menyerap seperti spons basah, mereka merekam hal sekecil apapun yang terjadi di sekitar mereka. Jika anak sejak kecil melihat orang tuanya beraktivitas tanpa jadwal yang jelas, bagaimana anak mau diatur untuk makan sesuai jadwal?

Perubahan sikap dan kedisiplinan orang tua bisa dimulai dengan perubahan-perubahan kecil yang dilakukan terus menerus. Untuk memotivasi kedua orang tua, bisa dimulai dengan meniatkan bismillah untuk mensyukuri titipan Allah berupa anak dalam kandungan, serta sebagai ikhtiar awal untuk menjadi orang tua yang baik.

Berikut sedikit checklist diskusi untuk memulai persiapan:



2. The earlier, the merrier. Pendidikan anak bisa dimulai sedini mungkin, bahkan ketika anak masih di dalam kandungan. Disiplin waktu (bahkan dalam hitungan jam) akan lebih mudah diserap oleh anak ketika mereka diperkenalkan sejak kecil, ketika otak mereka sedang optimal-optimalnya.

3. However, never too late to start over. Walaupun orang tua sempat kehilangan masa-masa penting pendidikan anak di awal-awal perkembangannya, orang tua selalu punya kesempatan untuk memperbaiki cara mendidiknya pada tahap berikutnya. Setiap tahapan memiliki periode yang cukup panjang (7 tahun), jadi sebenarnya belum terlambat jika orang tua baru mulai belajar sekarang.

Apabila orang tua merasa kurang ilmu agamanya, bisa segera dimulai belajarnya, jangan lupa dimulai dengan berdoa dan diniatkan ikhlas untuk menjadi orang tua yang baik! :) Tidak perlu khawatir lupa teorinya, karena yang lebih penting adalah implementasi manner Islaminya sudah jalan.

4. Ajarkan kebiasaan baik sejak dini dari rumah. Kebiasaan baik tidak harus terbatas pada gender. Misalnya untuk bersikap lemah lembut, itu bukan cuma ranah sikap anak perempuan. Anak laki-laki pun harus tahu bagaimana caranya bersikap lembut, sopan kepada orang lain. Anak laki-laki pun boleh diajarkan memasak berdasarkan usianya. Misalnya untuk anak usia 2 tahun, bisa mulai diajarkan hal-hal mendasar sesederhana bentuk pisau dan fungsi wajan. Orang tua tidak perlu takut, anak insya Allah aman selama orang tua tetap aktif mengawasi.

Biar ingat, diulangi lagi deh. Kebiasaan anak akan sangat bergantung pada kebiasaan orang tua. Jadi, pastikan orang tua sudah menaati dan melakukan kebiasaan baik, ya!

Bagi working parents, sebagian besar waktu aktivitas anak harus dilakukan tidak dengan bersama orang tua. Menurut narasumber, orang yang paling ideal untuk dititipkan untuk menjaga anak adalah kakek/neneknya sendiri. Sebab, kita sudah paham bagaimana beliau-beliau mendidik dan membentuk kita sampai dewasa, kalaupun ada kurangnya kan masih bisa dikomunikasikan.

Namun, walaupun kita mungkin sudah cocok dengan sistem pendidikan kakek/nenek, kita tetap harus aktif memastikan dan mengecek agar anak mematuhi jadwal dan kebiasaan baik yang sudah ditetapkan. Jadwal makan, main, dan tidur anak bisa ditempel di tempat yang dilewati semua orang di rumah, agar semua orang bisa membantu mengingatkan. Lalu ibu atau bapak bisa menelepon anak dari tempat kerja (di waktu yang random), ngobrol ringan sambil mengontrol disiplin anak tanpa harus membuat orang tua merasa diawasi.

PS: jangan lupa sering-sering berterima kasih dan kasih hadiah orang tua kita

Jika anak sudah besar, bisa kita minta untuk menulis jadwalnya sendiri. Hal ini selain untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak (karena merasa diberi wewenang), juga untuk menanamkan self-commitment pada diri mereka. Tentu orang tua juga tidak boleh kalah galak dengan anak, jika mereka melanggar jadwal dan kebiasaan yang ia buat sendiri, tentu orang tua harus mengingatkan. Menanamkan disiplin dan kebiasaan anak memang harus dilakukan sejak dini sekali, agar orang tua tidak kesulitan ketika anak mulai besar dan 'bisa membangkang' (more on it di postingan berikutnya ya).

Yup, meminta tolong pembantu untuk mendisiplinkan anak definitely won't work.

Penanaman kebiasaan baik dan disiplin sejak dini ini juga bermanfaat agar kelak ketika anak lepas dari orang tua, anak tidak lepas kontrol.

5. Bangun kedekatan penuh dengan anak. Membangun kedekatan dan komunikasi harus dimulai dari sedini mungkin, bahkan dari kandungan. Walaupun masih jabang bayi, tapi si adek bisa denger omongan orang tuanya loh. Jadi, sering-seringlah ajak anak bicara, terutama kalau ibu hendak melakukan perbuatan baik, misalnya hendak solat atau ke pengajian. Bisa juga didengarkan hal-hal baik lainnya, misalnya dibacakan buku, didengarkan ibunya tadarus, atau sekedar mendengarkan murattal juga boleh. Jika anak sering diajak berkomunikasi, insya Allah nanti kalau besar anak bisa terbuka untuk curhat, cerita sama orang tuanya. Tentu saja, tuntutan komunikasi ini terus berlangsung sampai anak besar.

Cara agar anak bisa dekat dengan orang tua sebenarnya gampang-gampang susah. Kuncinya sebenarnya adalah konsistensi. Anak harus terbiasa berkomunikasi dengan orang tua sejak kecil dan merasa didengarkan.

Meskipun Ibunya sedang masak, kalau batita tahu-tahu mengajak bicara, idealnya ya Ibu matikan kompor, tatap mata anak dan dengarkan ocehannya. Jika anak sudah besar juga sama, ketika anak ngajak ngobrol, orang tua harus fokus dan jangan ditinggal nonton TV atau main hape. Bahkan ketika nanti anak sudah cukup besar untuk dilepas pun, orang tua tetap harus rajin menjaga komunikasi dengan anak. Kalau anak tidak menghubungi, besarkanlah hati orang tua untuk menghubungi lebih dulu. Yang paling penting, do not judge their concern, never dismiss their question, setabu apapun itu.



