Sep 28, 2020

The Poppy War: A Triple Threat of Brutality

So, what's the deal with one of the most hyped book in twitter community?

Mungkin saya jadi salah satu yang telat start untuk bicara tentang The Poppy War. Karya R.F. Kuang sepertinya jadi salah satu buku yang sering banget dimention (ditanyakan, disebut, direkomendasikan) di twitter literarybase sejak awal PSBB. Anyhow, I finally put my hand on its pages.

And

It's damn intense.



Yes, this is a freaking trigger warning. This book include a "good" amount of war cruelty, graphic content, rape, murder, gore, human torture, just any usual thing you can find in a war or "common" hard life. Kalau kalian ketrigger dengan scene tersebut, lebih baik kalian drop buku ini. Sayang loh, mahal soalnya.

Saya ga bicara betapa intensnya buku-buku Dan Brown. E.S. Ito (review 1, review 2). Or even Laut Bercerita or The Weight of Our Sky. Buku ini benar-benar at the whole different level, saya ga pernah merasa selelah ini baca buku fiksi. Saya mulai butuh break saat saya bahkan belum separo jalan. Saya sering sekali menilai sebuah cerita membosankan, datar, tidak intense, tetapi saya ga nyangka bahwa cerita fiksi bisa bikin se-lelah ini.

Mungkin saya kena hukuman Dewa Buku karena sempet mengkritik karya beberapa penulis, haha. You want plot intensity? Here, enjoy and have a brilliant day.

The Poppy War (diterjemahkan oleh Gramedia Pustaka Utama menjadi "Perang Opium", saya baca versi Bahasa Inggrisnya by the way) bercerita tentang Fang Runin, seorang yatim piatu korban perang yang bertekad untuk melarikan diri dari pernikahan paksa yang direncanakan orang tua angkatnya yang abusive.  Dengan segala cara, ia bertekad untuk lulus ujian masuk Academy Sinegard, satu-satunya akademi di kekaisaran Nikara yang menggratiskan seluruh biaya hidup dan sekolah. Namun, menginjakkan kaki di Sinegard ternyata baru permulaan dari kerasnya hidup yang harus dia lanjutkan.

Second warning: maybe some spoiler. Maybe not. Saya bingung gimana bahasnya soalnya kalo ga mention plot.

Di awal buku, saya sudah disuguhkan dengan kerasnya realita hidup yang harus dihadapi Rin. Bukan keras dalam artian dikejar-kejar monster (ref: Percy Jackson) atau memiliki kekuatan gaib yang aneh (ref: Harry Potter), tetapi hidup yang benar-benar brutal. Ia menyogok satu-satunya guru di desanya dengan opium curian untuk mengajarinya seluruh materi ujian. Ia menolak tidur untuk persiapan ujian.  Bagaimana ia benar-benar mendorong dirinya melampaui batas untuk mencapai tujuan, her persistence, her painful way of life, her paranoia on failure, her "tiger mother" attitude toward herself, benar-benar tipikal Asian. Saya bisa ngerti keputusasaan Rin, tapi tetap tidak membuat she any less frightening. And it's only the beginning.

Kengerian ini berlangsung sampai trial pertama, dimana Rin akhirnya memilih salah satu spesialisasi studi. Baru saja ia berhasil menempuh satu milestone pembelajaran dari gurunya, tiba-tiba Nikara menerima ancaman perang dari negeri seberang, Federation of Mugen. Di tengah-tengah pertempuran, Rin terpaksa mengeluarkan ilmu yang ia peroleh dari Master Jiang untuk memanggil kekuatan dewa Phoenix. Menyadari betapa berbahayanya Rin terhadap status quo perpolitikan internal Nikara, Master Irjah sang ahli strategi merekomendasikan Rin kepada peleton "buangan" yang berisikan algojo-algojo pembunuh. Di sana, Rin kembali bertemu dengan legenda Akademi Sinegard yang sempat menghilang, Altan Trengsin.

Baru aja saya ambil napas dan merasa saya udah cukup terbiasa dengan kegilaan setting novel ini, datanglah war scene dan THIS IS WHERE THE REAL SHHT COMES. Sudah saya wanti-wanti di atas, oke.

Bersetting perang (beneran) antara Nikara dan Mugen, bagian II kurang lebihnya menceritakan bagaimana perang berlangsung. Dari manajemen pleton (pasukan?), intrik antar penguasa lokal, sampai adu licik-licikan antar negara, semua ada di sini. Tapi tetep yang paling bikin lemes ya adegan kekerasan perangnya. Sebenarnya adegan kekerasan dan horor perang yg digambarkan penulis tuh sangat wajar, like, yang namanya perang ya pasti barbar dong. 

