So, what's the deal with one of the most hyped book in twitter community?
Mungkin saya jadi salah satu yang telat start untuk bicara tentang The Poppy War. Karya R.F. Kuang sepertinya jadi salah satu buku yang sering banget dimention (ditanyakan, disebut, direkomendasikan) di twitter literarybase sejak awal PSBB. Anyhow, I finally put my hand on its pages.
And
It's damn intense.
Yes, this is a freaking trigger warning. This book include a "good" amount of war cruelty, graphic content, rape, murder, gore, human torture, just any usual thing you can find in a war or "common" hard life. Kalau kalian ketrigger dengan scene tersebut, lebih baik kalian drop buku ini. Sayang loh, mahal soalnya.
Saya ga bicara betapa intensnya buku-buku Dan Brown. E.S. Ito (review 1, review 2). Or even Laut Bercerita or The Weight of Our Sky. Buku ini benar-benar at the whole different level, saya ga pernah merasa selelah ini baca buku fiksi. Saya mulai butuh break saat saya bahkan belum separo jalan. Saya sering sekali menilai sebuah cerita membosankan, datar, tidak intense, tetapi saya ga nyangka bahwa cerita fiksi bisa bikin se-lelah ini.
Mungkin saya kena hukuman Dewa Buku karena sempet mengkritik karya beberapa penulis, haha. You want plot intensity? Here, enjoy and have a brilliant day.
The Poppy War (diterjemahkan oleh Gramedia Pustaka Utama menjadi "Perang Opium", saya baca versi Bahasa Inggrisnya by the way) bercerita tentang Fang Runin, seorang yatim piatu korban perang yang bertekad untuk melarikan diri dari pernikahan paksa yang direncanakan orang tua angkatnya yang abusive. Dengan segala cara, ia bertekad untuk lulus ujian masuk Academy Sinegard, satu-satunya akademi di kekaisaran Nikara yang menggratiskan seluruh biaya hidup dan sekolah. Namun, menginjakkan kaki di Sinegard ternyata baru permulaan dari kerasnya hidup yang harus dia lanjutkan.
Second warning: maybe some spoiler. Maybe not. Saya bingung gimana bahasnya soalnya kalo ga mention plot.
Di awal buku, saya sudah disuguhkan dengan kerasnya realita hidup yang harus dihadapi Rin. Bukan keras dalam artian dikejar-kejar monster (ref: Percy Jackson) atau memiliki kekuatan gaib yang aneh (ref: Harry Potter), tetapi hidup yang benar-benar brutal. Ia menyogok satu-satunya guru di desanya dengan opium curian untuk mengajarinya seluruh materi ujian. Ia menolak tidur untuk persiapan ujian. Bagaimana ia benar-benar mendorong dirinya melampaui batas untuk mencapai tujuan, her persistence, her painful way of life, her paranoia on failure, her "tiger mother" attitude toward herself, benar-benar tipikal Asian. Saya bisa ngerti keputusasaan Rin, tapi tetap tidak membuat she any less frightening. And it's only the beginning.
Kengerian ini berlangsung sampai trial pertama, dimana Rin akhirnya memilih salah satu spesialisasi studi. Baru saja ia berhasil menempuh satu milestone pembelajaran dari gurunya, tiba-tiba Nikara menerima ancaman perang dari negeri seberang, Federation of Mugen. Di tengah-tengah pertempuran, Rin terpaksa mengeluarkan ilmu yang ia peroleh dari Master Jiang untuk memanggil kekuatan dewa Phoenix. Menyadari betapa berbahayanya Rin terhadap status quo perpolitikan internal Nikara, Master Irjah sang ahli strategi merekomendasikan Rin kepada peleton "buangan" yang berisikan algojo-algojo pembunuh. Di sana, Rin kembali bertemu dengan legenda Akademi Sinegard yang sempat menghilang, Altan Trengsin.
Baru aja saya ambil napas dan merasa saya udah cukup terbiasa dengan kegilaan setting novel ini, datanglah war scene dan THIS IS WHERE THE REAL SHHT COMES. Sudah saya wanti-wanti di atas, oke.
Bersetting perang (beneran) antara Nikara dan Mugen, bagian II kurang lebihnya menceritakan bagaimana perang berlangsung. Dari manajemen pleton (pasukan?), intrik antar penguasa lokal, sampai adu licik-licikan antar negara, semua ada di sini. Tapi tetep yang paling bikin lemes ya adegan kekerasan perangnya. Sebenarnya adegan kekerasan dan horor perang yg digambarkan penulis tuh sangat wajar, like, yang namanya perang ya pasti barbar dong.
Tapi kan tetep aja bikin merinding hey T_T
Masih ngikutin? Kalian emang batu, ya. Anyway, adegan perang yang bener-bener barbar sebenernya berakhir di bagian kedua, jadi kalian udah bisa tenang ketika baca bagian ini...
...Or not
Kejutan R.F. Kuang belum selesai, teman. Main character belum mati, jadi dia masih akan bergerak. Bersama Altan, mereka sepakat untuk menjalankan satu-satunya cara yang tersisa untuk mengalahkan Mugen, yaitu dengan memanfaatkan kelebihan yang mereka miliki. Saya ga akan ekspos kelebihan apa tepatnya yang mereka miliki (karena bakal nge-spoil klimaks dari Bagian I), tapi dalam perjalanan ini, mereka akhirnya menemukan kenyataan mengenai masa lalu Altan. Yang pastinya bakal bikin kalian terenyuh sendiri.
Saya ga bisa ngapa-ngapain setelah baca ini, karena saya baper sendiri tentang Altan.
Long story short? The Poppy War ini sensasinya mirip seperti baca Laut Bercerita atau The Weight of Our Sky yang di-fusion dengan sistem super human The Kane Chronicles. Tiga part buku ini masing-masing akan menusuk hati kalian dengan grief yang berbeda-beda.
Bagian I, kita akan dikocok-kocok sama kerasnya kehidupan Fang Runin. Seorang anak perempuan bisa melakukan hal-hal segila itu kalo udah muak sama kehidupan. You think your life sucks? Fang Runin beg to laugh.
Bagian II, kita dibuat merinding sama kekejaman dan kebrutalan medan perang. Scene pertempuran yang ga terlalu dominan justru malah manjur banget buat nonjolin horor yang ditimbulkan dari kebengisan prajurit-prajurit yang diutus sebagai mesin pembunuh atas nama Kaisar. Warfare ain't for the weak-hearted.
Bagian III, kita dibuat ngenes sama nasib tokoh cerita yang ternyata menyimpan cerita yang jauh lebih tragis dari apa yang bisa di-handle manusia kebanyakan. Terutama manusia-manusia "lembek" kaya kita yang udah terlalu banyak dibuat nyaman oleh feeling economy.
Buku ini kabarnya diadaptasi dari perang Sino-Japanese pertama. Which make sense, karena peta wilayah yang dipampang di depan buku memang sekilas mirip dengan peta geografi Jepang, China dan Taiwan saat ini.
Kalau kalian ga punya masalah dengan mental kalian, ga punya anxiety akan trigger tertentu, dan ga masalah dengan adegan kekerasan yang intens, saya berani rekomendasikan buku ini ke kalian. Saya gatau rating buku ini untuk usia berapa, tapi saran saya kalau kalian masih remaja, belum lulus sekolah, lebih baik cari aja buku yang lain. Hidup kalian masih jauh, nak.
Rating: 4.5 / 5
-------
Get your ebook here:
- Amazon Book (kindle)
- Google Playbook (english)
- Google Playbook (Indonesia)