Aug 27, 2020

Fanbo All-in-One Deep Cleansing Balm: Lokal tanpa Abal

Entah sejak tahun berapa beauty trend menjamur (saya baru ngikutin 2017an), tapi saya happy melihat brand lokal mulai improve produk mereka. Tanpa men-discontinue produk-produk legend seperti milk cleanser viva atau pelembab kelly, beyond that, mereka mulai ngembangin produk diluar pakem yang sudah mereka jual puluhan tahun. Mereka ngerti bahwa orang Indonesia sekarang semakin picky soal produk apa aja dan spesifikasi yang seperti apa yang sebaiknya ditemplokin ke muka mereka.

Fanbo yang dulu dikenal dengan bedak two way cake nya, and lately makeup tools (eyebrow pencil, sponge) sekarang sudah berani merambah ke skincare kekinian. Ga pake ngeluarin yang mainstream diluncurkan semua brand skincare seperti micellar water, tapi mereka langsung lompat ke cleansing balm. Movement menarik menurut saya, karena 'budaya' penggunaan oil cleansing sebagai first step of cleansing ini sebenarnya belum lama diadopsi brand Indonesia. Bahkan brand yang ngeluarin produk makeup terlengkap di Indonesia seperti Wardah group (Wardah-Emina-Make Over), Pixy, atau Maybelline pun, oil-based cleanser mereka ga booming-booming banget di sini (I tried Emina's, and it was sucks).

Cleansing balm sendiri sebenarnya adalah produk oil cleansing, yang dikemas menjadi semacam lilin. Ketika 'lilin' ini diaplikasikan ke kulit, bentuk padatnya akan langsung meleleh menjadi minyak, yang akan dengan mudah menarik kotoran di wajah tanpa harus digosok-gosok terlalu keras. Dari segi penyimpanan, bentuk balm akan lebih rapi, bersih, dan tidak mudah tumpah.

The Product


 


Cleansing Balm Fanbo dikemas dalam jar seperti umumnya cleansing balm lain yang dijual di pasaran. Packagingnya simpel namun kokoh, dengan tiga warna sesuai dengan varian yang ada: tea tree (hijau), lemon (kuning), dan sakura (pink). Saya cuma beli satu yang tea tree, karena selama ini kulit saya memang cocok pakai skincare kandungan tersebuti. Jarnya didesain bersih dengan tutup tambahan di dalam dan spatula mini untuk menjaga kehigienisan produk.

Mungil bangett muat di tengah-tengah telapak tangan

Cleansing balm fanbo tidak memiliki wangi yang kuat. Hal ini menarik, karena biasanya nih, produk lokal kan wanginya mak sreng di hidung. Saya lihat di kemasan sih, untuk varian tea tree oil sepertinya memang tidak ada fragrancenya. Cleansing balmnya sendiri warnanya putih dengan semu hijau segar.


Produk ini dijual seharga Rp55.100, tapi kalau kalian mau cari toko lain kalian selalu bisa dapat harga lebih murah, saya sendiri dapat Rp43.000 di shopee. Lumayan :D

Ingredients


Caprylic/Capric Triglyceride, Ethylhexyl Palmitate, Mineral Oil (Paragginum Liquidum), PEG-20 Glyceryl Triiostearate, Helianthus Annuus Seed Cera, Decyl Cocoate, Butyrospermum Parkii Butter, Polyamide-8, Ozokerite, Water, BHT, Citrus Aurantifolia Fruit Extract, Tocopherol, Asorbyl Palmitate, Pentaerythrityl, Tetra-Di-T-Butylhydroxyhydrocinnamate, Phenoxyethanol, Methylparaben, Ethylparaben, Tilia Cordata Oil, Melaleuca Alternifolia Leaf Oil,
May contains: CI 45410, CI 47000, CI 77288

Saya curiga ini label buat komposisinya dibuat sama all variant, biar hemat biaya ngeprint :D

 

Ingredients Analyzed

Cosdna


Skincarisma




 

 INCI






 Claim Checking

 




Performance produk



Happy to find out that this product works well on me. Cukup satu colekan kecil udah cukup buat bersihin makeup di wajah with minimum effort. Semua makeup, termasuk maskara waterproof rontok tanpa harus digosok2 terlalu lama (though I don't think we would got enough friction with that much 'grease' in our face). Sensasinya persis seperti pakai oil cleanser biasa, dan sama powerfulnya dengan produk yang selama ini saya pake (skin1004 one, if anyone asking. Not really hyped up but it works well on me). Saya udah khawatir mata saya bakalan pedih, tapi ternyata cleanser ini ga bikin mata pedih sama sekali. Ga ada rasa apa-apa bahkan, which is good.

Cuma yang saya agak bingung, ini kenapa instruksi pemakaian di produknya menganjurkan untuk dihapus dengan kapas atau washclothes setelah produk dilumerkan ke wajah, ya? Padahal langsung di-emulsify pakai air biasa juga manjur kok. Kayak nambah step dan sampah yang ga perlu aja gitu, toh setelah di hapus dengan kapas kan cuci muka lagi anyway. Sama-sama buat ngerontokin minyak yang kotor kan lebih cepet pake air aja. Lebih murah lagi. I mean, it has PEG-20 Glyceryl Triisostearate yang bertindak sebagai pembentuk microemulsion facial clanser yang...well, intinya bersihkan produk ini ga perlu di rub karena dibilas pakai air juga rontok dan bersih sendiri tanpa ada rasa berminyak.

Before application

 

After emulsified

Anyway I tried both methods, yang sebelah kanan diemulsify air langsung dan yang sebelah kiri pakai kapas. So far hasilnya sama-sama aja sih. I mean, yang pakai kapas juga di basuh pake air lagi in the end.


Welcoming back my bare face ._.v



Untuk pengalaman pertama saya pakai cleansing balm, saya sangat puas dengan Fanbo All-in-One Deep Cleansing Balm ini. Nice to know my skin can tolerate local product, jadi saya ga perlu nurunin nilai rupiah untuk cari skincare, haha. Anyway, saya juga sebenarnya cocok pakai Fanbo face wash yang tea tree loh. After two consecutive good response, I guess I should try their other skincare products too? Fanbo ngeluarin apa aja, ya?

Aug 20, 2020

Paola Santiago and The River of Tears: POC version of "Setan Ibu"

I've read too much of mythology fictions up until this point that I might be able to come up with a whole fanfiction consisting all villains in each books trying to kill or date each other.