Tapi kan tetep aja bikin merinding hey T_T

Masih ngikutin? Kalian emang batu, ya. Anyway, adegan perang yang bener-bener barbar sebenernya berakhir di bagian kedua, jadi kalian udah bisa tenang ketika baca bagian ini...

...Or not

Kejutan R.F. Kuang belum selesai, teman. Main character belum mati, jadi dia masih akan bergerak. Bersama Altan, mereka sepakat untuk menjalankan satu-satunya cara yang tersisa untuk mengalahkan Mugen, yaitu dengan memanfaatkan kelebihan yang mereka miliki. Saya ga akan ekspos kelebihan apa tepatnya yang mereka miliki (karena bakal nge-spoil klimaks dari Bagian I), tapi dalam perjalanan ini, mereka akhirnya menemukan kenyataan mengenai masa lalu Altan. Yang pastinya bakal bikin kalian terenyuh sendiri.

Saya ga bisa ngapa-ngapain setelah baca ini, karena saya baper sendiri tentang Altan.


Long story short? The Poppy War ini sensasinya mirip seperti baca Laut Bercerita atau The Weight of Our Sky yang di-fusion dengan sistem super human The Kane Chronicles. Tiga part buku ini masing-masing akan menusuk hati kalian dengan grief yang berbeda-beda.

Bagian I, kita akan dikocok-kocok sama kerasnya kehidupan Fang Runin. Seorang anak perempuan bisa melakukan hal-hal segila itu kalo udah muak sama kehidupan. You think your life sucks? Fang Runin beg to laugh.

Bagian II, kita dibuat merinding sama kekejaman dan kebrutalan medan perang. Scene pertempuran yang ga terlalu dominan justru malah manjur banget buat nonjolin horor yang ditimbulkan dari kebengisan prajurit-prajurit yang diutus sebagai mesin pembunuh atas nama Kaisar. Warfare ain't for the weak-hearted.

Bagian III, kita dibuat ngenes sama nasib tokoh cerita yang ternyata menyimpan cerita yang jauh lebih tragis dari apa yang bisa di-handle manusia kebanyakan. Terutama manusia-manusia "lembek" kaya kita yang udah terlalu banyak dibuat nyaman oleh feeling economy.

 

Buku ini kabarnya diadaptasi dari perang Sino-Japanese pertama. Which make sense, karena peta wilayah yang dipampang di depan buku memang sekilas mirip dengan peta geografi Jepang, China dan Taiwan saat ini.

Kalau kalian ga punya masalah dengan mental kalian, ga punya anxiety akan trigger tertentu, dan ga masalah dengan adegan kekerasan yang intens, saya berani rekomendasikan buku ini ke kalian. Saya gatau rating buku ini untuk usia berapa, tapi saran saya kalau kalian masih remaja, belum lulus sekolah, lebih baik cari aja buku yang lain. Hidup kalian masih jauh, nak.



Rating: 4.5 / 5
 

-------
Get your ebook here:
- Amazon Book (kindle)
- Google Playbook (english)
- Google Playbook (Indonesia)




Sep 25, 2020

Literally: A Story of Race To The Sun

My love for Rick Riordan's writings udah mengacaukan feeling brain saya. Total buku Rick Riordan Presents yang sudah saya selesaikan saat ini adalah 4 judul, dengan skor masing-masing:

This is a personal opinion, okay.


Dengan hasil yang fifty-fifty ini, dan fakta bahwa Uncle Rick did not write any of them stories, saya seharusnya sudah mulai menurunkan ekspektasi saya terhadap any of them books dan menikmati ini buku seperti kalo saya ga kenal Uncle Rick. But still, yeah. 




Anyway. Buku ini bercerita tentang seorang ABG dengan keturunan monsterslayer berlatar mitologi Navajo (salah satu dari sekian kelompok indigeneous people of the US - atau sering kita sebut suku Indian). Suatu hari, tiba-tiba ia melihat seorang (seekor?) monster datang ke sekolahnya, namun dengan wujud manusia normal yang nampak terhormat. Sebagai satu-satunya orang yang mampu melihat wujud monster tersebut sebenarnya, ia harus memastikan Ayah dan adiknya aman dari kejaran makhluk tersebut. Masalahnya, Mr. Charles, sang monster, ternyata menyamar sebagai calon bos besar Ayahnya.

