Disclaimer: Postingan ini mengacu pada recap hasil pemaparan dan
diskusi kulwap (seminar whatsapp) yang diselenggarakan oleh Queenride
community. Saya hanya mencatat hal-hal apa saja yang dibahas di dalam
group tertutup, yang keanggotaannya khusus berisikan peserta yang telah
mendaftar dan diverifikasi. Tulisan ini tidak pernah melalui proses review oleh pihak narasumber Queenride community,
jadi jika ada perbedaan atau kesalahan pemahaman, itu sepenuhnya
kesalahan saya, mengingat saya sama sekali belum memiliki pengalaman
dalam mendidik anak.
Semoga Allah melimpahkan kebaikan bagi penyelenggara dan pihak-pihak yang telah membagi ilmu dan pengalamannya.
Untuk informasi, jadwal, dan pendaftaran kulwap dan aktivitas lainnya bisa cek akun media sosial Queenrides:
Instagram
Tulisan
mengenai Islamic Parenting ala Sayyidina Ali insya Allah akan dibagi
menjadi 3 bagian: General Parenting, Parenting usia 0-7 tahun, dan
Parenting usia 8-14 & 15-21 tahun. Tulisan ini adalah bagian ketiga.
Sebelum saya dihajar massa karena menyamakan anak dengan tawanan, saya copas dulu satu disclaimer dari slide narasumber: "Tawanan dalam Islam harus tetap dimuliakan, pastikan mendapat hak-nya secara proposional, namun tawanan juga dikenakan larangan serta kewajiban."
Itu.
Tahap 2, 8-14 tahun
19. Pada usia ini, orang tua harus mulai menekankan bahwa anak wajib sholat lima waktu. Pada usia ini, anak sudah tidak diperbolehkan malas solat, dan sudah tidak sebaiknya diberi toleransi dengan misalnya solat sambil duduk, dll.
20. Anak usia ini sudah mulai bersosialisasi sendiri dengan orang lain, sehingga tuntutan untuk memenuhi standar keindahan sudah berlaku pada mereka. Dengan demikian, anak harus dibiasakan untuk mengenakan pakaian bersih, sopan, rapi, menutup aurat. Selain dengan alasan kesehatan, keringat anak umur ini sudah mulai berbau tidak sedap.
21. Berikan pemahaman mengenai batasan dalam pergaulan, karena anak sudah mulai persiapan baligh.
22. Biasakan berkomitmen dan faham konsekuensi. Pada umur ini, orang tua sudah bisa untuk tidak lagi menoleransi kesalahan dan kelalaian anak dalam mengikuti aturan, apalagi terkait ibadah yang sifatnya wajib.
Untuk menumbuhkan komitmen anak, orang tua bisa membiarkan anak untuk menentukan/ menulis sendiri jadwal harian dan targetnya. Hal ini dapat menimbulkan timbulnya ownership/ rasa memiliki terhadap target dan jadwal hariannya. Namun, tentu saja orang tua tetap harus memantau, ya.
Anak juga sudah harus paham konsekuensi dari tindakan mereka. Ini berarti, anak harus mau bertanggung jawab atas konsekuensi tindakan mereka sendiri, selama anak masih mampu. Anak harus berani minta maaf langsung ketika berbuat salah. Anak harus sudah belajar sadar kalau mereka tidur terlalu malam, istirahat mereka akan kurang sehingga mereka akan kesulitan untuk bangun subuh dan berangkat sekolah di pagi hari. Orang tua tidak lagi harus clean up every single mess their children made, walaupun tetap harus turun tangan ketika keadaan di luar kemampuan anak.
Pengenalan komitmen bisa dimulai hal2 kecil, seperti membereskan tempat tidur sendiri, meletakkan pakaian kotor, cuci pakaian dalam sendiri, ajarkan cuci piring sendiri.
23. Melanjutkan paparan hal positif di tahap sebelumnya, anak usia ABG pun perlu dirutinkan untuk bertemu dengan Al Qur'an. Bahkan, orang tua sudah bisa meminta anak untuk rutin membaca Al Qur'an dan belajar ilmu agama (fiqh, akhlak, tauhid), dan menuntut anak untuk menurut. Jika anak sudah banyak dan rutin diperkenalkan dengan hal-hal keagamaan di tahun-tahun awal mereka, insya Allah mereka tidak akan berontak ketika diminta membaca Al Quran. Sekali lagi, dengan catatan orang tua melakukannya dalam suasana yang menyenangkan.