6. Aktivitas refreshing juga perlu dipikirkan oleh orang tua. Selingan ini diperlukan untuk mencegah anak jenuh dan merasa tanggung jawab harian sebagai beban. Orang tua seharusnya menanamkan bahwa rutinitas bukan sekedar kewajiban, tetapi menumbuhkan kebiasaan baik untuk diri sendiri, sehingga anak bisa menjalankan tanggung jawabnya tanpa merasa tertekan dan penuh kesadaran. Liburan tidak perlu mahal, cukup ajak anak makan di luar sesekali juga bisa.

7. SABAR.

:)

:")))

Orang tua (dan calon orang tua) harus sering-sering minta disabarkan pada yang Maha membolak-balikkan hati. Anak ini titipan, amanah, sudah kodratnya untuk dijaga dengan penuh ketelatenan.

Special topic: Mengenalkan agama kepada anak dengan kritis


(tidak dogmatis, tidak kaku, tidak 'pokoknya', namun tetap strict)

Semakin saya dewasa, semakin banyak saya melihat perilaku orang yang sama sekali tidak mencerminkan attittude umat beragama dan ber-Illah. Uniknya, tidak sedikit dari mereka yang ternyata solat dan mengajinya sangat tekun, bahkan penampilan pun sangat islami. Dari sini, saya sadar betapa pentingnya memahami agama tidak hanya perkara simbolis dan ritual seperti solat dan berpuasa, tetapi juga bagaimana agama kita dapat membentuk kita menjadi pribadi yang menyenangkan dan terhormat.

Masalahnya, bagaimana mengajarkannya ke anak?

Sebelum memulai, orang tua sebaiknya sepakat dulu bagaimana mengajarkan agama kepada anak. Jika kedua orang tua beda madzhab, sebaiknya fix-kan dulu anak akan diajarkan agama mengikuti madzhab siapa. Kalaupun ada yang terlewat belum dibicarakan, sebaiknya orang tua yang 'telat' bicara menahan dulu sanggahannya, agar jangan sampai anak bingung karena orang tuanya berbeda pendapat.

Cara menyampaikan konsep agama kepada anak harus dibuat seringan dan semembahagiakan mungkin. Sebisa mungkin jangan gunakan ancaman dan rasa takut untuk membuat anak patuh mengikuti agama. Bagi teman-teman yang bisa bahasa Jawa dan mahzab mengikuti NU, bisa mendengarkan ceramah-ceramah Gus Baha (yang full ya mendengarkannya, jangan dipotong-potong hehe)

Akan lebih mudah menjelaskan agama dari prinsip sebab akibat. Orang tua bisa mejelaskan kepada anak bahwa setiap tindakan kita ada konsekuensinya. Perbuatan baik akan berbalik baik kepada kita, begitu pula tindakan buruk akan membawa dampak buruk kepada kita sendiri. Untuk mendukung alur pembelajaran, orang tua bisa menceritakan kisah nabi, kisah sahabat, maupun kisah-kisah keteladanan lainnya. Untuk anak-anak khususnya 0-14 tahun, pendekatan ini akan lebih mudah dicerna daripada jargon-jargon pahala dan dosa. Namun, tetap jangan batasi anak untuk mendengar istilah-istilah tersebut, karena nanti begitu anak mulai bersosialisasi dan bersekolah, ia pasti akan mendengarnya dari guru atau teman-temannya.

Surga dan Neraka?

Penjelasan awal mengenai surga dan neraka juga bisa menggunakan sebab akibat. Anak bisa dijelaskan bahwa pada dasarnya, tujuan manusia hidup di dunia adalah untuk melakukan dan menyebarkan kebaikan, dimana yang mendapatkan manfaat dari perbuatan itu ya sebenarnya adalah kita sendiri. Adapun untuk kebaikan yang sifatnya amalan, sebenarnya lebih mudah lagi, jelaskan saja secara logis.

- Makan sehat adalah anjuran Rasulullah SAW. Dampak ke diri kita? Tentu tubuh kita akan sehat, bisa melakukan a, b, c, d,...

- Zakat/berbagi dengan sesama adalah anjuran Rasulullah. Memberi kepada orang lain bisa memberikan good feeling bagi diri kita sendiri

- Menjaga kebersihan juga anjuran Rasulullah, dan dampaknya juga baik untuk diri kita sendiri


Mengajarkan tauhid

Namun, bagian ter-abstrak dari pendidikan agama di rumah mungkin adalah masalah tauhid.

Sebelum menjelaskan tentang tauhid dan perbedaan Islam dengan agama lain, sebaiknya orang tua mempelajari dulu konsep tauhid dengan penjelasan yang berbasis kasih dan tidak menghakimi. Jika orang tua mempelajari tauhid yang berbasis ancaman, lalu mengajarkannya lagi kepada anak, bukan tidak mungkin anak ketika besar dan dilepas justru ia akan berontak dan malah takut beribadah.

Menjelaskan tauhid tidak bisa murni menggunakan logika, karena ketauhidan sebenarnya adalah tentang rasa. Sebenarnya anak yang tumbuh di keluarga muslim akan lebih mudah diajarkan, apalagi anak terlahir fitri/suci dan mudah menerima kebenaran. Yang jelas, kita perlu meyakinkan anak terlebih dahulu, bahwa Allah itu ada. Kita perlu ngajak ngobrol anak sejak dini dan menghubungkan apa yang kita ceritakan dengan keberadaan dan kekuasaan Allah. Atau menghubungkan hal2 yang tangible dengan arah mendekatkan diri kepada Allah.

- Umur 3: ketika menyuapi anak, Ibu bisa mendongeng mengenai makanan yang dimakan anak, kemudian disambungkan kepada betapa baiknya Allah telah menciptakan nasi yang begitu nikmat

- Umur 6: karena orang tua mulai harus melatih logika anak, orang tua bisa mulai  menjelaskan sesuatu yang sifatnya spiritual/religius dengan diimbangi penjelasan rasional. Jangan lupa tanamkan pada anak bahwa agama adalah pedoman untuk mengatur hidup kita menjadi lebih baik, bukan untuk menyulitkan.