Benar saja kan, Ayahnya diculik Mr. Charles. Dengan petunjuk dari Mr. Yazzie, kadal bertanduk yang ternyata adalah tetua - semacam guardian  I guess? - Nizhoni, Mac dan Davery memulai perjalanan mereka menuju The House of the Sun untuk mendapatkan senjata yang dapat mengalahkan monster. Tentu saja perjalanan mereka tidak mudah, mereka harus memperoleh 4 hadiah terbaik untuk Spider Woman, yang akan menunjukkan kepada mereka Jalan Pelangi, jalan untuk mencapai Rumah Matahari.

This theme could turn good. Masalahnya, somehow buku ini gagal menarik dan memaksa saya untuk terus membaca. Padahal, petualangannya cukup kompleks. Dalam 182 halaman, para tokoh telah dihadapkan dengan banyak sekali tantangan yang seharusnya cukup memuaskan dahaga saya akan kesialan tokoh. Apa asiknya novel kalau main character nya punya plot cerita yang mulus, bukan?

Poin-poin petualangan dalam plot buku ini rasanya seperti...grocery list? Memang ada banyak sekali hambatan dalam perjalanan Nizhoni, tetapi saya ga bisa menangkap serunya. I feel like reading a Cinderella book, dimana plot-plot lewat begitu saja tanpa bisa menarik adrenalin dan hati saya.

Saya tidak bisa merasakan Nizhoni yang (harusnya) sedang terjepit, berpacu dengan waktu dan berusaha mati-matian berusaha menyelamatkan Ayahnya.

Saya tidak bisa merasakan Nizhoni yang (harusnya) terguncang, melihat Mac, adiknya, tiba-tiba menghilang.

Saya tidak bisa merasakan Nizhoni yang (harusnya) sudah berada di titik kritis setelah lagi-lagi sahabatnya gagal menghadapi ujian.


Pun dari penggambaran setting dan karakter mitologi, saya merasa mereka hanya dijadikan karakter tambahan. Semacam bumbu penyedap,  agar cerita tidak kosong. I do aware kalau buku ini bukan buku referensi budaya, sehingga saya ga seharusnya mengharapkan informasi mengenai mitologi Navajo. Tapi saya rasa keterlibatan mereka dalam cerita benar-benar sangat kurang, terutama untuk buku yang ditulis di bawah brand Rick Riordan Presents. Jika kita ibaratkan ujian yang harus dihadapi Nizhoni cs ini adalah seleksi masuk universitas, makhluk mitologinya ini seperti hanya jadi staff yang bertugas mengantarkan main characters ke actual trial. No clear personality, no actual relationship with main characters, pokoknya benar-benar hanya numpang lewat.

Kok rasanya saya lebih banyak dapat insight mengenai indigenous people dari karakter Piper McLean di Heroes of Olympus, padahal dia cuma satu dari tujuh tokoh utama. Uncle Rick bahkan hampir selalu fokus pada latar belakang Piper sebagai putri Aphrodite, daripada sebagai keturunan Cherokee.

Apa mungkin penulis memang ingin fokus ke judul, ya? Race to The Sun, berarti memang cerita difokuskan kepada perjuangan Nizhoni untuk menghadapi ujian dalam perjalanan mencapai Rumah Matahari. But I don't know. I feel like despite the intention, seharusnya cerita ini bisa dibuat lebih menarik lagi.

Spoiler: Namun, saya tetap mau kasih credit ke satu bagian ending yang menurut saya cukup menyentuh. Dalam buku ini, karakter Nizhoni diceritakan sebagai anak perempuan yang baru puber, craving for attention dan desperate for being famous. Namun, ketika ia dipaksa memilih, Rebecca menunjukkan character development untuk tokoh Nizhoni yang cukup baik dengan akhirnya memutuskan untuk melepas kesempatan untuk menjadi hero, untuk menjadi terkenal, demi bisa menolong orang-orang yang disayanginya.

Bagaimanapun, saya tetap harus fair. Buku ini adalah buku middle grade, yang memang ditujukan untuk audiens anak-anak SMP. Sedangkan usia saya sudah dua kalinya anak SMP, jadi mungkin saya tanpa sadar memasang ekspektasi yang terlalu tinggi. (I'm not blaming several book titles that ruins my standard, I swear).