Yep, another RRP coming to my list and occupy my free time.

 

Paola Santiago and the River of Tears bercerita tentang seorang anak perempuan yang memiliki banyak komplain terhadap hidupnya: Mamanya yang miskin, Mamanya yang single parent, dan Mamanya yang percaya takhayul. Kok bisa sih, anak juara lomba sains seperti dia harus dibesarkan oleh Ibu yang untuk menentukan pilihan saja harus berkonsultasi pada formasi kartu tarot?

Bagaimana bisa, anak yang hampir masuk SMP seperti Pao mempercayai hal-hal seperti hantu, monster, dan arwah penasaran? Mereka kan, tidak ada dasar ilmiahnya.

Exactly when you think you're all correct, the universe decided to have a little laugh and prove you otherwise. Emma Lockwood, sahabatnya, menghilang ketika janjian untuk stargazing bersamanya dan Dante, persis di lokasi menghilangnya Marisa Martinez setahun lalu. Di tengah kekacauan karena penyelidik yang menyebalkan dan saksi yang kurang, Pao kembali mengalami mimpi-mimpi aneh, tentang makhluk yang berpendar hijau dan suara-suara yang memanggilnya. Ketika ia mengendap-endap keluar dari rumah dan 'menculik' dante untuk ikut bersamanya mencari Emma, nenek Dante malah menyuruh mereka untuk pergi ke sungai berbahaya tersebut... untuk... apa?

Saya biasa membaca buku yang plotnya roller coaster, dimana saya tidak perlu bersabar-sabar untuk menangkap si cerita ini sebenarnya mau dibawa kemana. Percy Jackson dan Harry Potter misalnya, tokoh utama cerita sudah mengalami hal-hal aneh right at the beginning of the story. Percy sudah bercerita tentang masalah-masalah aneh yang ia buat di sekolah dan bagaimana ia kesulitan membaca alfabet (untungnya, ia tidak buruk-buruk amat dalam pelajaran bahasa Latin). Harry diantar oleh orang aneh bermotor terbang, bersama orang bertopi runcing yang mengobrol dengan seorang wanita yang bisa berubah wujud menjadi kucing, di bab 1. Penulis langsung lompat ke dalam cerita tanpa tedeng aling-aling, sembari membuka sedikit-demi sedikit mengenai siapa tokoh utama sebenarnya, bagaimana kehidupan mereka along the way. Pembaca memahami hidup si tokoh utama dari cerita yang mengalir dengan setting dan ketegangan yang berbeda-beda.

Tehlor Kay Mejia berbeda. Di bab satu, ia bersikukuh untuk memberi konteks mengenai siapa Paola, bagaimana ia hidup, dan apa saja yang ia benci. Memang ia menuangkannya dalam cerita, tetapi saya ga paham apa perlu menulis dua bab penuh mengenai bagaimana Pao, Dante dan Emma bermain di tepi sungai dan bagaimana Pao merasa kesal dengan hidupnya. Bahkan cerita hilangnya Emma pun baru muncul di awal bab 4. Mungkin Tehlor orangnya analytics kayak saya, ya. Saya orangnya harus rempong dulu di awal, ngejelasin definisi dan tujuan dll, baru bisa lancar ngobrol. Padahal most people ga terlalu mentingin itu kan. Mirip seperti penulisan buku ini, dimana banyak plot filler yang tidak terlalu berarti untuk cerita, selain menjelaskan mengenai si tokoh utama.

Saya lihat perkembangan mission dituliskan cukup baik, dari pertemuan mereka dengan monster anjing separuh kadal, pertemuan mereka kembali dengan Marisa Martinez, orang yang sering merendahkannya dulu yang ternyata berubah menjadi "heroes" (really?), lalu Dante yang bersikukuh untuk membantu Marisa di saat Emma masih membutuhkan pertolongan mereka (the very reason why they ended up there, remember?). Belum lagi otak Paola yang masih belum bisa mencerna segala keanehan-keanehan tidak scientific di sekitarnya. Semua berujung pada klimaks dimana Paola harus menghadapi the real queen of vile, La Llorona sendirian. Tapi, karena saya udah drained dari awal karena harus membaca detail-detail yang 'ini maksudnya mau kemana sih', saya tetep ngerasa perkembangan plotnya agak dull bahkan ketika Pao sudah bener-bener menjalankan misi.

Atau mungkin karena saya orang Indonesia, tahunya hantu-hantu dan siluman lokal dari Tante S, Mbak K sampe Om P, jadi saya tidak terlalu relate dengan horor yang dibawa oleh sosok  La Llorona, hantu seorang Ibu yang mencari-cari anaknya. Hantu ibu di sini kan digambarkan berambut panjang kusut mengerikan, darah dan belatung dimana-mana, dan menghilang mengenaskan ketika dibacakan ayat kursi. Sama sekali ga ada cantik-cantiknya, bertolak belakang dengan hantu yang digambarkan author. Walaupun mungkin sama powerful dan terrorizing-nya bagi masyarakat yang ter'hantu'i.

Seri kedua dari buku ini akan launching pada Summer 2021, tetapi saya ga yakin akan baca. This book just doesn't pull me in, even though I'm not sure what or why.

 

Get your own ebook copy here:

- Amazon (kindle)

- Google Playbook

Aug 15, 2020

Seger Snow Cream: When 'Goceng' Beats the Goban and Beyond

Semacho-machonya cewek, akhirnya butuh pelembab muka juga.

Pardon my failed attempt at writing cringe punchline statement.

Anyway. Semenjak saya terjun ke beauty community (sebagai penonton video tutorial dan follower trend, of course), saya udah bolak-balik ganti skincare. Dari yang 'affordable' (since ternyata tetep aja ga murah) sampai yang...agak mahal (there is NO WAY I would buy a high end brand, let's be real), entah sudah berapa juta saya habiskan buat botol, jar, tube, pipet, dll berisikan air maupun adonan sakti yang katanya bisa bikin kulit mulus kaya Yoona SNSD.

Yes, and most of them ended up teronggok doang di drawer karena entah saya ga cocok, atau males pakenya. 

Termasuk moisturizer.

Jaman saya kecil dulu, kayanya urusan muka ga seribet sekarang. Serempong-rempongnya mamak saya dandan, mentok-mentok paling cuma ngolesin pelembab kelly atau Gizi Super Cream, bedak padat dan lipen, and you ready to go. Boro-boro double cleansing, bersihin muka aja cuma pake sabun mandi. Sekarang, mau bersihin muka aja setidaknya harus dua step, dan cuma rebahan di depan tivi aja setidaknya harus pake pelembab sama sunscreen. 