Bagaimana jika golden age yang pertama sudah terlewat?
Jika masa golden age yang pertama sudah terlewat, orang tua masih sangat bisa untuk memperbaiki cara mendidik yang terlewat. Anak mungkin tidak lagi orang tua perlakukan sebgai raja. Namun, perubahan perlakuan tersebut tidak mengurangi tanggung jawab orang tua untuk mendampingi anak dengan bahagia dan dengan cinta.
Beberapa hal yang bisa untuk dimulai orang tua pada rentang usia anak ini:
- Hindari membentak dan kalimat negatif
- Ajarkan ibadah ritual solat dan mengaji dengan cara yg menyenangkan. Ajak (bukan suruh) sholat dan ngaji yang dilakukan bersama-sama. Namun, tegaskan bahwa solat sudah wajib, tanpa perlu mengancam. Orang tua sebaiknya memberikan contoh bagaimana melakukan ibadah-ibadah tersebut dengan benar, dengan membacakan langsung di depan anak.
- Ajarkan bertutur dengan sopan
- Ajarkan menutup aurat sesuai syariah
- Terus menerus diingatkan dengan cara yang baik, agar anak tidak sebal dengan hal baik
Kok Memberontak?
Semakin besar anak akan semakin tajam pula otaknya dalam berlogika. Hal ini seringkali ditangkap orang tua sebagai pembangkangan, atau bahkan memberontak. Padahal, sebenarnya "perlawanan" ini adalah nature-nya semua ABG. Sebenarnya, anak yang mampu "membangkang" bisa dibilang lebih cerdas jika dibandingkan dengan anak yang terlalu penurut dan cenderung "yes man".
Namun, terkadang bantahan anak sering kali terlalu tajam didengar orang tua. Ketika anak mendebat, orang tua tetap tidak boleh membalas bantahan anak dengan keras. Api bertemu api, hasilnya akan merusak. Yang sebaiknya dilakukan adalah: tirakatkan anak, tahajud, doakan diri sendiri lalu doakan juga khusus untuk anak agar diberikan hati yang lembut, agar anak dibimbing dunia akhirat.
Yang jelas, orang tua jangan sampai melarang anak untuk membantah orang tua dengan alasan agama (dosa, dll). Metode itu tidak sehat bagi hubungan orang tua-anak, bahkan merupakan salah satu toxic parenting. Dalam menghadapi anak yang sedang bertumbuh, orang tua perlu banyak-banyak menjelaskan dengan logika dan prinsip sebab akibat.
Ada tips yang menarik nih, jika orang tua hendak membicarakan hal penting dengan anak, utamakan baca al fatihah dulu agar ucapan yang keluar tidak salah dipahami anak :)
Usia remaja adalah salah satu usia yang paling rapuh, sehingga di waktu ini anak paling membutuhkan orang tua yang bisa diajak dialog, yang mendengarkan tanpa menghakimi. Bagi orang tua yang bekerja, tentu hal ini bisa sangat melelahkan. Namun, selelah apapun, tanggung jawab tetaplah tanggung jawab sehingga orang tua harus mampu mengatur waktu dan energi. Pastikan selalu ada waktu untuk anak bisa berbicara.
Namun, jika anak sudah mulai besar, orang tua sebenarnya sudah bisa untuk sedikit bernegosiasi dengan anak. Orang tua bisa memberikan jam2 ngobrol, misalnya jangan pas banget baru pulang kerja dll.
Anak beranjak remaja tetap butuh sentuhan fisik, btw. Sesekali memeluk dan menepuk kepala anak dengan lembut akan membuat anak merasa sangat disayang dan dilindungi.
Perubahan anak ketika puber (haid, untuk anak perempuan)
Ketika anak perempuan mulai menstruasi, anak mengalami banyak sekali perubahan hormonal, baik fisik maupun mental. Anak akan lebih sering merasa pegal-pegal, mood yang naik turun, atau bahkan lemas karena kurang darah. Menghadapi ini, orang tua harus harus paham bagaimana menangani keluhan-keluhan anak. Orang tua harus lebih sabar dan memastikan anak merasa diterima dan dilindungi dalam melewati proses mens. Orang tua harus benar-benar menjaga asupan gizi anak, sinar matahari, dan kesehatan fisik anak untuk mengurangi efek moody.