Walaupun saya tidak terlalu suka buku ini, tetapi audiens yang tepat mungkin akan relate dengan petualangan dan jungkir baliknya emosi Nizhoni selama menghadapi tantangan-tantangan dalam perjalanannya, menuju Rumah Matahari.


Quick Review:


 

Rating: 3 / 5


----


Get your ebook here:


- Amazon book (kindle)

- Google Playbook


Sep 23, 2020

The Shadow Crosser: A Perfect Justice for Rick Riordan Presents

Volume ketiga dari serial The Storm Runner karya J.C. Cervantes dibuka dengan pengantar dari Dewi penguasa Dunia Bawah, Ixtab. Ini berbeda sekali dibandingkan buku 1 (review here) dan buku 2 (review here) yang dibuka oleh celotehan Zane, sehingga menimbulkan efek deg-degan bahkan sebelum saya membaca kalimat pertama. Benar saja, di bab satu saya sudah diperlihatkan adegan Zane Obispo yang mengacaukan misinya. Hurrah.


Belum apa-apa, misi terakhir Zane mengumpulkan seluruh godborn yang tersebar di seluruh Amerika Serikat hampir gagal total ketika Iktan, demon yang menemani Zane ternyata berkhianat. Beruntung ia dan satu (dua) godborn terakhir bisa diselamatkan dengan bantuan teman lamanya, Brooks dan Quinn.

Namun, baru saja Zane cs akan memulai kehidupan baru yang "tenang" di SHIHOM (Shaman Institute of Higher-Order Magic), tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kemunculan kembali Ixtik dan Camazotz, villain yang sempat kita temui di buku 2. Ketika para dewa hendak mendiskusikan langkah mereka selanjutnya, mereka menghilang.

"We are no longer here, Zane"
- Ah-Puch, Chapter 24.


Sekali lagi, Zane cs harus memutar otak untuk menyelamatkan ayahnya dan para Dewa lainnya. Namun, kali ini ia benar-benar hanya memiliki empat koleganya dari buku 1 dan 2, dewa bulan dan penanggalan yang kekuatannya semakin melemah, dan beberapa godborn yang belum sempat dilatih dan sama sekali tidak tahu menahu mengenai kacaunya kondisi dunia saat ini.

Sejak buku pertama The Storm Runner series, tulisan Jennifer memang tidak pernah mengecewakan. Ia mampu menerjemahkan rumus dasar a la Rick Riordan "character's miserable-life" dan jurus "completing impossibilities after impossibilities only to meet yet another impossibilities" untuk membuat intensitas cerita semakin menegangkan. Saya sudah sempat bilang belum, bahwa eksekusi Jennifer selalu berhasil?

Well, almost. Though quite there.

Saya sangat excited baca paruh pertama buku ini, but somehow saya malah agak ngantuk di akhir-akhir. Derajat keapesan characters padahal masih cukup nge'gas', pokoknya ada aja masalah baru. Mereka juga berpacu dengan waktu yang menentukan die or no-die nya dunia mereka. Part favorit saya di paruh terakhir buku cuma di bagian backstabbing ketika salah satu villain ternyata dijebak oleh the real villain, tapi bagaimana plot terkuak masih aja terasa bland. Mungkin karena main characters ga terlalu banyak head to head dengan their actual antagonists ya? Pergulatan Zane dengan the real villain memang baru mulai di akhir-akhir banget sih, jadi mungkin agak kurang kuat 'ngangkat' nya.

Atau mungkin karena ekspektasi yang saya bawa dari buku 2 terlalu tinggi. Di buku 2 - The Fire Keeper, diceritakan bahwa villain akan membangkitkan dewa-dewi Mexica untuk bersatu menghancurkan kekuasaan dewa-dewi Maya. Namun, di buku ini ternyata keterlibatan dewa-dewi Mexica nya sangat minimal, ga sesuai dengan yang saya harapkan. Padahal saya udah berharap bakal beneran ada perang puputan antara godborns dengan dewa-dewi Mexica. Seperti ending Percy Jackson, dimana anak-anak Camp Half Blood (dan New Romans) nekat-nekatan melawan armada Kronos. (But I think it worth to mention that Zane actually faced almost as crazy battle as Percy, karena Zane di sini menghadapi perang mental dimana ibunya sempat disandera).