Entah lingkungan sekarang makin kotor, kulit wajah manusia semakin lemah, atau penelitinya aja kong kalikong aja sama kapitalis. 

Yang jelas, kalau kulit saya pribadi sih memang udah ga beres ya. Tahun 2014 dulu sempet kena tipu set skincare dokter abal-abal, jadi saya harus ngurusin dampaknya sampe sekarang. Jerawat datang tanpa henti, like dalam sebulan wajah bisa ga punya bumps selama seminggu aja, udah prestasi. Acne scar nempel bertahun-tahun, karena tiap bulan selalu ada yang baru.

Urusan moisturizer, terhitung dari saya stop krim abal-abal dan berhenti pake krim dokter asli (AHA cream dokter SPKK), saya udah ganti sekian puluh kali. Dari Wardah, hada labo, aloe vera gel berbagai merek (nature republic, the saem, innisfree), snail gel, sampai yg aneh-aneh kaya nemplokin minyak biji anggur ke muka, semua udah dicoba. Tapi emang dasarnya skincarenya berantakan dan ganti-ganti, ya tetep aja jerawatan.

Tips: JANGAN GANTI SKINCARE SEABREK SEKALIGUS. Gausah nafsu. Biar kalo ga cocok, ketahuan dan bisa distop. Kalo langsung ganti banyak, entar ga jelas siapa pelakunya yang bawa masalah.

Tips 2: Kalo ganti skincare ternyata ga cocok, balik ke skincare awal atau obatin ke dokter. Bukan tanya twitter, tanya tukang skincare, atau minta rekomendasi beauty vlogger yg diendorse untuk ganti skincare lain, ok? Mereka gatau tipe kulit dan gaya hidup kalian kaya apa, jadi stop asking them what's in. Do your own damn research. Kalaupun kalian zonk dapet error, setidaknya itu pilihan kalian sendiri.

How did I met your mo...isturizer

Krisis keuangan 2020 (pengangguran, dan sepertinya saya akan banting setir aja jadi trader saham, capek udah cari kerja) memaksa saya untuk mengurangi pengeluaran harian. Shopee saya freeze, saya ga jajan-jajan lagi di luar kecuali bener-bener perlu (lagi pandemi anyway). Saya lagi ada dalam fase ga eksplor skincare aneh-aneh, pokoknya pake aja yang sekarang ada sampe habis, then repurchase. Suatu hari saya diminta beli suplemen B kompleks buat Bapak. Karena toko yang betominplexnya murah ternyata minimum pembeliannya adalah 50.000, akhirnya saya scroll down si toko untuk nggenepin pembelian biar dapat free ongkir. Di situlah, saya akhirnya bertemu dengan my current comfort cream: Seger Snow.

Kalo ga salah ini krim dulu namanya Hazeline ya? Well, entah beda merek atau engga, yang jelas jar seperti ini seinget saya dari dulu memang udah ada, jadi barang ini emang ga asing sama sekali. Mengingat harganya cuma gocengan, yaudah saya masukin dua jenis krim Seger Snow ini ke keranjang saya bersama perintilan-perintilan yang lain.

At least, kalau moisturizer ini zonk lagi, setidaknya harganya cuma seharga tahu bulat. Jauh lebih murah dari skincare 'murah' yang terakhir saya coba: Emina dan Safi. Waktu itu saya pikir, if the worst case indeed come out, I don't mind at all turning those tiny jars into hand and feet lotion. Udah krisis jangan buang-buang uang.

(moisturizer ga cocok? Jangan di-preloved. Jangan pula dibuang. Dibuat krim tangan dan kaki aja lol)
 

Skin condition

Sangat acne prone. Masa pembentukan jerawat saya somehow panjang banget, mulai muncul bumps gatal-gatal sakit sejak masa ovulasi, lalu mengganas jumlahnya di H-2 menstruasi. Jerawat biasa muncul di seluruh muka, tetapi yang paling sering kena adalah bagian dahi dan V zone (area dagu). Tipe jerawat biasanya papule acne dan whiteheads.

Tipe kulit: normal to oily (T zone only), tetapi karena saya sering juga tinggal di daerah yang super lembab dan dingin, kulit saya kadang-kadang jadi kering juga.
 

First Impression

Seger Snow cream dikemas dalam jar mini dengan diameter dan tinggi sekitar 2-3cm. Walaupun mungil, tetapi isi produk cukup banyak 35gr. Pas pertama kali dibuka, isi produk benar-benar overflowing karena selama pengiriman jarnya miring-miring kan. 

Dari segi design, cream ini benar-benar straightforward, sekadar tempat dan isi aja. Packagingnya benar-benar simpel, cuma jar plastik tipis dengan tutup yang ga ada secure-securenya. Tutup ulirnya sama tipisnya dengan jar, dengan segel seadanya (ketika tutupnya diputar, segelnya ikut kebawa lol). 

 

'Segel'nya kebawa lol

 

Merek 'S', untuk ukuran 20g aja tempatnya lebih gede dari Seger Snow yang isinya 35g
 

Ga banyak tulisan dan space kosong di kemasan, jadi efisien banget ini.  

Saya suka packaging yang no nonsense kaya gini, meskipun agak ngerepotin kalo dibawa traveling. Yg travel friendly dalam bentuk tube ada sih sebenernya, tapi isinya malah lebih banyak dua kali lipat, 60 gram! Cuma kalo dilihat di official storenya di shopee, yang bentuk seperti ini baru ada yang varian pink. Tentu saja harganya juga dua kali lipat (walaupun masih ceban-ceban juga sebenernya). Entah kalau yang kemasan 19 gram apakah lebih aman apa engga, since kayanya dikemas dalam botol ala-ala vitamin IPI. 

Kalo ansos dan males tanya2 sama empunya warung di kompleks, produk bisa dicek di shopee, dan kalau mau aman bisa ke Official Storenya: SegerSurya Official. Biasa di official store lebih mahal sedikit, but that's what you pay to get the guarantee.

 

Product Review

Seger Snow cream hadir dalam tiga varian: Moisturizer Cream (kuning biru), Lightening Cream (pink), dan Vanishing Cream (kuning ada birunya juga, jadi dibaca dulu keterangannya kalo mau beli). Saya akan review yang vanishing cream dan lightening cream, karena saya cuma beli 2 itu aja ._.v

Seger Snow Vanishing Cream (Kuning)

Klaim:

Beautifies the skin making it soft and bright.