Terkait pertanyaan tentang tauhid yang terkadang 'ajaib', orang tua bisa memberikan penjelasan dengan dua jenis jawaban. Misalnya jika anak bertanya apakah orang non muslim yang berkelakuan baik akan masuk surga?

Jawaban pertama: jawaban pasti berdasarkan agama, bahwa orang-orang yang akan masuk surga adalah orang beragama Islam.

Namun jawaban tersebut harus segera diimbangi dengan jawaban dari sudut pandang sosial muamalah sbb:

Jawaban kedua: kita harus tetap bersikap baik kepada orang yang berbeda keyakinan, sebab selama mereka belum mati, mereka selalu punya kesempatan untuk bertaubat dan menjadi lebih baik, dan mungkin masuk Islam.

Intinya, orang tua perlu menekankan bagaimana kita menyikapi segala sesuatu dengan penuh cinta kasih, sehingga anak tidak tumbuh menjadi anak yang kaku dan merasa benar dalam menghadapi orang lain yang berbeda agama.

Jika logika anak sudah mulai terbentuk, orang tua bisa mulai diperkenalkan grey area (area dimana kita ga bisa menilai dengan pasti baik buruknya suatu perbuatan). Bisa jadi suatu hal terlihat hitam di mata manusia, tapi putih di mata Allah. Kita ga boleh menilai diri kita lebih beriman dari orang yang melakukan misalnya lepas jilbab, karena bisa jadi langkah mundur dia adalah merupakan proses mendekatkan diri di mata Allah. Ini harus sering-sering dilakukan agar anak tidak tumbuh menjadi judgmental.

Jika orang tua tidak bisa menjawab langsung pertanyaan-pertanyaan ajaib anak, orang tua harus pintar2 mengalihkan agar keingintahuan anak terpuaskan. Namun, kita bisa juga menunda menjawab jika memang benar2 belum tahu, kemudian baru minta bantuan guru, orang dewasa lain yang jauh lebih paham.

Jul 17, 2020

The Storm Runner: A Serpent-Legged Magic Runner

Ketika ia pikir hidupnya ga bakalan lebih sucks lagi (let's see: kaki cacat, jadi bahan bully, dan Ayah yang menghilang entah kemana), Zane Obispo belajar bahwa segala sesuatu bisa terjadi. Ia sempat mengira keberuntungan akhirnya berpihak padanya ketika seorang gadis cantik mengajaknya bicara. Namun, ternyata ia malah harus memenuhi sebuah ramalan kuno untuk melepaskan dewa kematian yang terpenjara di dasar sebuah gunung berapi, yang konon hanya dapat dilakukan ketika seorang Dewa melanggar perjanjian suci.

Orang sering bilang kan, jangan percaya pada perempuan cantik.

Eh, saya sudah bilang belum, kalau Zane bahkan tidak tahu menahu soal perjanjian dan ramalan brengsek itu?

Dan apakah saya juga sudah katakan, kalau Dewa bernama 'Puke' itu juga ingin membalas dendam dan menghancurkan seluruh dunia?



Satu lagi, fiksi per-dewaan yang diterbitkan Rick Riordan Presents yang nyangkut di reading list saya. The Storm Runner bercerita tentang seorang anak laki-laki yang terjebak dalam urusan politik dan gengsi dewa-dewa suku Maya yang maha kuasa. Those Mayan deities fucked up in the past, then a random chick unleashing prophecy assigning some poor bloke in the future to clean up for their mess and have the whole saving world burden above their shoulder.

Geez, I wonder why hadn't I grow bored with those same plot development yet.

Kenapa sih, dewa-dewa ini ga bisa hidup rukun-rukun aja. And can they please stop flirting with human, don't they know the power imbalance between two couple would left the woman hurt? Relasi kuasa!

Saya seneng banget melihat The Storm Runner mengikuti 'pakem' yang digunakan di buku Rick Riordan dan Pandava Series. Jennifer Cervantes mengeksploitasi penggunaan alur 'kesialan after kesialan after kesialan' (poin plus 1, I love seeing my character suffers) dengan gaya bercerita yang ringan (poin plus 2). Seperti halnya tipikal heroes di cerita fiksi, main character pasti impulsif dan acting without using any braincell. Like, who tf would believe someone you barely know insisting that you are supposed to free a prisoned maniac who will destroy the world?

But magic will draw you in regardless.


Okay, Mrs. Cervantes, you win.

Rick Riordan books in Mayan mythology, julukan ini bisa banget saya berikan kepada The Storm Runner. Karena dari tiga serial RRP yang sudah saya baca, serial inilah yang paling 'Rick Riordan banget'. Bukan berarti saya menuduh Jennifer adalah peniru, but I'd say she is as genius as Uncle Rick. Menariknya, di buku ini saya tidak (belum) merasa drawn in pada karakter manapun, yang berarti daya tarik buku ini benar-benar berasal dari aspek lain cerita. Story telling yang seru karena ditulis dalam format re-telling, penggambaran setting yang detail namun tidak overwhelming (bisa banget dibayangin), and a plot full of misfortune and twists, I guess. Alasan mengapa saya suka banget buku-buku Heroes of Olympus, half of it is because of the Perce-factor dari serial Percy Jackson yang rilis sebelumnya. And this book wins my approval despite having very little of that.

(I meant I did not feel that attachment most of the book. Because even I gotta admit that Zane closed his first quest in so-owo way)

Ini buku serial sih, sangat mungkin nanti lama-lama saya akan kepincut sama Zane. Or Hondo...kalau dia muncul lagi di buku berikutnya.

Pembebasan A-pooch yang ditawan ini agak mengingatkan saya pada plot di serial ke-2 Magnus Chase (The Hammer of Thor), dimana Magnus cs terlibat dalam pembebasan Loki (both gods are underground lord). Tapi untungnya, eksekusi ceritanya sama sekali tidak sama. To be fair, plot cerita fiksi emang begitu-begitu aja kan garis besarnya, apalagi ini memang sama-sama cerita tentang Dewa-Dewi. Selama eksekusinya unik dan menyenangkan, I don't see any point fretting about similarities.