Kinda spoiler:
Selain itu, somehow nasib para godborns yang sempat menambah ketegangan di paruh pertama buku dengan membelot dan berniat menyerang balik para dewa-dewi Maya, endingnya dibuat sucks. Like, cuma dikasih ending dengan hukuman dari dewi yang bahkan bukan orang tua dewata mereka, itu agak menyedihkan sih. Padahal mereka sempet menambah ketegangan di paruh pertama buku. Kalau mereka dikasih adegan dimana mereka sempet berencana untuk menjadi bagian dari tentara villain, pasti lebih bikin saya frustrasi. In a good way.

Banyak maunya memang saya ini

Nevertheless, I'm still excited to recommend this book. Dari 5 judul Rick Riordan Presents yang saya baca (yang lain: Dragon Pearl, Race to The Sun, Aru Shah series, Paola Santiago series), serial The Storm Runner ini masih jadi yang terbaik di antara judul-judul lainnya. Jennifer really did the 'Rick Riordan Presents' brand a justice. Dari kerumitan plot, banyaknya kesialan yang harus dihadapi tokoh, sampai dengan gaya bercerita yang ringan, saya mendapatkan semua itu dengan cukup seimbang. Characterization antar tokoh juga cukup seimbang, walaupun memang beberapa tokoh agak kurang dieksplor seperti dewi Mexica dan para godborns yang memberontak.

Uncle Rick pernah bilang, kalau kalian suka baca buku beliau, maka kalian sangat mungkin bakalan suka buku-buku RRP. Dan saya menemukan janji itu di serial ini.

Baca ini buku, atau kalian akan dikutuk Ixtab jadi pohon cabe.





Rating: 4/5

----

Get your ebook here:

- Amazon (Kindle)

- Google Playbook

Sep 22, 2020

Everything is F'd: Buku tentang Pengharapan - or not

Saya memilih baca buku tulisan Mark Manson ini karena dua hal: karena saya cocok sama ide-ide dari buku pertama, dan karena saya kejebak judul.

Everything is F*cked - A Book About Hope.



Dengan kondisi hidup saya yang lagi ga jelas arahnya begini, segala situasi memang terasa fucked. Like, you don't have energy to even hope, because you know you will just fucked up, no matter what effort you are putting in. Sebuah buku tentang pengharapan mungkin aja jadi jawaban buat meringankan masalah hidup saya.

Kinda spoiler: I was wrong.

Sembilan puluh sekian halaman buku ini berisikan tentang betapa fucked up nya manusia by nature, serta bagaimana "hope", "pengharapan", justru telah terbukti berkali-kali menjadi sumber kacaunya manusia. Tindakan manusia, menurut buku ini, lebih banyak didorong oleh the irrational part of "Feeling Brain", sehingga manusia lebih sering mengabaikan hal-hal yang mereka tahu. Kita tuh tahu apa yang benar, dan apa yang salah, dan mana yang baik dan mana yang jelek. The problem is we just don't feel like doing those. Soalnya: those things most probably painful and create discomfort.

Kita tahu bahwa menurut teori relativitas, segala hal di alam semesta ini relatif, tergantung dari mana kita memandangnya. Dari sudut pandang psikologi, hal ini hampir benar...karena ada satu hal yang konstan. That is pain. Rasa sakit. Ketidaknyamanan.

Rasa sakit itu ada mutlak, konstan, ada dimana-mana. Ga peduli seberapa keras kita berusaha untuk menghindar ataupun mengalihkan perhatian dari rasa sakit, dia akan tetap muncul kaya kecoa di sela-sela sofa. You might think you're persistent, but you definitely can't beat The Pain.

Yang berarti, kita ga punya pilihan lain selain well, terima aja itu rasa sakit. Embrace them, biarkan tubuh dan pikiran kalian kena hantam berkali-kali. No point avoiding them, no point trying to shrunken our life according to what we can handle at one time. Kita ga akan lebih bahagia dengan menghindari rasa sakit, jadi kenapa ga hadapi aja?

~*dramatic background music*~

Saya orang yang punya love hate relationship dengan detail. Saya bosan kalau buku ga ada detail yang menarik, tetapi juga ga tahan sama detail yang bertubi-tubi. Buku ini termasuk kategori yang kedua, dimana trivia nya banyak banget. Information overload yang saya alami selama membolak-balik halaman buku mirip dengan yang saya alami ketika baca Sapiens karya Yuval Noah Harari. Setiap kalimat berisi hal (enlightenment) baru, sehingga saya ga bisa berhenti nambahin bookmark di setiap halamannya. Seru! Ilmu semua ini!