Membantu menyamarkan noda pada kulit, membantu menjaga kelembaban kulit, melindungi kulit dari paparan sinar matahari, sehingga kulit tampak lebih lembut, mulus, halus dan segar.

Awkward copywriting, kenapa ga gini aja sih:

Enhance your skin beauty.

Tok.
 

Like, the 'making it soft and bright'nya udah ditulis dalam klaim yang panjang anyway, kan.

 

Btw do you see EYD mistake over there? Tanda koma-nya kurang satu di sebelum 'dan segar'


 

Ingredients:

Aqua, Stearic Acid, Glycerin, Triethanolamine, Perfume, Cetyl Alcohol 

Cuma 6 bahan dong, ini udah kaya bikin oseng kangkung. Unusual sekali bukan, jika dibandingkan dengan skincare sekarang yang daftar bahannya sepanjang daftar to do list mantenan.

Kalau dilihat di skincare analyzer platform, fungsi dari keenam komposisi krim adalah sbb:

COSDNA & Skincarisma

INCI

 
 
 

Tekstur krim

Konsistensi Seger Snow Vanishing Cream ini lumayan thick, dan ngingetin saya banget sama bentukan nivea creme yang legendaris itu. Krim ini agak tricky ketika dibaurkan, karena susah meresap kalau dibeberkan oleh tangan yang lembab. Tapi kalau dibeberin sama tangan yang kering, dia bisa terserap dengan cepat. Kalau aku, biasanya krimnya aku usap-usap dulu di tangan kering, baru aku aplikasikan ke wajah lembap (bukan basah). 


 

Tekstur seger snow vanishing cream, thick banget

Tekstur vanishing cream di kulit
Agak pe-er ngebeberinnya


Kesan pemakaian

Karena teksturnya sangat thick, oklusivitas krim ini juara banget. Kalau wajah kita masih lembap habis cuci muka misalnya, krim ini akan efektif banget menahan hidrasi di wajah biar ga poofed, hilang ke udara. Bagi pemilik wajah berminyak, menggunakan krim ini terlalu banyak bakalan meningkatkan potensi clogged pore dan munculnya jerawat. Jadi, jangan banyak-banyak ya pakainya. Atau hindari aja sih, kecuali kalo mau pake ini buat krim tangan, soalnya lebih murah dari Nivea kan :D

Kalau aku pribadi, dengan tipe kulit normal to oily serta panjang & lebar wajah sekitar 20 cm (lebar banget), krim selebar setengah centi aja udah cukup untuk satu muka.

Seperti layaknya moisturizer pada umumnya, krim ini meninggalkan rasa agak lengket di wajah. Dua jam pertama wajah masih terlihat matte, tetapi lama-lama minyak wajah akan mulai keluar.

Overall, Seger Snow Vanishing Cream tidak terlalu pleasant di wajah, karena di wajah saya bikin jerawatan. Terlalu thick buat kulit oily acne prone seperti saya. But considering harganya sangat murah, saya ga menyesal beli ini karena toh masih kepake buat hand cream.
 

Seger Snow Lightening Cream (Pink)

Klaim:

Beautifies the skin making it soft and bright.

Kembar plek sama yang vanishing cream. Emang pelembab murah jangan diharapkan terlalu muluk2 sih ya...tapi kalo itu stok label udah mau habis, bisa banget loh copywritingnya dipercantik @segersuryaofficial

Klaim #2:

Mengandung vitamin B3, melembutkan kulit dan meningkatkan elastisitas klit, melindungi laosan luar kulit dan menghindari kulit kering karena panas terik matahari, menyamarkan bintik-bintik hitam, sehingga kulit tampak lebih putih dan merata.

Lebih putih dan merata =_=;

Cantik ga harus putih ya teman-teman... pigmen itu anugerah Tuhan yang keren banget like, imagine di cuaca hot potato-potato gini you doesn't have to apply as much sunscreen as our white fellas because our skin is so damn resilient? Yang putih2 itu tuh, kepanasan 5 menit aja harus buru-buru cari gel lidah buaya karena kulitnya merah2.

Gelap itu beda dengan kusam. Gelap itu emang kita banyak pigmen, tapi kalo kusam itu kulit muka tamengnya udah berupa kulit mati semua... Kulit gelap bisa glowing maupun kusam, sama juga kaya kulit putih.

Kecuali kalo kulit kalian gelap dan berjerawat, baru tuh kulit dibenerin. Tapi ya benerin jerawatnya aja ga perlu minta putih :D
 

Ingredients:

Aqua demineralisata, Stearic Acid, Glycerin, Niacinamide, Triethanolamine, Phenoxyethanol, Cetyl Alcohol, Perfume
 

Ini keterangannnya di skincare analyzer platform:

Cosdna & skincarisma



 

Tekstur krim

Dibandingkan dengan saudaranya, konsistensi Seger Snow varian Lightening Cream ini lebih cair dari varian Vanishing Cream. Warnanya agak pearly, sekilas mengingatkan saya pada krim abal-abal Baby Pink. Tadinya memang agak ragu mau coba, tetapi setelah googling ternyata ga nemu review bahaya, jadi ya saya lanjutkan dengan bismillah. Ternyata setelah hampir satu bulan, ga ada efek mengerikan yang too good to be true, jadi ya saya simpulkan krim ini: aman.

Agak runny, walaupun masih tergolong thick


Kesan pemakaian

Meskipun konsistensinya lebih cair, tetapi efek oklusif yang dirasakan kurang lebih sama dengan versi Vanishing Cream. Sebagai pemilik kulit normal-oily-labil, wajah saya juga ga bisa pakai krim ini banyak-banyak karena bikin clogging pore dan jerawatan. Keunggulan tekstur cair ini yang saya rasakan cuma ada di kemudahan pengaplikasian, dimana varian yang lightening ini less tricky to spread over. Jadi bisa banget kalau mau ditotol langsung di wajah baru kemudian diusap seperti moisturizer water base yang lebih mahal. One less thing to worry about lah.

 

 

Personally, saya puas banget dengan produk ini. Emang ga meet their claim dan ga yang wow banget efeknya, but it works exactly what a moisturizer should do: ngunci hidrasi (dan nutrisi) di wajah biar ga terbang kebawa angin. In spite of not providing the hoo-ha beautifying effect, tapi I can ensure you kalo produk ini worth every single penny. Dengan catatan kalian ga alergi dengan ingredientsnya, dan kalian ga expect anything too high from this fella.