Kondisi mens anak saat ini sangat berbeda dengan ketika orang tua dulu mengalami mens pertama kali. Saat ini semakin banyak zat tidak sehat seperti pengawet yang diserap oleh anak melalui makanan. Selain itu, anak sekarang cenderung lebih banyak menjalani sedentary lifestyle dan penggunaan gadget berlebih. Hal-hal ini menyebabkan efek mens ke anak menjadi jauh lebih parah dan tidak menyenangkan. Jadi, orang tua benar-benar harus ekstra hati-hati dan paham bagaimana menerima kondisi anak.
Gentle reminder, masalah menghadapi mens bukan hanya urusan Ibu. Ayah juga harus paham, ya.
Tahap 3, 15-21 tahun
Pada usia ini, anak telah memiliki tanggung jawab penuh dalam amaliah beragama. Harusnya di usia ini orang tua tidak lagi harus banyak menthelengi anak. Namun, selama anak masih menjadi tanggung jawab orang tua, komunikasi harus tetap mulus. Utamakan dialog dan bicara dari hati ke hati. Orang tua harus tetap menjadi tempat curhat dan mampu mendampingi anak dalam masa-masa pentingnya, bahkan terkait jatuh cinta, kecewa, ataupun mimpi basah pertama.
Rasulullah bersabda, "Ajarilah anakmu berkuda, berenang dan memanah", HR Imam Bukhari dan Muslim. Dalam konteks pendidikan anak usia 15-21 tahun, hadist tersebut bisa bermakna bahwa kita harus membekali anak pada usia tujuh tahun ketiga dengan,
@ Berkuda = skill of life
@ Berenang = survival of life
@ Memanah = thinking of life
Special topic: Single Parent?
Anak dengan single parent dari perceraian akan sangat mungkin untuk merindukan orang tuanya yang pergi. Jangan pernah mengabaikan/melarang anak untuk kangen pada orang tuanya sendiri. Sebaiknya orang tua dengarkan saja bagaimana perasaan anak, berikan pelukan dan pahami kondisi dan kerinduan anak dengan tanpa pernah menyela curhatannya.
Selalu ingatkan anak, bahwa ia tidak akan kehilangan orang tuanya. Mungkin saat ini belum bisa bertemu, tapi suatu saat mungkin orang tuanya yang pergi akan melunak hatinya dan kembali mengingat anaknya yang ditinggalkan. Ajak anak untuk mendoakan, jika beliau memang sama sekali tidak bisa dihubungi. Ajak pula anak untuk mengingat yang baik2 saja, jangan sampai anak membenci orang tuanya yang lain tersebut.
Jika ada fakta2 yang jelas dan penting, orang tua tidak perlu menyembunyikannya kepada anak. Semakin anak besar, anak akan semakin mampu menerima informasi yang kurang menyenangkan. Jadi, orang tua bisa pilih saja mana-mana yang perlu diceritakan sesuai usianya.
Jika anak ditinggal di rumah sendirian, pastikan anak di rumah sendiri dengan ditemani oleh kegiatan yang positif. Pastikan orang tua mengkomunikasikan poin-poin no. 19-23, serta jelaskan hal-hal apa saja yang mungkin terjadi selama ia sendirian. Buat komitmen, "Selama ibu sedang kerja harus xxx, jangan yyy". "Boleh ya kalau Mama di tempat kerja, Mama telepon?"
Single parent juga tetap dikenakan tanggung jawab untuk mendekatkan diri kepada anak. Akui/validasi imajinasi anak. Orang tua bisa menceritakan apa yang mereka lakukan di masa seusia anak, lalu tanyakan apa yang dialami anak saat ini. Pendekatan ini akan membuat anak merasa diperhatikan dengan cukup.
Special topic: Bagaimana menyeimbangkan perhatian jika memiliki anak lebih dari satu?
Jika orang tua memiliki anak lebih dari 1, terima dan yakini bahwa setiap anak adalah istimewa. Orang tua harus paham keunikan masing2 anak, pastikan setiap anak memiliki waktu spesial/privat yang sama. Memang membutuhkan kesabaran ekstra, sehingga sebaiknya orang tua banyak-banyak tahajud dan berdoa agar selalu sabar dan punya ilmu. Lakukan itu setiap hari.