Walaupun paragraf-paragrafnya overwhelming "ilmu semua", insight dari buku ini sebenernya simpel:

Dunia memang gila, dan akan semakin gila, jadi gausah repot-repot berharap keadaan akan berubah menjadi lebih baik (baik versi kita). Akan lebih mudah bagi semua orang kalau kita just do what is good. Lalu do what is better, dan seterusnya.

Buku ini mengingatkan saya pada insight di buku pertama beliau (The Subtle Art of Not Giving a F*ck). Kalau fokus di buku pertama adalah bagaimana kita sebaiknya fokus (give the f**k) pada hal yang bisa kita kontrol, fokus di buku ini adalah bahwa kita sebaiknya fokus pada melakukan hal-hal yang bener aja. Tanpa ekspektasi, tanpa berharap apa-apa. Soalnya ekspektasi ini bikin hidup kita makin miserable anyway.

Buku ini sangat saya rekomendasikan untuk kalian yang punya banyak waktu untuk meresapi dan memfilter sedikit demi sedikit insight di dalamnya. Gausah buru-buru pengen selesai, karena beberapa insight lumayan sensitif dan rawan memancing emosi. Terutama ketika author membahas mengenai 'religion'. Kalau kalian merasa tersindir, a gentle reminder here: author stated clearly kalau dia memang skeptis pada agama.

Anyway, if you want a quick read on this book (ceritanya ga sabar pengen ambil intinya aja), saya sarankan kalian langsung lompat ke Bagian 2 nya aja. Bagian 1 memang seru untuk dibaca, tetapi jujur ga banyak yang saya ambil dari bagian itu, selain here and there nice-to-know trivias.


Quick review:


 

----


Get your ebook here:

- Google Playbook (eng)

- Amazon (kindle)

Sep 7, 2020

My thought about manga

Ngaku. Progres baca buku saya mandeg dua minggu ini karena saya lagi kedistract sama comfort book saya jaman SMP/SMA dulu. Saya kebetulan memang ada beberapa task sih yang idealnya diprioritaskan tapi well, my prolonged vacuum had been destroying my professionalism so here I am...procrastinating everything.

Minggu ini saya lagi balik ke manga. Komik Jepang. Buku yang ga peduli apapun genrenya, apapun hikmahnya, pasti saya bakal disinisin sama Kanjeng Papi kalo ketauan beli buku tersebut. Untungnya jaman dulu tahun 2000an sih masih enak ya, persewaan komik menjamur dimana-mana, jadi anak-anak dengan uang jajan minim dan diharamkan beli komik kaya saya bisa lari ke tempat kaya gitu. Sewa sehari sekitar Rp500-1500 per komik dengan jaminan dari Kartu Pelajar sampai KTP. Sekarang sih bisa numpang baca di Gramed, tapi kan ga bisa dibawa pulang dibaca sambil rebahan :c

Reading manga is just...refreshing. Visualisasi adegan yang disajikan komik itu sangat memudahkan saya untuk menyelami keseruan plot, perjuangan karakter, dan bagaimana mereka struggle. Jujur, sebagai orang yang suka baca dari kecil, saya ini sebenarnya lemah dalam memvisualisasikan adegan. Saya suka adegan berantem di novel, saya ngantuk kalo novel ga ada adegan berantemnya, tapi ironisnya saya malah sering nge-skip detail adegan tersebut. Too much detail in words, jadi saya lebih suka sekedar quick skim that very part (just enough to understand how intense the action is) then jump to the ending of that particular fight. Kalo bingung, baru baca ulang lagi. Dengan manga, obviously, adegan berantemnya bisa dengan gampang saya pahami.

Saya aware, penikmat buku masih banyak yang menganggap pembaca komik adalah kaum cupu yang intelektualitasnya kurang. Untuk case saya, ini kebetulan benar sih, baru aja kan saya ketik panjang lebar bagaimana kemampuan visualisasi saya memang kurang (I'm shit at details, I can't believe I survived as a data officer and legal assistant with my goldfish memory), which means I do have some points missing from my IQ department. Jadi I take no offense whatsoever from that statement. Tapi baca manga memang menyenangkan, gimana dong? Saya suka baca manga kan ga menegasikan serunya baca /real book/  anyway, kan?

By the way, terkait manga ini, banyak banget menfess insecure yang dipost ke twitter literarybase. 

 

Menurut kalian, manga/komik itu sastra gak? Wdyt about orang yang suka baca komik?