Dan tetap, jangan malas bersihkan wajah pakai oil-based cleanser biar minyak-minyak dan kotoran di wajah kalian keangkat habis.

Lima ribu perak cuy, masa mau ngarepin wajah kalian langsung bersinar kaya Bae Suzy?

Aug 14, 2020

Di Tanah Lada: A Pungent and Sharp Flavor of Children World

Sebelum ada lagi pembaca yang terjebak judul seperti saya, mau ngingetin aja, novel ini bukan bercerita tentang kepulauan Maluku, tapi Lampung. Entah kenapa ketika saya membuka buku ini, otak saya mengira penghasil lada nasional adalah Maluku, padahal googling saja belum.

Walaupun kisah mengenai pedas dan 'nyegrak'nya hidup tetep disampaikan penulis dengan menyakitkan. Bisa banget gitu, ending cerita dibuat se'nganu' itu.  

 

Sebelum mulai, mau trigger warning dulu nih. Di buku ini terdapat KDRT, abuse, child negligence, dan --huge spoiler-- suicide attempt. If you are sensitive to those, you might want to wait reading this book until you are stable enough. 

Jujur, bagi saya novel ini dimulai dengan agak...uncommon. Belum habis halaman pertama, saya sudah disuguhkan oleh babble bocah umur 6 tahun yang tidak seperti anak kelas 1 SD (TK B?) yang biasa saya temui. Tokoh utama, Ava, adalah anak umur 6 tahun yang dilatih oleh kakeknya untuk berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ia tidak pernah berkata "nggak", dan selalu membawa kamus kemana-mana untuk mencari tahu maksud dari kata-kata yang ia dengar/baca. Seumur itu ia sudah membaca novel misteri karya Agatha Christie yang dibintangi oleh 'Mohammad Poirot'. 

Anyway, cara bercerita main character di dua paragraf pertama buku ini sebenarnya sudah cukup untuk ngasih kode bahwa perkembangan cerita, alur berpikir yang digunakan di buku ini, bakalan tidak biasa juga. Yup, story telling seperti ini dipakai dari awal sampai akhir cerita.

In case you can't stand how Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (I'm copas-ing those name ofc) wrote the story in the beginning, you might want to drop the book early. Ga ada perubahan story telling atau point of view kok, di buku ini. 

Tapi bukan Dee namanya kalau ngedrop buku fiksi cuma karena ga suka. Her stingy ass would not tolerate any of her resources going fruitless.

Ava dibesarkan dalam keluarga abusive dan jauh dari ideal. Di umurnya, ia sudah mengkotak-kotakkan predikat "Papa" = "jahat, monster", dan "Mama =  baik". Anggapan ini semakin diperkuat ketika ia bertemu dengan P yang juga memiliki Ayah yang abusive. Di buku ini diceritakan bagaimana Ava dihadapkan pada kekerasan fisik dari dua orang figur ayah, serta sosok Mama yang terlalu tidak berdaya untuk melawan atau kabur. Pertemuannya dengan P mengubah situasi menjadi semakin kacau, dimana Ava mulai memiliki attachment dan rasa ingin melindungi satu-satunya orang yang ia bisa bahagiakan. 

Spoiler, of course. You might want to skip this whole paragraph. Saya ga ngerti alur pikir manusia sama sekali, tapi saya bisa membaca why, tokoh dalam buku beberapa kali mengambil jalan yang sama sekali illogical. Misalnya ketika Ava memutuskan untuk menemani P kabur ke rumah Nenek Irma sampai menukar-kurang handphone yang dibelikan Mamanya yang nota bene adalah satu dari sedikit orang yang ia sayangi dan percayai. Atau bagaimana P justru memutuskan untuk terjun ke laut, tepat setelah Ava memberinya satu hal yang sangat bermakna: nama baru. Setelah menghadapi rasa takut dan bingung yang bertubi-tubi, jika ada satu saja trigger yang menjanjikan seseorang untuk lepas dari penderitaan, bisa jadi mereka akan ambil jalan itu. Instead of choosing other more sensible option yang bisa orang normal ambil. Ga orang dewasa, ga anak kecil, siapa saja mungkin.

Saya belajar, orang-orang dengan latar belakang constant abuse bisa menumbuhkan cara berpikir dan coping mechanism yang tidak normal juga. Mereka bisa mengira-ngira, orang-orang yang terlibat dalam abuse mungkin sayang mereka. Tetapi, ketika dihadapkan dengan jalan pintas untuk lari dari semuanya ketidaknyamanan dan rasa sakit, bagi mereka, itu adalah pilihan yang sangat masuk akal. Pas aja, gitu.

Saya juga belajar, dalam menghadapi seseorang korban kekerasan, jalan keluar/solusi yang kita kira baik, belum tentu dipersepsikan mulia juga bagi mereka. Di buku ini, korban sudah terlanjur antipati sehingga jika sudah terlambat, ya sudah bye. Apalagi kalau korban sudah menerima perlakuan jahat sejak kecil, dampaknya malah tertanam makin dalam, kan.

Tricky juga nih kan, untuk menghadapi anak korban kekerasan. Psikologi manusia memang rumit. Untung saya ga ambil jurusan itu pas kuliah dulu, hehe.

--
Get your own ebook here:
Google playbook

Aug 11, 2020

Perempuan Bersampur Merah: Perempuan di Tengah Tragedi

Hal yang saya pelajari dari mengacu ke review orang tentang sebuah buku adalah: do not expect much. Teorinya sih ngerti, cuma prakteknya masih suka kepeleset. Untuk memulai buku baru (judul benar-benar baru dan bukan buku ke sekian dari series) literally kita butuh mindset kertas putih, like, expect nothing dan nikmati aja apa yang penulis kasih ke kita.

Ngaku. Jujur ketika membaca Perempuan Bersampur Merah ini, saya udah expect konflik macem-macem kindof kejadian detail, konspirasi antara kubu "dukun santet" dan kubu lawannya. Kayak yang, bagaimana kok bisa mereka dari tadinya mungkin bertetangga baik-baik aja, sampe jadi saling bunuh. Serta bagaimana peran si penari gandrung (yang bersampur merah - hence the title) di tengah-tengah konflik tersebut. Tapi ternyata ini novel mengambil sudut pandang dari satu sisi, anak dukun santet, yang ga tahu apa-apa. Murni korban.