(Saya mau ngomel dulu. Man, kenapa hampir semua God of Death harus jadi villain sih. Only in Papa Hades we trust)

Kalau karena satu atau lain hal kalian pengen drop buku ini di tengah jalan, trust me that you will have a pretty special ending. Endingnya, gimana ya istilahnya, not really mindblowing, but unconventional? Pokoknya jangan berhenti membalikkan halaman kalo kalian belum sampe Glossary. Itu aja.

Melalui The Storm Runner series, Jennifer berharap anak-anak di seluruh dunia, dengan segala insecurity dan self-esteem issues mereka, akan merasa terangkul dan terwakili oleh cerita yang ia tulis. Setelah membaca buku ini, saya lumayan terangguk-angguk dengan kekuatan hati dan ke-nekat-an Zane untuk melindungi semua orang yang berarti baginya, sekecil apapun kemungkinannya akan berhasil. Jika Zane Obispo bisa memperoleh approval dari wanita tua berusia menjelang 28, saya harap ia juga sanggup menginspirasi anak-anak lainnya.

Dengan dunia semakin gila, anak-anak perlu selalu diingatkan bahwa "keajaiban" mereka hanya sedang menunggu waktu yang paling tepat untuk hinggap ke tempat tidur mereka, sebelum menyambut Sang Tuan di pagi hari dengan senyumannya yang selebar samudera. Walaupun ga semua dari kita punya Ayah sekeren dan se-berkuasa Hurakan, tapi Zane dalam diri kita selalu menunggu untuk di"setrum" dan dibangkitkan.

If you wait long enough, your destiny will come knocking. Take it from me-someday, when you least expect it, the magic will call to you.

Sedikit catatan, saya menemukan beberapa celetukan dan istilah dalam bahasa Spanyol di buku ini yang mungkin bikin kalian yang belum terlalu biasa baca buku bahasa Inggris makin bingung. Saya sendiri ga terlalu terganggu dengan munculnya istilah-istilah itu, karena so far saya masih bisa mengira-ngira maksudnya dan sama sekali ga mengganggu alur cerita. Beberapa kata mirip dengan ramble para filo netijen btw. (guapo? gwapo? :D)

Do I recommend this book? Big fat YES.

PS:
You see, starting this post I'm going to review by book, instead of dumping all volumes in the series under one review. Tried once with Pandava quintet series and it was a subpar review.


--
Get your ebooks here:
amazon books (kindle)
google playbook

Jul 13, 2020

Dragon Pearl: Gumiho Adventure in Space Alternate Universe

Fans mengenal Rick Riordan sebagai 'storyteller of the Gods'. Ketiga (empat) Gods AU nya sukses besar, walaupun belum nembus best seller fantasy books - at least in any list I randomly googled, tapi followersnya di twitter lumayan aktif lah. Sebagai late comer, saya agak menyesal kenapa saya memilih untuk bersikap "batu" ke racun temen line square Harry Potter saya pas mereka merekomendasikan Percy Jackson. Or any Rick Riordan books. Karena tulisan beliau memang se-worth the hype itu. Dari remah-remah yang saya ingat (karena saya bacanya ngebut - that's why saya belum bisa nulis review karena saya bahkan ga inget alurnya), ciri khas buku beliau adalah: bahasa yang ringan, tokoh utama yang ceplas ceplos (ini poin plus, karena story tellingnya jelas ga snoozefest), dan petualangan yang tidak pelit action. Dan somehow, Uncle Rick berhasil membuat para Roman, Greek, dan Norse deities terasa sangat human dan relatable.

Dengan dirilisnya Pandava series, yang lagi-lagi menceritakan tentang demigods, saya awalnya mengira semua serial Rick Riordan Presents bakalan menceritakan dewa-dewi sesuai daerah asal para author. Makanya, melihat ada nama Korea di salah satu buku, sisa-sisa fans Kpop di dalam otak saya menggelitik saya untuk menyimpan karya ini ke tab jadul saya. Kapan lagi baca dedewaan Korea selain Dewa-Dewa yang Bangkit di Timur kan?

Korea terus.



Anyway, sesuai dengan judul postingan kali ini, novel Dragon Pearl karya Yoon Ha Lee ternyata berfokus pada legend creatures, instead of the divinities. Gumiho adalah siluman rubah berekor sembilan (hence the 'Gu') dalam mitologi Korea, yang sampai saya membaca ini, masih saya asosiasikan dengan paras Shin Minah yang memainkan tokoh tersebut di Kdrama tahun 2010 'My Girlfriend is a Gumiho'. Gumiho a la Shin Minah diceritakan memiliki paras yang mampu menyihir siapapun yang dilewatinya, meskipun ia melakukan hal-hal absurd seperti berjalan-jalan di aspal tanpa alas kaki, misalnya.

Gumiho yang diceritakan Yoon diceritakan lebih dari sekedar memiliki kemampuan sihir untuk menarik pria. Dragon Pearl mengisahkan seorang (seekor?) siluman rubah yang pergi mencari kebenaran akan kakaknya yang dituduh berkhianat oleh instansi tempat ia bekerja sebagai tentara. Di tengah-tengah misinya, ia bertemu dragon/naga dan dokkaebi/goblin (yang sampai sekarang image-nya masih melekat pada hot uncle Gong Yoo). Kedekatan pertemanan mereka ga terlalu kelihatan sampai cerita tiba di bagian paling seru, dimana mereka akhirnya terlibat misi bertiga untuk mendapatkan mutiara Dragon Pearl sebelum dirampas oleh orang yang salah.

Beda tangan, beda jahitan. Beda author, beda juga gaya penulisannya. Meskipun masih satu supervisor project (entah apa role Uncle Rick di RRP), gaya bercerita dan pengkarakteran Yoon agak berbeda. Pandava series, Tristan Strong, dan Race to the Sun cukup kuat mengadopsi gaya penulisan Riordian yang ringan (disclaimer untuk dua terakhir, saya baru baca sneakpeek-nya di buku Aru Shah #3. I might take back this testimony after I finished with them) dan penuh humor. Sedangkan tulisan Yoon cenderung datar dan formal, setidaknya kalau disandingkan dengan seri RRP yang lain.