First question: I don't know, and I don't care. I have zero business whether I'm reading real literary or not. Maybe you should ask Madam Quora instead?

Second question: Menurut gua, mereka uangnya banyak. Manga is freaking expensive, my love. Dan manga tuh ga yang selesai 2-3 buku. It's such a huge investment to follow even one medium-length manga. Untuk manga seperti Detective School Q aja misalnya, yg cuma 22 volume, itu membutuhkan uang sebanyak 22 x 17.500 (rharga komik di rata-data dari jaman 7.500 dulu sampe sekarang) = 385.000. Itu udah hampir setara satu set novel series sekaliber Percy Jackson.

Still second question: And yes, they are reader too. Manga itu kan dibaca ya bukan dimakan. Dan kenyataannya manga itu dimuat dalam sebuah buku (baik majalah mingguan ataupun tankoubon). Secara teknis, ya orang yang cuma baca komik itu ya termasuk bookish juga.


Cuma karena pembaca komik banyak dapet bantuan visualisasi berupa gambar, bukan berarti mereka semua lebih bodoh dari penggemar buku yang isinya tulisan semua. Let's say saya bodoh, tapi bukan berarti penggemar manga yang lain sebodoh saya, kan?

Selain itu, nyadar ga sih angka literasi kita rendah banget? Reading index kita per 2012 itu di angka 0.001, like among 1000 Indonesian citizens, cuma satu orang yang bener-bener membaca. Mungkin karena memang orang Indonesia kebanyakan nonton tv kali ya. Anyway, yakin nih, kita mau mendiskriminasi pembaca manga, ketika manga itu sendiri sebenarnya punya potensi besar buat meng-convert orang-orang yang menghabiskan hidupnya nonton TV untuk beralih baca buku? Hijrah sedikit-sedikit lumayan lah.

Lagian membaca itu kan hobi ya. Tujuannya buat senang-senang, mengatasi rasa jenuh, syukur-syukur dapet ilmu. Ga ada kewajiban seseorang baca suatu buku, kecuali buku SOP yang memang berhubungan dengan keamanan, nyawa orang, ataupun uang milyaran. Atau textbook yang memang harus dibaca dan ditelaah bener-bener kalau mau lulus kuliah. Apalagi harus baca buku tertentu. Like, kalo ga pengen, kalo ga tertarik, apa iya harus dipaksa, padahal ga baca juga orang ga mati, gitu kan?

Manga juga sebenarnya pelajarannya banyak kan. Detective Conan ngajarin strategi, fisika dan teknik sulap (yang disalahgunakan buat ngambil nyawa orang, lol). Haikyuu, Prince of Tennis, Slam Dunk, Hikaru no Go ngajarin teknik dan analisa pertandingan. Full Metal Alchemist lebih mantep lagi, bikin kita mikir tentang moral dengan cara yang bikin deg-degan. Manga cewek2an, walaupun kadang isinya menye dan cinta-cintaan doang, seringkali justru mengajarkan bahwa hidup harus kuat, tegar, dan punya prinsip. Kan kita sebaiknya jangan sampai merendahkan informasi dan pelajaran yang kita dapat dari seseorang, meskipun bentuknya kekanak-kanakan, bukan?

Oh, in case anyone wondering, saya lagi marathon baca Haikyuu, manga tentang olahraga bola voli yang ternyata hypenya gede banget di twitter. Anyone else simping over the Grand King Tooru Oikawa here?  

PS: Kenapa semua orang harus ngasih tokoh ganteng ke nama Tooru? First I know Amuro Tooru, lalu ini ada Tooru ganteng lagi.

Unimportant trivia:

Dee's Top 3 manga all time (a.k.a the only manga series I actually follow religiously):




1. Detective Conan
My king, my first love Shinichi Kudou, and loads of other hot boys. I'm proud of the fact that I'm still surviving this long-dragged series even after 20 years. Not even any of my Kpop loves can beat my dedication on him. Where's my veteran card, Gosho-sensei?

2. Haikyuu
Newcomer that tresspassing the order and defeating my older favourites. Apalagi kebetulan dulu saya main voli juga pas SMA (angkatan saya tim cupu, nothing to be proud of), jadi saya baca ini ya sambil mengenang masa-masa dulu diijinin sarapan dan apel telat karena harus latihan voli tiap pagi. Hell, I just found out that a volleyball match could be that intriguing, ga sekedar passing-spike-block aja.