Dan saya akhirnya...well, baiklah. Let's try finishing this damn book and enjoy how the victim and families live her life before, during, and after the massacre.



Okay, terlepas dari sisi historical-conflict geek saya yang tidak terpuaskan, sebenarnya buku ini sangat bisa dinikmati. Walaupun penyampaiannya maju mundur dan banyak flashback, tapi inti cerita sendiri sebenarnya sangat simpel sehingga gampang banget diikuti. Soalnya selain memang ceritanya cuma berfokus pada satu tokoh utama aja, juga ga banyak komponen-komponen sejarah yang muncul dan hyperventilating. Fakta sejarah yang muncul (pembantaian dukun santet Banyuwangi 1998) diceritakan hanya sekilas, sebagai bagian dari latar belakang dan setting cerita. Kalau dibandingkan dengan novel sejarah yang saya suka seperti Laut Bercerita atau Rahasia Meede misalnya, kan fakta-fakta sejarah benar-benar dijadikan cerita, dan benar-benar memberi nyawa ke keseluruhan cerita.

Perempuan Bersampur Merah bercerita tentang seorang anak perempuan yang Bapaknya menjadi korban penganiayaan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet di Banyuwangi. Novel ini bercerita tentang bagaimana tokoh utama, Sari, menelusuri kebenaran mengenai orang-orang yang pada hari naas tersebut, ikut menyeret Bapaknya menuju maut. Dalam pencarian, Sari ended up bergabung dalam grup tari gandrung, serta menjalin kasih dengan salah satu teman laki-lakinya sejak kecil, Rama. Namun, Rama ternyata harus kuliah ke ibukota, meninggalkan Sari tanpa kepastian di ujung timur Pulau Jawa.

Sebenarnya konflik di buku ini ditulis cukup kompleks. Tidak hanya antara Sari dan 'pelaku', ada juga cinta segitiga Sari-Rama-Ahmad dan permasalahan di sanggar gandrung yang Sari ikuti. Cuma, banyak sekali penokohan-penokohan yang sebenarnya peranannya terhadap keseluruhan plot tuh kecil banget, sehingga kayanya bakalan lebih bagus kalo disatukan dengan karakter lain. Karakter Mbak Nena misalnya, sebenarnya memberi "bumbu" di kehidupan per-sanggar-an (sampur dan pacaran) dan menunjukkan bagaimana kuatnya karakter keluarga Sari untuk menerima perempuan yang berbuat salah. Tapi, kayaknya tokoh Mbak Nena ini bisa disatukan saja dengan tokoh Mak Rebyak si pemilik sanggar. Soalnya, dua tokoh ini unsur-unsurnya banyak yang mirip. Dan dengan pembobotan purpose terhadap plot yang sudah sedikit, masih dibagi dua lagi, jadinya saya hampir lupa kalau dua tokoh ini sebenarnya penting dalam plot.

Lalu mengenai revealing kasus pembantaian Bapaknya Sari. Kalo lihat dari novel misteri dan detektif, atau bahkan novel romance biasa yang saya baca selama ini, biasanya pengungkapan final di klimaks buku akan lebih nendang lagi kalau pembaca sudah kenal dulu dengan oknum-oknum ini. Di buku ini, Intan Andaru sebenarnya sudah di arah yang benar dengan membuat orang terdekat tokoh, yaitu Bapak dari tokoh Rama, sebagai salah seorang yang mendukung pembantaian dukun santet. Tapi, kalau mau lebih nendang lagi efek "kaget dan ooh gitu"nya, harusnya Sari lebih banyak dibuat head to head dengan Bapaknya Rama ini. Jadi pembaca bisa mendalami lebih baik mengenai karakter yang antagonizing ini, sehingga bisa menyimpulkan dengan lebih baik kenapa ia dan orang-orang yang sekubu dengannya begitu menentang praktek "dukun santet". Eksekusi pengungkapan di buku ini sayangnya, dibuat sekadar lewat dan tidak klimaks sama sekali, sehingga saya sempat bingung sebenarnya fokus yang disampaikan di buku ini apa.

Tapi kalau merujuk lagi ke judul buku, "Perempuan Bersampur Merah", sepertinya sudah benar sih bahwa ini memang buku tentang Sari, bukan tentang pembantaian. Pengungkapan kebenaran kasus dibuat seadanya sehingga menyimbolkan bahwa sebagai korban, ia sudah whatever dengan kekacauan proses hukum dan HAM di negara ini. Dan sebagai perempuan, ia juga memilih move away dari Rama.

Mungkin penulis juga ingin membuat setting novel ini sedekat mungkin dengan fakta di lapangan, kali ya...

--
Get your ebook here:
- Google Playbook

Aug 7, 2020

The Lunar Chronicles Part 2: Levana is a (Relatable) Jerk

Saya nulis judul review seperti ini karena emang sebel banget sama Levana...tapi somehow saya bisa ngerti kenapa dia bisa sejahat itu. Oh, spoiler alert, The Lunar Chronicles ini happy ending kok, no worries. Kai selamat, itu yang terpenting.

Might contain spoilers, if you have not yet reading the 1st and 2nd installment. My rambling about them here.


Buku 3 The Lunar Chronicles yang bertajuk Cress masih bercerita tentang bagaimana Cinder dan Thorne melarikan diri dari kejaran tentara Eastern Commonwealth. Kali ini ditemani Scarlet dan Wolf, mereka kontak-kontakan dengan Cress, programmer Lunar yang membocorkan motif sebenarnya Queen Levana untuk menikahi Emperor Kaito. Di awal buku, belum apa-apa rencana Cress untuk kabur dari petinggi Lunar ketahuan, dan tim kecil Cinder aka Princess Selene, aka the rightful queen of the Luna, akhirnya terpecah. Cinder fleed together with Wolf, Thorne stucked with the hacker, meanwhile Scarlet was kidnapped.

Dengan tanggal pernikahan Levana dan Kai yang sudah diumumkan, Cinder memutuskan bahwa satu-satunya cara menunda pernikahan itu adalah dengan menculik pengantin pria-nya. Ide brilian, dengan sedikit catatan tidak penting.

Satu, yang akan dia culik adalah kaisar Commonwealth dengan pengamanan seperti layaknya well... kepala negara.

Dua, Cinder masih jadi buronan dan harga kepalanya saja melebihi nilai Provinsi Jepang.

Tiga, Satu-satunya orang menemaninya, yang seharusnya cukup kompeten di Rampion sedang dalam mode shut down karena pacarnya diculik musuh. Iko does not counted,  since she was technically an aircraft. And that thaumaturge's guard? No way.