Dragon Pearl dibuka dengan narasi yang cenderung serius dan penuh paragraf panjang, yang membuatnya somewhat depressing (walaupun chapter pertama undeniably lumayan intens setelah dibaca). Gaya narasi first person yang berbeda ini membuat hook membaca buku ini agak kurang 'narik' sejak awal, sehingga kurang memaksa saya untuk maksain baca buku ini in one sitting. Saya suka dengan plot yang rame dan intens right from the beginning, dan semakin menegangkan ke belakang. Namun, dengan kurangnya unsur komedi dan ga munculnya karakter yang bisa mengocok perut, jujur buku ini lumayan bikin saya ngantuk di bab-bab awal. Karena sebagian besar plot berputar pada kegiatan menyamar dan ngumpet si tokoh utama, kalian juga ga akan banyak menemukan adegan berantem di sini, at least sampai seperempat bagian akhir buku.

Tapi bukan berarti Dragon Pearl benar-benar membosankan, sih. How the plot grow thickens along with the turn of pages cukup ampuh membuat saya stay nyelesein buku ini. Feel yang saya dapat dari membaca buku ini agak mirip dengan ketika saya membaca Harry Potter, yang bukunya lumayan heavily rely on the plot itself (dan kurang didukung oleh aspek-aspek lain misalnya narasi yang menyenangkan pas dibaca, atau main character yang stan material. I do like Fred and George Weasley though, sayangnya mereka ga banyak dieksplor. Shame.

Mungkin karena memang ga ada tokoh yang benar-benar ekspresif, meledak-ledak, dan 'pedes', ending dari cerita ini terasa agak...'gitu doang?'. Padahal sebenarnya endingnya cakep, tapi karena karakternya ga dramatis, penggambaran plot twist dan klimaksnya jadi berasa terlalu subtle. Kaya kalo kita naik sepeda di jalan mulus yang elevasinya landai, emang kerasa naik, tapi saking lempengnya, jadinya ga kerasa tahu-tahu udah di klimaks, tahu-tahu udah halaman acknowledgement aja. Kaya orang yang biasa nyetir off-road, tau-tau harus jalan di tol Cipali. Manfaatnya dapet, tapi kaya ga ada sensasinya.

Atau mungkin karena tokoh utamanya terlalu powerful, ya? Dengan kemampuan shape-shifting dan mengendalikan pikiran manusia, Kim Min ini rasanya udah seperti dewa sendiri. Jadinya, misi yang dia jalani bisa dibilang mulus-mulus aja karena kalau ada masalah sedikit, tinggal di-charm aja officer yang bertugas. Atau ganti penampilan. Padahal dari hal-hal yang bikin seru dari 6 serial demigods yang saya baca, serta buku lainnya yang saya approve banget-banget, salah satunya adalah tentang bagaimana main characters cari cara biar berhasil nembus situasi-situasi yang just impossible. Walaupun in most instance lolosnya mereka hanya buat pindah ke next fucked up situation aja, sampe serial habis. Sebenarnya di bab-bab awal, Kim Min terlihat menemui banyak masalah yang 'legit' karena keterbatasannya, tapi begitu dia berhasil masuk spaceship dan tahu apa yang harus dilakukan, semuanya terlihat mudah sehingga perkembangan konflik terasa geli-geli aja. Seru, tegang, tapi ga drastis banget.

Anyway, saya ga lihat ada sneak peek apapun di belakang buku. Sepertinya buku ini memang cuma standalone aja, bukan serial seperti buku RRP yang lain.

Small note though, kalau kalian udah sampai setengah buku dan ngerasa buku ini datar, trust me, the latter-half of the book is actually good. But if you just finished reading Rick Riordan books, you might need to tone your expectation down right from the beginning. This is indeed Rick Riordan Present book, but it's written by Yoon Ha Lee.

By the way, it seems Shin Minah's Gumiho interpretation will still lingers inside my brain for a bit longer. And Heroes of Olympus still wins.

--
get your ebook here:
amazon book (kindle)
google playbook

Jul 8, 2020

Notasi: Catatan Pendek di UGM

notasi/no·ta·si/ n 1 seperangkat atau sistem lambang (tanda) yang menggambarkan bilangan (tentang aljabar), nada (tentang musik), dan ujaran (tentang fonetik); 2 proses pelambangan bilangan, nada, atau ujaran dengan tanda (huruf); 3 catatan pendek yang perlu diketahui atau untuk mengingatkan sesuatu;



Saya tahu novel ini lagi-lagi, dari netizen twitter. Saya kebetulan baru aja selesai namatin Laut Bercerita (still the best local writing I've read this year), dan pas lagi moodnya spazzing dan twtsearch orang-orang yang berpendapat sama, somehow saya nemu thread yang diup ketika deket-deket hari peringatan empat pahlawan...what we call them, Pahlawan Reformasi? Well, I refered to kakak-kakak aktivis mahasiswa Trisakti yang ditembak mati di kampus tahun 1998 dulu.




Long story short, saya langsung kalap beliin satu-satu buku yang ada di thread itu. Ini tangan nakal emang.

Ga bohong, saya ambil buku ini pertama kali karena tergoda sama caption sang netizen yang menuliskan "gerakan demonstrasi mahasiswa UGM tahun 1998". Lagi terpukau sama Laut Bercerita, tahu-tahu lihat caption yang mirip, dan UGM pula?

Saya tahu mahasiswa UGM cukup aktif dalam demo-demoan ini (berkaca pada demo ReformasidiKorupsi September 2019 lalu, yang kemudian melambungkan nama presma UGM sebagai laki-laki penghangat rahim wanita - whatever that means I swear I don't want to know). Jadi ya ekspektasi saya lumayan dong?

Well, fvck my psychological state.

Singkat kata, saya jadi korban iklan, lol.

Sebenernya ini novel bagus, sih. Relationship development antar tokoh utama-nya (Nino dan Nalia) natural (walaupun ga terlalu relatable, but then again ini sih karena emang saya-nya aja yang incel), like I imagine emang anak-anak terpilih usia awal 20-an yang hubungan sosialnya normal kalo flirting ya begini ini. Ga menye-menye, yang perempuan tetep strong, yang laki-laki ga bucin, hubungan mereka pun saling respect.