3. Vampire Knight
The only shoujo manga I actually like and follow, bercerita tentang sekolah berasrama yang co-existing dengan vampir. Manga ini plot development dan endingnya agak-agak bangsat, jujur aja. Like I was Team Zero tapi saya nangis pas tahu Kaname -----piiiip-----

Sep 4, 2020

Negara Kelima: E.S. Ito is Our Dan Brown!

Semakin saya baca karya E.S. Ito, semakin saya yakin bahwa beliau ini adalah Dan Brown versi Indonesia. Memadukan antara sejarah-action-crime, kedua penulis menyuguhkan magic di ranah penulisan dengan cara yang mirip. Entah saya bisa disebut belajar sejarah atau enggak dengan baca novel action berbalut sejarah (soalnya saya ga pernah cross-check keabsahan/kevalidan fakta sejarah yang dituliskan juga). Yang jelas, rasanya menyenangkan ketika kalian baca novel, tapi kalian ga hanya dapet plot yang bikin adrenalin naik, tapi juga dapet trivia yang ga semua orang tahu. Despite maybe ga kepake-kepake amat dalam hidup.

I really hope I'm not unconsciously doing any discredit by writing A is the 2nd B, because I really meant it well. Dan Brown is a huge name, and E.S. Ito is at least at his level I mean look at his creation!




Negara Kelima adalah buku E.S. Ito kedua yang saya baca (buku yang lain, Rahasia Meede, sudah saya review di sini). Masih dengan plot dengan unsur rencana pemberontakan terhadap negara yang sah, E.S. Ito meramu mitos welfare state gagasan Plato ke dalam sebuah gagasan pengembalian nilai-nilai luhur pembentukan bangsa. "Niat baik" ini dijalankan oleh warga sipil non-official, sehingga alih-alih diakomodir, gerakan tersebut tersebut mendapatkan cap sebagai "teroris", "pemberontak" ...oleh "negara".

Yang membuat kita berpikir: apalah arti hukum yang sah, apalah makna dasar sistem pemerintahan yang sesuai, jika nilai yang tadinya dijunjung ga berjalan anyway? Hukum di Indonesia ini sebenarnya untuk siapa?

Berbeda dengan Rahasia Meede, plot twist intrik politik disajikan di depan buku. Belum apa-apa pembaca sudah disuguhkan dengan karakter perwira kepolisian minim integritas. Mengetahui bahwa nyawa main character, Timur Mangkuto dalam bahaya karena korupnya petinggi abdi negara, perkembangan plot terasa semakin intens berkali-kali lipat. Bayangkan kalian membaca mengenai sejarah adat Minangkabau dan imperium Nusantara kuno sambil deg-degan mikirin polisi lagi membuntuti main character dengan jarak 10 meter di belakang?

Beat me, saya lemah dengan karakter "pemberontak" yang cerdas dan kompeten.

Walaupun demikian, saya note ada satu perbedaan sistem penulisan dengan Dan Brown. Walaupun penulis sempat mengobrak-abrik interpretasi sejarah, tetapi buku ini tetap diakhiri dengan "aman". Seperti Rahasia Meede yang diakhiri dengan kehancuran bunker harta sehingga konspirasi yang muncul dari interpretasi fakta sejarah would stays "fiction", mitos dan mindblowing-ness di buku ini pun diakhiri dengan "hampir-revolusi" yang batal. Konspirasi yang muncul di benak pembaca cukup berhenti begitu buku ini selesai dibaca. Coba kalo kita bandingkan dengan Dan Brown yang dengan berani memuntir sejarah dan penokohan Yesus Kristus, misalnya (ga kebayang kalau sejarah Nabi Muhammad dipuntir segila itu, sih).

Bagaimanapun, bagaimana jantung dan perut kita dikacaukan dengan ke"bangsat"an plot yang bener-bener klimaks sampai akhir, menurut saya membuat buku ini sangat worth getting. Saya benar-benar menikmati information overload yang saya dapatkan selama membolak-balik halaman buku, dari mitos tokoh Plato, sejarah peradaban warga Minang, sampai nyerempet ke sejarah kerajaan-kerajaan yang hampir ga pernah absen muncul dalam buku textbook sejarah sekolah kita. Membaca buku ini ga membuat saya langsung inget detail-detail sejarahnya sih (ga akan ditanya juga di alam kubur btw). Tapi seneng aja baca sejarah yang dikemas dalam cerita sarat kejar-kejaran dan no nonsense begini.