Empat, Bagaimana mereka menghadiri acara tanpa undangan?

Lima, Bukankah Kai marah pada Cinder karena telah menyembunyikan jati dirinya?

Cress berfokus pada bagaimana Cinder memecahkan lima masalah tersebut, dengan ending yang (comparatively) baik. Intinya, Kai berhasil diculik, dan pernikahannya dengan Queen Levana harus ditunda. Hurrah sorry not sorry about the spoiler.

Seperti judulnya, Cress juga berfokus tentang petualangan Cress sendiri, dari bagaimana ia ketahuan hendak kabur dengan Cinder (technically, it was Thorne), bagaimana ia terjebak di tengah-tengah padang pasir Sahara dengan Thorne yang kehilangan penglihatannya, dan bagaimana ia disadarkan bahwa Thorne ternyata tidak sehebat hasil stalking-nya. I am not writing all the interesting plot about her btw, so you should check the book out untuk tahu selengkapnya.

Buku 4, Winter, aka the thickest book out of the bunch is all things, dari Kai dikirim pulang, Kai dikirim lagi ke Luna, Kai menikah, Kai this and Kai that. Yay so much Kai! Karena emang bukunya tebel banget tbh, paling capek pas nyelesein ini jujur aja.

Bukan cuma karena halaman dan plotnya banyak, tapi juga karena lumayan dragging. Saya ngerasa kalo tokoh Princess Winter ini ga banyak bawa meaning buat plot cerita, selain memberi sedikit twist di buku Cress dan tambahan warna ke penokohan Levana dan Cinder sendiri, either sebagai Ibu tiri yang keji (oh-so-typical) dan long-lost sepupu yang baik. Bawang Putih dan Bawang Bombay banget emang. Anyway, saya malah ngerasa kalau Jacin, long-life friend dan guard  dan "pacar" Winter malah lebih "kepake" dalam plot. 

Terlepas dari drama perWinter-an di volume ini, plot yang ditulis Meyer di buku terakhir ini sangat-sangat padat. Secara semua tokoh, semua sudut pandang, semua kejadian, semua rahasia tumplek blek diselesaikan di buku ini. Dari 97 chapter, part yang bener-bener klimaksnya paling cuma sekitar sepuluh chapter terakhir, dimana lima backmost nya cuma ending cantik-cantik aja dari masing-masing character baik (karena karakter jahatnya udah habis) : Scarlet/Ze'ev - Cinder/Kai - Cress/Thorne - Winter/Jacin - Cinder/Kai.

Spoiler: adegan klimaks dimana Cinder dan Levana bener-bener head on head ada di chapter 89 dan 90. Kalo ga sabar ke adegan tembak-tembakan dua kubu langsung kesana aja. Or just stop there kalau udah ngantuk banget, walaupun saya ga nyaranin opsi ini karena ending masing-masing tokoh ga buruk kok. Fairytale-ish, tapi tetep cantik dan purposeful.

Balik lagi ke judul, tentang Queen Levana. Saya sangat memahami bagaimana Levana bisa jadi paranoid, insecure dan bengis. Saya belajar, bagaimana orang-orang yang terlihat ga beres, sakit, ga bener, bisa jadi punya masa lalu yang ga kita tahu, ga kita lewati. Kalau kita mengalami apa yang mereka rasakan (yang membuat mereka jadi apa yang kita lihat), sangat mungkin kita akan menjadi orang yang sama. Somehow she reminds me of Oh Hyesang character di drama MBC 내딸, 금사월. Jahatnya nauzubillah, tapi kalo dilihat lagi sebenernya dia kasihan juga.

Walaupun tetap, kejahatan adalah kejahatan. Apapun rasa sakit yang melatarbelakangi segala rasa pahit dan kebencian, keputusan apakah kita akan nyemplung ke minyak jelantah atau bergantung mati-matian di tepi bahaya biar ga sampe harus masuk lubang neraka, semuanya ada di tangan kita.

Mungkin ini klise dan teori doang, tapi kita bisa aja memilih jalan lain yang ga membawa kekotoran bagi orang lain. After all, pada akhirnya kita juga kan yang akan menelan pil pahit dari bibit busuk yang kita tanam.

"No, little niece. You are much more like me. Willing to do anything to be admired. To be wanted. To be queen,"

"I'm not like you, either. I'm doing this because you've given me no choice. You had your chance. You couldn't have just been fair. Been a good ruler who treats her people with respect..."

--
You can get your copy here:
The Lunar Chronicles #3 - Cress
- Google Playbook
- Amazon (Kindle)

The Lunar Chronicles #4 - Winter
- Google Playbook
- Amazon (Kindle)


Aug 4, 2020

The Lunar Chronicles: Kai(to) - That's the Tweet

Di salah satu televisi lokal swasta, kita sering lihat sinetron dengan tema receh dan super ga penting. Dari Cinta Tukang Cilok sampai Pacarku Satpam Ragunan, semua profesi orang kere sepertinya udah pernah dijadikan judul FTV. Tentu saja dengan bumbu-bumbu bahwa salah satu dari tokoh utama ternyata adalah orang kaya. Mereka bertemu dalam situasi yang menyebalkan, but shit happens sehingga mereka berakhir pacaran, menikah dan hidup bahagia selamanya.

Seperti inilah kesan pertama yang saya tangkap ketika saya membuka halaman-halaman awal dari volume pertama serial The Lunar Chronicles ini. Ber-setting ribuan tahun dari sekarang dimana makhluk hidup diceritakan mulai menghuni bulan dan bumi dipenuhi dengan manusia hybrid, buku pertama mengisahkan tentang Cinder Linh, seorang mekanik perempuan pemilik lapak yang menerima order untuk mereparasi robot android seorang pelanggan. Pelanggan tersebut ternyata adalah Prince Kaito, putra mahkota kerajaan Eastern Commonwealth. Ganteng, berkharisma, sama sekali ga minta dipanggil 'Yang Mulia', jauh-jauh keluar istana khusus untuk menemui perempuan yatim piatu dan berbau oli mesin seperti Cinder. So FTV, right?