Konflik dan gengsi politik antar fakultas yang dibangun juga relatable (saya rasakan sendiri  di jaman saya kuliah, walaupun ga parah karena saya cenderung apatis lol), antara Teknik yang keras dan Kedokteran (Gigi) yang elit. Yang menarik, ketika anak-anak dengan pride tinggi itu 'dipaksa' untuk bersatu oleh keadaan, perubahan karakter mereka pun natural, ga dibuat maksa tau-tau berubah just for the sake of adjusting to the plot. Terkait karakter mereka yang mungkin terlalu idealis bagi beberapa pembaca yang sudah makan asam garam kehidupan, well, sekali lagi, ini mahasiswa. Mereka emang waktunya idealis, right? Even Budiman Sudjatmiko tahun 1998 pun galak kan?

Intensitas plot di novel ini termasuk yang tipe berkembang (what on earth is this term istg), maksudnya di awal cenderung biasa-biasa aja, lalu semakin ke tengah buku, mulai muncul ketegangan-ketegangan yang makin memuncak, dan menemui klimaks tepat sebelum closing dan revealation. Dari sekedar gontok-gontokan antar BEM fakultas, jadi perang antara mahasiswa vs sniper.

Buku ini emang sesuai dengan judulnya: notasi. Catatan pendek yang dibuat untuk mengingatkan akan sesuatu, yang adalah: Persatuan antar fakultas untuk tujuan yang sama, dikukuhkannya Radio Swaragama FM sebagai alat penghubung pergerakan, dan bagaimana tokoh utama mengenang ehem-ehemnya saat kuliah. :D

SEMI-SPOILER[!!!] Poin plus lagi dari saya, Morra Quatro ga ngasih ending yang happily ever after or imma sob and mop until ma prince charming come and get me ala ala drama Korea. She revealed her character true color, and later closed her story, in a realistic way, sehingga pas nutup buku masih ada relate-nya. Kerasa aja gitu kalau di dunia nyata emang ada banget situasi seperti itu, dan kadang-kadang people should just let it go and move away. Gausah dibawa baper.

The thing is...

I freaking expect this to be a historical novel macam 2 buku Leila S. Chudori yang udah saya baca. Padahal, ini sebenarnya adalah novel romance, yang kebetulan settingnya di sekitar tahun 1998 pas mau reformasi.

Kalau Pulang dan Laut Bercerita itu novel sejarah dengan bumbu romansa, Notasi ini novel romance, tapi ada bumbu sejarah. Proporsinya berbanding terbalik, jadi wajar aja kalo saya yang habis baca tiga (empat kalo sama re-read Rahasia Meede) buku novel sejarah yang intens nauzubillah, jadi agak melempem ketika baca buku ini, dan paste it with 'ga ada seru-serunya' big red stamp.

If only I did not set any expectation, I might enjoy this book to manage my bookish-o-meter from being overdeflated. Tahu sendiri kan, capeknya marathon baca buku series (I'm currently reading Illuminae, dan jujur bacanya lelah banget wkwk. Saya tulis deh reviewnya nanti kalau sudah selesai baca serinya). Buku ini ringan dan enjoyable, jadi enak buat nge-bridge batere kutubuku yang keforsir karena habis baca materi yang berat atau panjang.

But, DAMN ma brain. Karena ngarepin adegan berantem dan potongan adegan penuh nostalgia berat, saya jadi snooze off di awal-awal, sambil mikir "kok ini cinta-cintaan semua". My bad.

I won't hesitate to recommend this book though, terutama buat anak kuliah yang lagi aktif-aktifnya daftar dan sibuk di BEM. Soalnya buku ini bakalan relatable dan pas banget buat kalian. Kalian ga digambarkan se-menye-menye anak SMA, tapi juga ga se-menara gading wanita/pria karier main characters di metropop yang depressing oh-so-successful-kenapa-gue-gagal-banget-jadi-manusya.

Cuma nih, kalo kalian habis baca buku seberat Laut Bercerita misalnya, kalian jangan harapkan intensitas kehororan yang sama di novel ini. Beda genre guys.

Learnt my lesson though.


--
Buy your ebook here:

Jul 3, 2020

Pulang: Tentang Sebuah Hasrat Sederhana

Kata "Pulang" bagi sebagian besar orang adalah sesederhana "berangkat", "mandi", "tidur". Sebuah istilah yang sangat biasa, dijalani sehari-hari secara otomatis, sampai ga kepikiran bahwa kesempatan tersebut akan menjadi ganjaran setara surga bagi sebagian orang, yang bukan "orang biasa". Salah satunya, para eksil politik, eks tapol, orang-orang yang berhubungan dengan - atau diduga berhubungan - atau sekedar simpatisan - PKI, partai politik yang sebenernya udah mati tapi somehow horornya masih ada sampai sekarang, di tahun 2020.



Berkisah tentang Dimas Suryo, wartawan surat kabar yang menyetujui untuk ditugaskan di tempat dan waktu yang salah, yang akhirnya membuatnya terjebak sebagai eksil politik di luar negeri selama puluhan tahun. Bacaan setebal 461 halaman ini menceritakan bagaimana orang-orang yang dituduh "kiri" ini harus mengalami berbagai macam keribetan untuk hal-hal yang mereka sama sekali ga ada sangkut pautnya. Yang paling sederhana adalah harus berada dalam pelarian terus-menerus dan menunggu untuk akhirnya ditangkap dan dieksekusi. Beberapa orang terjaring hanya karena mereka sering terlihat mengobrol dengan orang-orang yang dituduh "kiri". Interogasi kasar sampai kekerasan seksual jadi hal biasa bagi mereka. Mati terbunuh dan dibuang ke Bengawan Solo mungkin jadi opsi paling enak bagi mereka. Beberapa lainnya berakhir seperti Dimas, nyangkut di luar negeri tanpa kejelasan, tanpa bisa merasakan hal sesederhana "pulang".