Sekedar tips, orang tua sebaiknya paling memperhatikan anak yang paling besar, karena mereka bisa jadi sudah pandai berpikir dan memiliki rasa cemburu. Anak yang kecil/bayi bisa jadi hanya perlu dipastikan untuk makan dan tidur tepat waktu.
Banyak-banyaklah membacakan anak solawat dan alfatihah. Ajak mereka doa bersama, pegang ubun2 nya, dan doakan sesuai dengan yang mereka inginkan.
Oiya, setelah solat, doakan mereka sendiri-sendiri ya. Jangan dirapel! :D
Special topic: Bagaimana menjawab pertanyaan anak tentang LGBTQ dan topik tabu lainnya?
Anak bisa jadi meluncurkan pertanyaan terkait topik LGBTQ. Untuk menjawabnya, sebaiknya ajak anak untuk berdiskusi dengan dua sisi sudut pandang, misalnya biologis dan agama.
Jawaban biologis: Jelaskan bahwa sebagai ciptaan Allah, mereka terlahir dengan struktur kromosom yang berbeda, sehingga akibatnya hormon dan perilaku mereka berbeda.
Jawaban agama agama: Hubungan seksual sesama jenis mutlak dilarang. Walaupun mereka melakukan perbuatan yang dilarang agama, tetapi orang tua harus komunikasikan ke anak untuk jangan pernah menyebut orang-orang seperti itu "pendosa". Mereka sama-sama ciptaan Allah yang harus kita jaga.
Jangan hapuskan keingin tahuan anak dalam topeng dosa. Sebaiknya anak tahu penjelasan hal-hal 'tabu' dari orang tua, daripada anak belajar dari sumber yang tidak jelas dan liar. Orang tua juga bisa juga mengajak anak untuk mencari tahu bersama-sama, kemudian mendiskusikannya.
Special topic: Anak addicted to handphone?
Anak yang sangat ketergantungan dengan handphone berarti memiliki kekosongan di hatinya, yang akhirnya diisi oleh handphone (socmed, game). Untuk mencegah anak kecanduan, tentu orang tua harus dekat secara batiniah dengan anak, dengan menerapkan tips-tips yang sudah dituliskan panjang lebar (jelas kah? :D) -- komunikasi yang encer dan tidak saling menjudge, serta pengenalan anak dengan aktivitas bermanfaat sejak dini. Jika anak sudah merasa terlindungi dan dicintai di rumah, maka akan lebih mudah bagi orang tua untuk menerapkan aturan penggunaan handphone, termasuk tarik ulur yang mungkin akan muncul. Orang tua sebaiknya membuat kesepakatan dengan anak: kapan boleh main hape, digunakan untuk apa, dan jika anak tidak taat, apa yang harus dilakukan.
Orang tua dapat menjalankan kontrol tambahan atas aktivitas di handphone anak dengan aplikasi spy, namun hal ini jangan menjadi senjata utama. Jika komunikasi orang tua dan anak kurang berjalan, maka anak akan banyak menyimpan rahasia sehingga anak tidak akan nyaman/merasa diawasi oleh orang tua.
Note: Sebagai gambaran, penggunaan smartphone selama lebih dari 20 menit secara berturut-turut dan intens akan mulai merusak refleks, kesehatan mata, serta otot jari dan tangan anak.
Note 2: Karena anak sangat rawan tenggelam dalam asyiknya handphone, sebaiknya kamar anak tidak berada di lantai yang berbeda dengan orang tua.
Jika anak sudah terlanjut bergantung pada gadget, maka orang tua selain harus tirakat, banyak-banyaklah berdialog dan perkenalkan anak dengan aktivitas lain yang lebih bermanfaat. Orang tua tidak harus melakukan pendekatan secara kasar dan drastis untuk menyetop penggunaan gadget anak. Orang tua bisa mengajak duduk anak, tanyakan apa yang dirasakan anak dengan memainkan handphone terlalu lama (note: jika anak sanggup main handphone 2 jam berturut2 tanpa lepas, biasanya sudah tanda2 kecanduan). Lalu orang tua bisa mengalihkan kegiatan yang terkait dengan handphone ke arah yang lebih positif, misalnya "mau jadi pecandu game atau pemain game? :D".