Kaisar Commonwealth dikisahkan meninggal terserang wabah yang telah merebak di bumi selama 12 tahun, dan memaksa Kai untuk naik tahta menggantikan ayahnya. Baru lima menit Kai berduka, penguasa tiran Lunar, Queen Levana tiba-tiba menghubunginya untuk menagih perjanjian perdamaian antar planet melalui ikatan pernikahan. Sementara itu, Cinder yang juga baru saja kehilangan saudara tirinya akibat wabah, akhirnya menyadari apa motif Queen Levana sebenarnya, serta menemukan siapa sebenarnya dirinya. Namun, ketika Cinder nekat merangsek pesta dansa yang diadakan kekaisaran untuk menyadarkan Emperor Kai akan bahaya dari Levana, situasi berbalik dan ia justru dituduh sebagai pengacau yang membahayakan perdamaian dua kekaisaran. Volume 1 berakhir dengan Cinder dijebloskan ke dalam penjara, dan pakta perdamaian lagi-lagi belum bisa terwujud.

Buku kedua, Scarlet, dibuka dengan adegan seorang anak perempuan yang kesal karena detektif setempat memutuskan neneknya yang menghilang memang sudah pikun dan kemungkinan bunuh diri. Selagi ia terjebak di tengah-tengah pelanggan rumah makan yang sedang beramai-ramai menghina Cinder Linh, sang pengacau pesta kekaisaran yang ternyata adalah warga kelas dua Cyborg, Scarlet Benoit dengan nekat membela anak perempuan enam belas tahun yang ternyata adalah Lunar tersebut. Situasi tidak berakhir mulus, yang memaksa Scarlet untuk kabur ke rumah. Ia diikuti oleh seorang pria yang sebelumnya ia temui di rumah makan, yang ternyata memiliki petunjuk mengenai neneknya yang diculik karena menyimpan suatu rahasia. Sementara itu, Cinder diceritakan berhasil kabur dari penjara dengan bantuan tahanan lain bernama Thorne. Keduanya menjadi buronan kekaisaran dengan menumpang kapal curian.

Secara garis besar, alur cerita yang ditulis Marissa Meyer sebenarnya sangat FTV. Namun, ia berhasil menggambarkan berbagai macam konflik dengan apik, sehingga intensitas cerita bisa dimanage dengan pas sampai ke akhir buku. Terlepas dari kesan awal yang FTV banget, perkembangan cerita tiap buku sebenarnya cukup berbobot. Marissa Meyer ga hanya memfokuskan cerita pada hubungan Kai - Cinder - Queen Levana, tetapi juga menggali konflik politik antar kekaisaran, perdebatan kepentingan dengan pimpinan provinsi di bawahnya, dan bagaimana penguasa menghadapi konflik batin ketika harus dihadapkan dengan pilihan yang sama-sama bodoh. Konflik yang rame dan multidimensi ditambah dengan adegan action di sana-sinilah, yang membuat membaca The Lunar Chronicles jadi seru. Alih-alih FTV, eksekusi penceritaan Meyer lebih mengingatkan saya pada bagaimana para scriptwriter Kdrama menuliskan alur drama mingguan mereka. Not quite to the point seperti Jdrama, tetapi muter-muternya masih sangat bisa dinikmati.

Serial ini sedikit banyak mengajarkan saya bahwa being a political leader is awful, sometimes what brings the greater good is indeed the most nonsensible choice available. Bisa jadi, keputusan-keputusan bodoh yang diambil pemerintah memang ada alasannya, and at that point memang pilihan itulah yang akan membawa negara menuju the greater good. Assuming that the leader put their integrity in the right basket, of course.

And having someone constantly throwing tantrum as a leader means disaster for everyone. Courtesy of Queen Levana.

The Lunar Chronicles ini bukunya nyambung-nyambung ya. Jadi kalau pembaca baca buku-bukunya secara acak, mungkin akan miss sama beberapa konteks adegan yang ditampilkan. Pembaca mungkin akan paham-paham aja sih, cuma nikmatnya jadi sepotong. Soalnya masing-masing installment punya fokus dan step-stepnya sendiri-sendiri dalam drama tiga orang yang saling 'cinta' ini. Ga seperti let's say Harry Potter atau Percy Jackson dimana tiap buku selalu ditutup dengan mission accomplishment, misi yang dijalani Cinder baru akan selesai di buku 4. Kinda reminds me with how Maggie Stiefvater wrote The Raven Cycle, cuma ini versi less frustrating nya haha.

(I swear baca The Raven Cycle tuh lelah banget, banyak banget adegan yang ga jelas kontribusinya buat keseluruhan plot)

Buku 1: Cinder fokus ke pengenalan tiga tokoh yang saling berhubungan: Cinder - Kaito - Levana.

Buku 2: Scarlet lebih banyak berfokus ke petualangan Cinder dalam pelarian, dengan penambahan tokoh baru Scarlet dan Wolf.

Overall, Cinder Linh masih menjadi center of plot baik di buku pertama maupun buku kedua. Potongan adegan dari sudut pandang Scarlet dan Wolf mungkin terasa agak filler di awal-awal, tapi akhirnya benang merah antara Cinder dan Scarlet-Wolf terhubung di tengah-tengah buku. Dengan adanya tambahan karakter Scarlet dan Wolf, part Kai dan Levana memang jadi agak berkurang. Tapi Marissa tetap menjaga bobot dan purpose kemunculan mereka terhadap keseluruhan plot, sehingga bagian mereka di buku kedua ga terasa filler.

Saya belum selesai baca buku 3, tetapi sepertinya cerita masih akan fokus pada kehidupan Cinder Linh dalam pelarian, dengan tambahan karakter-karakter baru seperti di dua buku sebelumnya. Yang bisa saya spoil: seperti judulnya: Cress, nama main character tambahan di buku 3 ini juga bernama Cress.
Finally we arrived at why I wrote the title of this post that cringy way... Well sebenernya ini karena saya udah attached banget sama Kai (walaupun baru selesai buku 2).

I hope I'm not biased karena saya sempet ngebiasin penyanyi Kpop yang namanya (EXO) Kai. Atau karena saya juga suka banget tokoh di manga kesayangan saya yang namanya Kaito (Kid).

(I'm totally not imagining Prince Kai having face like 2012-2013 Kai while having royal outfit similar to what Kaito is using while in duty, okay. Or Kai wearing that red royal outfit at Exordium dot. Leave me alone)

EXO Kai pic credit: Asia Today
Kaito Kid pic credit: edogawaconan.com


--
Book 3 & 4 review here

--
You can get your copy here:
The Lunar Chronicles #1 - Cinder
- Google Playbook
- Amazon (Kindle)

The Lunar Chronicles #2 - Scarlet
- Google Playbook
- Amazon (Kindle)