Juga berkisah tentang Lintang Utara, putri eksil politik '65 dan perempuan Prancis yang sedang dikejar deadline tugas akhir kuliahnya. Topik film dokumenternya memaksanya untuk mengunjungi Jakarta pada hari-hari terakhir masa kekuasaan Soeharto, sekaligus membuka kesintingan apa yang orang-orang ini harus alami selama rezim Orde Baru. Bukan hanya menyadari bagaimana "akar"nya yang lain dari sisi Ayah-nya, ia juga mendapatkan, ehem, crush. Lagi rusuh, sempat-sempatnya ya manusia ini.

Potongan-potongan kisah manusia akan membosankan kalau tidak diselipkan bumbu romansa. Kisah cinta antar tokoh ini lah yang membuat puzzle-puzzle sejarah yang ditulis Leila S. Chudori mengalir natural. Banyak kisah cinta segitiga di novel ini, yang membuat saya agak memutar bola mata (come on, she's just a girl!) tapi juga sekaligus belajar (you are the damn outlier maam, most people do not live in celibacies like you).

Bukan tentang cinta, tapi tentang keberanian memilih dan memihak. Nasib yang harus dialami Dimas Suryo, diceritakan, sedikit banyak berhulu dari keengganannya untuk memilih. Both love and ideology. Diceritakan sih, bagian love-nya ini yang dampaknya lebih parah. Understandable sih, I personally do not believe ideologi negara punya dampak sebesar itu untuk mengendalikan orang. Untuk ukuran orang Indonesia, kesadaran untuk mengikuti agama jauh lebih manjur mengatur manner masyarakat daripada semangat mengikuti falsafah negara (to some extent aja sih, buktinya, rakyat Indonesia masih cinta dunia dan takut mati tuh, berarti mereka ga menjalankan syariat Rasul kan? :D). Tapi cinta? Orang kiri maupun orang kanan, orang iri maupun orang yang aman, semua (normalnya) jatuh cinta. Dan patah hati itu efeknya dimana-mana sama.

Semoga ga ada fatalist Pancasila dan Islam yang melihat ini. Bisa di-nganu saya :D


Selain itu, saya juga jadi tahu betapa diskriminatifnya Pemerintah Indonesia ke masyarakatnya selama Orde Baru. Dengan adanya program "Bersih Diri Bersih Lingkungan", semua orang yang dituduh (please focus at this word bcs it's the damn point of the madness) PKI akan dapat tanda "ET" di KTP mereka, yang dampaknya kurang lebih sama seperti orang-orang malang yang kebetulan terlahir dari orangtua yang berkulit hitam di Amerika sana. Ga dapat pekerjaan layak, ga boleh berhubungan dengan orang-orang yang dianggap "bersih", harus terus-terusan bersembunyi dari teror dan ketakutan. Cuma karena mereka DITUDUH mendukung PKI. Gila.

Saya juga belajar, betapa masyarakat Indonesia saat ini masih jauh lebih baik, dalam konteks lebih dibebaskan untuk berpendapat, dibandingkan dengan masa kejayaan Orde Baru dulu. Despite of UU ITE yang implementasinya lebih banyak represif-nya daripada mengayomi-nya, tapi setidaknya sekarang orang lebih bebas untuk diskusi.

Masih, I mean. 

Walaupun mulai banyak diskusi mahasiswa yang diberedel dan ditongkrongin "intel". Oops.

Walaupun mulai banyak orang-orang yang dibawa ke kantor polisi cuma karena mengkritisi "ideologi dan simbol negara".

Oke, so far masih aman. Belum ada tukang bakso yang pakai walkie talkie Kijang satu ganti.
 
Mengenai bukunya sendiri. Saya udah baca karya besar Leila yg lain, "Laut Bercerita" (bacotan saya tentang novel itu di sini). So far, saya lebih excited membaca Laut Bercerita daripada Pulang. Mungkin karena saya ga terlalu banyak terekspos sama sejarah awal-awal Orde Baru (saat sekolah saya lebih suka sejarah manusia gua dan perfosilan daripada sejarah negara, oops), jadi sejarah yang disajikan di buku ini ga terlalu relate sama hal-hal yang saya pengen ketahui. Sama-sama memiliki alur yang lompat-lompat seperti Laut Bercerita, tetapi buku ini agak sedikit butuh mikir karena selain plot yang maju mundur, fokus yang digunakan pun ganti-ganti. Jadinya aspek enjoyable-nya agak berkurang sedikit dibandingkan dengan Laut Bercerita karena harus konsentrasi agak tinggi (EMANG DASAR SAYANYA AJA YANG OTAKNYA UDAH MALAS MIKIR). Tapi masih asik banget, saya baca buku ini dalam satu hari wkwk. Dan, bukunya dalam Bahasa Indonesia.

Keterlaluan kan kalau saya sampai ga bisa paham ceritanya, haha.

Oiya, 'horor' novel ini juga dipertajam dengan ilustrasi hitam putih oleh Daniel "Timbul" Cahaya Krisna. Not really my kind of taste (agak bikin mak dheg ketika membalik halaman novelnya), tapi mungkin memang efek itu yang diinginkan oleh authornya? Dapet banget emang horor dan gilanya, haha.

get your ebook here:

The Pandava Series: Modern-day Pandava Stories

Perkenalan saya terhadap dewa-dewi berawal dari pelajaran IPS di SD, dimana umat Hindu di India diceritakan mensakralkan hewan sapi. Lalu berlanjut ke komik Mahabhrata karya R.A. Kosasih (yang saya re-read tahun kemarin), lalu lompat ke dongeng divinities ala Om Rick Riordan. Di sinilah, baru tetek bengek dewa dewi itu nempel, karena emang ada alur ceritanya (ga sekedar hafalan X adalah dewa ini, Y adalah dewa anu). Sedikit bumbu drama dan ketidakakuratan ga masalah, saya pikir bukan tentang 'Tuhan' saya ini kan xD



Riordanverse tamat (tinggal nunggu satu buku lagi, installment terakhir dari seri Trials of Apollo), saya akhirnya nyebrang ke terbitan Rick Riordan Presents. Saya aware sama terbitan ini ketika saya baru in progress nyelesein Magnus Chase, dan lagi semangat-semangatnya stalking twitter fandom Riordanverse. Aru Shah series langsung narik perhatian saya, apalagi begitu saya tau buku ini mengisahkan tentang dewa-dewi Hindu dan heroes mereka yang paling terkenal: The Pandavas (Pandawa Lima). Kebetulan saya ga buta-buta banget (like I somewhat was for Egypt and Nordic) sama mitologi Hindu, dan menemukan nama-nama familiar seperti Rahvana, Sengkuni, ataupun Garuda rasanya bikin makin semangat baca. Hasil dari baca komik jadul jaman Bapak saya masih sekolah dulu nih, haha.

Aru Shah series berfokus pada petualangan anak perempuan 12 tahun yang adalah reinkarnasi jiwa dari Arjuna, anak titisan dari Dewa Indra. Konsep heroes di Aru Shah ini agak lain dari konsep demigod Percy Jackson dkk, dan lebih mengarah ke konsep 'heroes' yang dipakai Uncle Rick di serial The Kane Chronicles (walaupun ga mirip juga sebenarnya). Hubungan antara anak dan dewa-nya bukan benar-benar anak, tetapi semacam reinkarnasi jiwa dari si dewa. Saya sendiri ga terlalu paham konsep reinkarnasi, but well, yang jelas dewa-nya bukan 'kawin' beneran. Alurnya kurang lebih sejenis, dimana intinya si anak titisan dewa ini diberi tugas untuk menyelamatkan dunia. Tipikal plot novel fantasi kebanyakan sih, sebenarnya.

Serial Aru Shah dibuka dengan buku pertama: Aru Shah and the End of Time (goodread links here). Dikisahkan Aru, anak SMP yang merasa insecure akan kondisi orang tuanya yang hanya seorang pengelola museum India kuno, yang tanpa sengaja melepaskan arwah jahat yang dijuluki 'Sleeper' yang kemudian mengunci berjalannya waktu. Aru yang ditemani seekor burung merpati yang ia beri nama "Boo" (siapa Boo sebenarnya? silakan baca sendiri bukunya hehe) kemudian menghubungi Pandava lainnya, Mini, yang kemudian diketahui merupakan reinkarnasi dari Yudhistira (titisan Dharma Raja). Singkat cerita, Aru, Mini, dan Boo ditugaskan untuk membuka kuncian atas waktu (yang sebenarnya juga gara-gara Aru), dan harus menghadapi segala makhluk ke-dewa-an dan segala dramanya. Di akhir cerita, Aru dkk berhasil mengembalikan waktu seperti semula, namun tidak tanpa mengetahui siapa 'Sleeper' sebenarnya.

(not going to reveal who 'Sleeper' is here, karena itulah sebenarnya intinya wkwk)

Buku kedua berjudul 'Aru Shah and the Song of Death' (goodread link), menceritakan Aru, Mini, dan Boo yang memergoki seseorang yang mencurigakan, membawa-bawa panah dewa (celestial arrow). Ternyata, panah ini adalah senjata milik Kamadeva (Indian version of Eros) yang dicuri, dimana dengan panah ini si pencuri telah berhasil mengubah manusia tak bersalah menjadi zombie. Aru, Mini, dan Pandava lainnya yang bernama Brynne (reinkarnasi Bhima) yang berada di tempat dan waktu yang salah, akhirnya ditugaskan untuk mencari pelaku pencurian sebenarnya, seraya membuktikan bahwa mereka bukanlah pencuri panah tersebut. Selama petualangan, mereka ditemani oleh seorang anak laki-laki bernama Aiden, yang ternyata adalah reinkarnasi dari Drupadi, istri kelima Pandava (saya harus cek dulu versi R.A. Kosasih seperti apa, tapi yang jelas di versi mitologi India, Drupadi menikahi kelima Pandava).

Buku ketiga, 'Aru Shah and the Tree of Wishes' (goodread) menceritakan ketiga Pandava (+ Aiden) yang lagi-lagi dituduh melakukan sesuatu yang mereka tidak lakukan. Mereka harus berpacu dengan waktu untuk menemukan Tree of Wishes sebelum ditemukan 'Sleeper', namun tanpa diketahui oleh para dewa dan petinggi otherworld lainnya. Di buku ini, reinkarnasi Pandava sudah lengkap dengan dimunculkannya Nikita dan Sheela sebagai reinkarnasi Nakula dan Sadewa, tetapi peran mereka sendiri belum benar-benar banyak karena mereka diceritakan masih di bawah umur (seperti Harry Potter, dimana anak dibawah umur 11/ belum masuk Hogwarts belum diperbolehkan melakukan sihir tanpa pengawasan orang tua). Di akhir buku, diceritakan Aru harus menghadapi Sleeper seorang diri dan kemudian ia menemukan bahwa...

... cliffhanger

Buku selanjutnya baru akan keluar Summer 2021 riuchjgfbnajfknjg#$%^&*cnkvfhur8947t4

I do enjoy this series btw. Storytelling di buku ini sangat mirip dengan bagaimana Rick Riordan menuliskan lima seri karyanya yang lain, dengan narasi yang ringan dan tidak pelit (sarcastic) humor. Keberadaan tokoh utama yang mulutnya ga bisa dikontrol sekali lagi manjur untuk membuat progress membaca lebih menyenangkan, sekalipun bukunya ga ditulis dalam sudut pandang orang pertama.

Seperti halnya buku-buku middle grade, alurnya bablas begitu saja, ga banyak maju mundur dan gonta-ganti setting (which really does help buat pembaca non-native non-advanced seperti saya).

Sampai buku ketiga, belum banyak character development yang berarti dari karakter-karakternya, walaupun bisa aja memang sengaja didesain seperti itu, mengingat diceritakan antara satu petualangan ke petualangan lainnya memang jaraknya tidak sampai satu tahun. Satu kritik kecil aja mungkin, di serial ini adegan berantem-nya kurang nampol hehe. Apakah ini karena main character nya didominasi perempuan, ya? Harusnya sih ga ada beda ya, antara cara berantem laki-laki dan perempuan, I mean ini cerita fiksi anyway kan.


We'll see bagaimana Roshani Chokshi mengembangkan karakter Aru cs di buku selanjutnya, ya ^^.


--
get your ebook here:

'Aru Shah and the End of Time'

'Aru Shah and Song of Death'

'Aru Shah and the Tree of Wishes'